Daftar Isi
Foto: Istimewa
LancangKuning.Com, PEKANBARU - Sejak dikumandangkannya keputusan Parlemen Uni Eropa tentang penolakan CPO dari Indonesia, kita seolah kehilangan separuh napas kehidupan. Ekonomi rakyat tersengal-sengal khususnya para petani kelapa sawit. Bagaimana tidak, 17 juta orang menggantungkan hidupnya pada hasil kelapa sawit yang terdiri dari 41% perkebunan milik rakyat dari total perkebunan yang ada di indonesia.
Jumlah total luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia hingga saat ini mencapai 11,9 juta hektar, dengan perkembangannya yang sangat pesat diperkirakan luasnya akan bertambah menjadi 13 juta hektar pada tahun 2020 nanti. Dengan luasan yang demikian ini Indonesia akan dapat memproduksi 40 juta ton kelapa sawit mulai dari tahun 2020 (Gapki, 2017).
Namun produktivitas yang besar tidak menjamin harga jual yang tinggi pula, sejak krisis global tahun 2008 lalu harga jual kelapa sawit dikalangan petani sangat berfluktuasi bahkan pernah menyentuh angka Rp 600 per Kg. Kelapa sawit adalah komoditi yang dapat menghasilkan minyak nabati lebih banyak dibandingkan rapeseed, bunga matahari, dan kedelai yang merupakan komoditi lokal eropa.
Kelapa sawit dapat menghasilkan minyak nabati sebanyak 3,8 ton per hektar, dan bahkan dapat ditingkatkan lagi menjadi 12 ton per hektar dengan penggunaan teknologi dan teknik budidaya yang baik. Upaya yang telah dilakukan ialah dengan peremajaan pohon kelapa sawit yang sudah tidak produktif lagi dan menggunakan bibit unggul yang dapat menghasilkan tandan segar buah sawit yang lebih banyak.
Selain itu kelapa sawit adalah komoditi yang paling murah daripada komoditi penghasil minyak lainnya sehingga penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku dapat menekan harga produk yang dihasilkan.
Industri kelapa sawit adalah salah satu kunci perekonomian Indonesia. Ekspor CPO merupakan penyumbang devisa yang sangat penting yaitu sekitar Rp. 250 triliun.
Industri ini memberi jutaan kesempatan kerja bagi rakyat Indonesia sehingga menjadi salah satu penggerak ekonomi masyarakat. Menurut prediksi PBB, penduduk dunia akan berjumlah 9,8 miliar pada 2050, dengan melonjaknya pertumbuhan penduduk ini tentu akan meningkatkan pula jumlah konsumsi minyak nabati.
Tak hanya minyak nabati, tetapi konsumsi terhadap bahan bakar pun akan meningkat.
Salah satu hal yang menarik dari penolakan CPO dari Indonesia ini merupakan penolakan yang tidak berasalan yang jelas, mereka mengklaim kelapa sawit sebagai biang dari kerusakan ekosistem dan menurunnya jumlah hutan di Indonesia yang merupakan salah satu paru-paru dunia.
Faktanya, perluasan lahan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2000-2010 lebih banyak menggunakan lahan tidur dan lahan bekas pertanian lainnya dengan angka sekitar 6 juta hektar.
Selain itu, kelapa sawit dapat menyerap karbon dan menyumbang oksigen dengan angka 64 ton karbon per tahun dan menghasilkan oksigen 18 ton per tahun per hektar. Dengan fakta ini sebenarnya tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada Indonesia menjadi tidak relevan dan terkesan dibuat-buat.
Dengan dalih tersebut sebenarnya mereka ingin menghentikan impor CPO dari Indonesia dan menggantinya dengan komoditi lokal eropa berupa minyak nabati yang dihasilkan dari rapeseed, bunga matahari, dan kedelai. Sehingga dengan menghentikan impor ini dapat membuat komoditi lokal eropa menjadi lebih diminati.
Namun itu tidak seharusnya menjadi alasan kita untuk lantas gulung tikar di industri kelapa sawit. Minyak kelapa sawit memiliki produk turunan yang sangat banyak, diantaranya minyak goreng, sabun, coklat, mie instant, margarin, kosmetik dan bahkan bahan bakar biodiesel.
Dengan banyaknya produk turunan ini sebenarnya adalah peluang yang besar bagi industri kelapa sawit untuk dikembangkan lebih jauh lagi dan kita dapat mengekspor produk jadi dari minyak kelapa sawit sehingga dapat meningkatkan nilai jualnya.
Minyak kelapa sawit juga dapat menekan angka impor bahan bakar fosil dengan mengubahnya menjadi biodiesel untuk konsumsi nasional. Dan bukan tidak mungkin kedepannya Indonesia dapat mengekspor biodiesel ke Negara lain.
Indonesia tidak bisa lagi terus bergantung kepada pasar internasional, penyerapan minyak kelapa sawit dalam negeri harus ditingkatkan untuk menjaga kestabilan harga jualnya, langkah nyata pemerintah dalam membuat kebijakan adalah dengan membangun industri hilir minyak kelapa sawit dan menetapkan penggunaan bahan bakar biodiesel untuk kepentingan nasional.
Seperti yang telah diterapkan oleh pemerintah saat ini yaitu dengan menggunakan biodiesel B20 untuk konsumsi bahan bakar nasional.
Upaya-upaya yang dapat kita lakukan untuk melawan diskriminasi dan kampanye hitam kelapa sawit oleh Uni Eropa antara lain dengan mengadakan forum-forum diskusi, kerja sama, dan forum ilmiah sejenisnya.
Selain itu, ada baiknya jika pemerintah memperluas pasar ekspor tidak hanya ke eropa saja, dan mensosialisasikan bahwa minyak kelapa sawit adalah produk yang ramah lingkungan.
Disisi lain, pemerintah harus gencar mendukung industry hilir kelapa sawit sehingga yang diekpor nantinya bukan hanya CPO, melainkan produk turunan dari kelapa sawit sehingga nilai jualnya lebih tinggi dan dapat mendukung kestabilan harga di kalangan petani. (LKC)
Penulis: Mahasiswa Agroteknologi UIN Suska Riau, Ade Misbah
Komentar