LGBT dan Hak Asasi Manusia
M. Alpi Syahrin, SH, MH
Menurut Robert Bierstedt, kelompok masyarakat dapat terbentuk karena ada beberapa individu yang mengikatkan diri satu sama lain atas dasar pilihannya sendiri ataupun secara kebetulan. Pembentukan kelompok itu dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kesamaan dan kedekatan.
Mengenai perilaku kelompok, sebagaimana semua perilaku sosial, sangat dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku dalam kelompok itu. Sebagaimana dalam dunia sosial pada umumnya, kegiatan dalam kelompok tidak muncul secara acak. Setiap kelompok memiliki suatu pandangan tentang perilaku mana yang dianggap pantas untuk dijalankan para anggotanya. Norma atau hukum inilah yang mengarahkan interaksi kelompok
Banyak kelompok yang sedang muncul sebagai dampak globalisasi, termasuk kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau yang lebih dikenal dengan LGBT, merupakan kelompok yang dibentuk berdasarkan persamaan senasib dan kepentingan yang sama. Kebutuhan mereka untuk berkelompok dan akhirnya menjadi kelompok yang nyata di depan mata masyarakat adalah cerminan dari perubahan zaman yang sedang berlangsung. Meskipun di indonesia LGBT belum mendapatkan pengakuan sebagai Sebuah kelompok sosial, tetapi LGBT merupakan suatu isu yang tengah hangat dibicarakan dan banyak menjadi kajian penelitian, misalnya LGBT dianggap sebagai satu penyakit mental, kerana telah melawan Fitrah kehidupan manusia yang normal, yaitu hidup berpasang-pasangan. Sebagaimana telah diciptakan oleh Allah SWT, lelaki pasangannya adalah perempuan.
Secara gamblang dapat dinyatakan bahwa di masyarakat kita ada orang‐orang yang berkonstruksi gender yang tidak sesuai dengan kerangka hegemonik yang ditentukan oleh negara, agama, budaya, bahkan juga ilmu pengetahuan, yang mengakui dua gender, yaitu lelaki dan perempuan, Secara umum dikenal istilah waria dan tomboi. Waria adalah akronim dari wanita Pria, yang bermakna Pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita, sedangkan Tomboi adalah wanita yang bersifat dan bertingkah laku seperti Pria. Khusus untuk Waria Mereka memilih atau mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun dengan berbagai derajat penerimaan mengenali mereka sebagai banci (Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe‐kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) dan istilah‐istilah lainnya yang belum semuanya dikenali bahkan oleh para peneliti gender dan seksualitas pun, namun memang ada dan dikenali oleh masyarakat setempat.
Kalau mempelajari lebih dalam tentang Perilaku, baik individu maupun kelompok sosial masyarakat, yang dianggap menyimpang dan tidak sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia, tentu akan sangat panjang pembahasannya. Akan tetapi apabila melihat perjuangan-perjuangan yang dilakukan, tentu tidak heran kalau kemudian masyarakat sudah mulai melihat gerakan-gerakan tersebut, baik di media cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat juga melihat dan merasakan dampaknya, terutama generasi muda. Hal yang substansi yang menjadi gerakan perjuangan kelompok LGBT adalah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan sebagai kelompok sosial dalam perspektif Hak Asasi Manusia dan mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminasi.
Berbicara tentang Hak Asasi Manusia, tentu tidak akan terlepas dari Hukum suatu Negara, bagaimana sebuah Negara yang berlandaskan atas Hukum melihat dan menghargai hak-hak setiap warga negaranya. Dalam perspektif Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia) ini, Dewan HAM PBB mensahkan resolusi persamaan hak yang menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan sederajat dan setiap orang berhak untuk memperoleh hak dan kebebasannya tanpa diskriminasi apapun. Resolusi ini adalah resolusi PBB yang pertama yang secara spesifik mengangkat isu pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.
