Daftar Isi
Foto: Buaya
LancangKuning.com, Napyidaw - Tentara Kekaisaran Jepang yang menguasai Pulau Ramree di Myanmar tak kuasa menahan gempuran pasukan Sekutu yang ingin merebut dan mengubah lokasi itu jadi pangkalan udara.
Kalah dan payah setelah menjalani pertempuran berdarah, sekitar 1.000 tentara Jepang menyingkir ke area rawa-rawa yang dipadati tumbuhan bakau (mangrove). Mereka tak sudi menyerah meski harus menderita penyakit tropis yang ditularkan nyamuk. Belum lagi harus berhadapan dengan laba-laba beracun, ular dan kalajengking yang juga berbisa.
Kehidupan para serdadu di tengah rawa jauh dari nyaman. Air minum minim, apalagi makanan. Mereka di ambang kelaparan.
Pada 19 Februari 1945 malam, kejadian paling aneh dalam sejarah perang terjadi.
Para tentara Inggris yang ada di daratan mendengar teriakan-teriakan panik. Suara gaduh itu, yang diselingi deru tembakan, berasal dari kegelapan di rawa-rawa
Foto: Tentara Sekutu di Pulau Ramree, Myanmar (Wikipedia/Public Domain)
Mereka sama sekali tak tahu apa pemicunya, hanya bisa mengira-ngira pasukan Jepang sedang menghadapi ancaman mengerikan.
Belakangan baru terkuak, ancaman mengerikan tersebut berasal dari buaya air asin (saltwater crocodile) yang menghuni rawa-rawa bakau di Pulau Ramree.
Buaya air asin adalah salah satu reptil predator paling besar di dunia. Hewan itu bisa berkembang hingga sepanjang 20 kaki atau 6 meter dan berat 2.000 pon atau 907 kilogram.
Bahkan buaya ukuran sedang bisa dengan mudah membunuh orang dewasa. Di alam liar, hewan-hewan buas tersebut bisa memangsa hewan-hewan besar seperti kerbau.
Para serdadu Negeri Matahari Terbit diserang kawanan buaya dengan sadis dan tanpa ampun.
Ahli hewan, Bruce Stanley Wright menggambarkan kengerian situasi pada malam itu dalam bukunya Wildlife Sketches Near and Far yang terbit pada 1962.
"Malam itu (19 Februari 1945) adalah saat yang paling mengerikan yang dialami para serdadu M.L (marine launch). Buaya-buaya itu, yang sontak waspada oleh pertempuran yang pecah dan bau anyir darah, berkumpul di antara bakau, berbaring dengan mata yang menyembul di atas permukaan air, menanti mangsa mereka," demikian seperti dikutip dariThe Vintage News, Senin (18/2/2019).
"Mengikuti pasang surut air, buaya-buaya bergerak di antara mereka yang tewas, terluka, atau yang sehat namun terperosok dalam lumpur."
Pasukan Jepang mencoba melawan namun mereka tak berdaya melawan monster-monster itu.
50 ekor buaya air asin itu tiba di London setelah sebelumnya diberangkatkan dari Malaysia (Convention on International Trade in Endangered Species)
"Tembakan membabi buta dilepaskan di rawa hitam pekat itu, diselingi teriakan mereka yang terluka, yang remuk di rahang reptil besar itu... suara mengerikan buaya-buaya yang bergerak ke sana kemari bak hiruk-pikuk adegan neraka yang berlangsung di Bumi. Kala fajar, giliran burung-burung bangkai datang untuk membersihkan apa yang disisakan para buaya... Dari 1.000 tentara Jepang yang memasuki rawa-rawa Ramree, hanya sekitar 20 yang ditemukan dalam kondisi bernyawa."
Serangan buaya di Ramree terdokumentasi dengan baik. Namun, masih ada sengketa soal jumlah. Versi lain menyebut, ada sekitar 400 orang yang berhasil kabur dari rawa-rawa.
Buku rekor Guinness Book of World Records menyebut insiden tersebut sebagai "Most Number of Fatalities in a Crocodile Attack" -- jumlah kematian terbanyak dalam satu serangan buaya, demikian dikutip dari situstodayinhistory.blog.
Sejarawan Frank McLynn membantah klaim soal jumlah tentara Jepang yang dibantai buaya dalam bukunya The Burma Campaign.
"Ada satu masalah zoologi. Jika 'ribuan buaya' terlibat dalam pembantaian tersebut, seperti disebut dalam mitos, bagaimana monster-monster itu bertahan sebelumnya dan bagaimana mereka bisa bertahan setelahnya?," demikian seperti dikutip dari express.co.uk. (LKC)
Komentar