Daftar Isi
Foto: Lokasi kecelakaan pesawat Ukraina di Iran. (Foto: AFP)
Lancang Kuning -- Iran mengakui adanya kesalahan pada sistem radar hingga menyebabkan pesawat Boeing 727 milik Ukraina. Pesawat milik maskapai Ukraine International Airline jatuh pada 8 Januari lalu.
"Kegagalan terjadi karena kesalahan manusia dalam melakukan prosedur untuk menyelaraskan radar, hingga menyebabkan kesalahan 107 derajat pada sistem radar," jelas Badan Penerbangan Sipil Iran (CAO) dalam sebuah pernyataan seperti mengutip AFP.
Laporan faktual menunjukkan kesalahan fatal ini menjadi pemicu insiden yang menewaskan 176 orang awak dan penumpang pesawat tak lama sebelum pesawat ditembak jatuh.
Laporan yang dirilis New York Times menunjukkan rekaman kamera keamanan yang menunjukkan dua rudal Iran meluncur ke langit, sesaat sebelum pesawat Boeing 737 milik Ukraina jatuh. Kedua rudal ditembakkan secara terpisah dengan jeda 30 detik.
Dalam laporannya, CAO membenarkan jika ada kesalahan pada sistem radar sehingga salah saat mengidentifikasi pesawat yang melintas. Laporan tersebut mencatat bahwa rudal pertama yang ditembahkkan tidak menerima tanggapan dari stasiun di darat.
"Rudal kedua ditembakkan 30 detik kemudian 'dengan mengamati kontinuitas lintasan target yang terdeteksi'," lanjut laporan CAO.
Belakangan diketahui jika transponder mati karena terkena serangan pertama, sebelum terkena serangan rudal kedua. Hal inilah yang membuat pemancar radio di pesawat tidak mengirimkan sinyal komunikasi kepada stasiun di darat.
Beberapa hari berikutnya, Presiden Iran, Hassan Rouhani akhirnya mengakui jika pesawat tersebut jatuh setelah dihantam rudal akibat faktor kesalahan manusia (human error). Pernyataan itu disampaikan Rouhani disela percakapan telepon dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky.
"Kami telah berbicara dengan presiden Iran dan dia menyampaikan bahwa insiden itu terjadi akibat kesalahan manusia, dan beliau menjanjikan seluruh pihak yang bertanggung jawab tidak akan bisa menghindar dari hukuman," kata Menteri Luar Negeri Ukraina, Vadym Prystaiko, dalam sebuah wawancara radio di Inggris, seperti dikutip CNN, 13 Januari. (LK)
Komentar