Daftar Isi
Foto: Tsunami Selat Sunda Foto: Zaki Alfarabi
LancangKuning.Com, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberi penjelasan soal dampak gempa beruntun pada 10 dan 11 Januari lalu. BMKG menyatakan kejadian tersebut tidak mengakibatkan kenaikan permukaan air laut yang signifikan sebagai indikasi tsunami di kawasan tersebut.
Terkait potensi terjadinya kembali tsunami di Selat Sunda, Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhamad Sadly mengatakan hal tersebut masih ada. Ia menerangkan, sedikitnya terdapat tiga sumber tsunami di Selat Sunda, yakni Kompleks Gunung Anak Krakatau (GAK), Zona Graben, dan Zona Megathrust.
Baca Juga: Gempa Magnitudo 5,4 Guncang Sukabumi Sore Ini
Sadly menjelaskan, Kompleks GAK terdiri dari Gunung Anak Krakatau, Pulau Sertung, Pulau Rakata dan Pulau Panjang. Gunung serta ketiga pulau tersebut tersusun dari batuan yang retak-retak secara sistemik akibat aktivitas vulkano-tektonik. Akibatnya, kompleks tersebut rentan mengalami runtuhan lereng batuan (longsor) ke dalam laut, dan berpotensi kembali membangkitkan tsunami.
Pun Zona Graben yang berada di sebelah Barat-Barat Daya Kompleks GAK, juga merupakan zona batuan rentan runtuhan lereng batuan (longsor) dan berpotensi memicu gelombang tsunami. Sementara itu, Zona Megathrust termasuk pula sebagai wilayah yg berpotensi membangkitkan patahan naik pemicu tsunami.
"Atas dasar itulah hingga saat ini BMKG tetap memantau perkembangan kegempaan dan fluktuasi muka air laut di Selat Sunda. BMKG juga mengimbau masyarakat untuk mewaspadai zona bahaya dengan radius 500 meter dari bibir pantai yang elevasi ketinggiannya kurang dari 5 meter," ujarnya dalam rilis yang diterima, seperti dilansir dari Detik.Com, Sabtu (12/1/2019).
Sementara itu, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa pemasangan beberapa alat pantau dilakukan di sejumlah titik di Selat Sunda, guna memantau aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut. Di antaranya di Pulau Sibesi, Ujung Kulon, dan Labuan. Pulau Sibesi merupakan pulau terdekat dengan Kompleks GAK yang saat ini bisa dijangkau untuk pemasangan alat. Pulau ini difungsikan sebagai buoy alam agar dapat memberikan rekonfirmasi lebih dini bahwa gelombang tsunami terjadi.
Dwikorita menambahkan, agar pemantauan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut lebih maksimal, BMKG merekomendasikan untuk membangun BTS (Base Transceiver Station) khusus di sekitar GAK dan Ujung Kulon.
Selain itu, juga dilakukan penambahan instrumentasi dan fasilitas untuk pemantauan muka air laut. Misalnya antara lain, Tide Gauge atau Sensor Water Level, Buoy, dan Radar Tsunami atau HF Radar.
"Penambahan peralatan tersebut untuk mempercepat pengiriman data hasil pengamatan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut yang terpantau. Dengan begitu, kita memiliki lebih banyak waktu untuk meminimalisir jumlah korban akibat gempa maupun tsunami di wilayah pesisir Selat Sunda," ujar Dwikorita.
Dwikorita menambahkan, untuk mengantisipasi beredarnya informasi sesat dan bohong mengenai kondisi Selat Sunda, BMKG mengimbau masyarakat untuk melakukan cek dan kroscek informasi melalui kanal-kanal resmi milik BMKG.
"Jangan terpancing isu hoax, pantau terus InfoBMKG untuk update informasi kegempaan dan tsunami serta info prakiraan cuaca serta iklim. Sedangkan informasi mengenai erupsi gunung api dan zona rentan longsor masyarakat bisa memonitor Magma Indonesia," imbuhnya. (LKC)
Komentar