Daftar Isi
Foto: Ilustrasi
LancangKuning.Com, PEKANBARU - Banyak pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pajak yang tak capai target. Antara lain, pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), pajak rokok, dan pajak air permukaan.
Pemprov Riau beralasan, tidak tercapainya target karena perubahan aturan dan kebijakan. Pertama, PBBKB. Ini menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar di Riau. Bahkan ditargetkan pendapatannya mencapai Rp898 miliar. Namun sayangnya, target tersebut tak tercapai di tahun ini.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau beralasan, tak tercapainya target tersebut, karena adanya revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah. Di mana, dalam perda tersebut, PBBKB jenis pertalite yang semula 10 persen, turun menjadi 5 persen.
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau Indra Putrayana melalui Kepala Bidang Penerimaan Pajak Daerah Ispan S Syahputra mengakui hal tersebut. Dia menyebut bahwa hampir dipastikan penerimaan PBBKB tidak tercapai target hingga akhir tahun mendatang.
Dia menjelaskan, hingga pekan ketiga November 2018, PBBKB sudah tercapai sekitar Rp710 miliar. Penerimaan itu sudah mencapai angka 79,4 persen dari target Rp898 miliar. Artinya, masih ada target yang mesti diselesaikan 20 persen lagi hingga akhir tahun.
Namun, Pemprov Riau sudah angkat tangan. Ispan memastikan, tak akan mampu menarik sisa target 20 persen tersebut. “Ini dipastikan tidak tercapai 100 persen. Ada sekitar Rp116 miliar tidak tercapai,” ujarnya, dilansir dari Riaupos.
Dia beralasan, tidak tercapainya target karena penurunan pajak sesuai perda. Apalagi, perda tersebut direvisi di tengah jalan. Sementara target ditetapkan sebelum revisi perda. “Ini akibat penurunan pajak pertalite,” ujarnya.
Dia menyebut, dengan penurunan PBBKB Riau ini, pihaknya akan menurunkan target pendapatan. “Target 2019 kita diturunkan. Biar lebih realistis. Ini juga mengingat di tahun ini ada penurunan penerimaan,” ujar dia.
Sebenarnya kata dia, ada tren kenaikan penerimaan PBBKB dibanding 2017. “Tahun lalu, sampai Desember hanya Rp709 miliar. Tahun ini, hingga November sudah mencapai Rp710 miliar.
Sama halnya dengan pajak rokok di Riau yang juga diprediksi tak mencapai target. Hingga November 2018, penerimaan pajak rokok di Riau baru Rp262 miliar dari target Rp415 miliar.
Penurunan penerimaan pajak rokok ini kata Ispan, karena ada kebijakan pemotongan pajak oleh pusat. Di mana, pemerintah mengeluarkan kebijakan, pajak rokok disumbangkan untuk menutupi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Jadi untuk menutupi defisit BPJS itu, pajak rokok dipotong 37,5 persen oleh pusat. Nanti kita akan konsolidasi dengan BPJS terkait pemotongan pajak rokok ini,” ujarnya.
Pada 30 November 2018 pihaknya akan menyampaikan perihal pemotongan pajak rokok tersebut ke Kementerian Keuangan.
“Itu perlu kita sampaikan agar tidak dilakukan pemotongan pajak rokok apabila dari hasil kompilasi kontribusi pemprov dan kabupaten/kota di Riau ke BPJS sudah lebih 37,5 persen,” ujarnya.
Kemudian, tambah Ispan, pihaknya bersama BPJS akan melakukan sosialisasi dengan kabupaten/kota soal kebijakan pemotongan pajak rokok tersebut.
Pajak air permukaan juga tidak mencapai target. Bapenda Riau juga pesimis capaian target sampai di angka 100 persen di akhir tahun. Di mana, pada 2018, Pemprov Riau menargetkan capaian pajak air permukaan Rp65 miliar.
Sedangkan hingga saat ini, realisasinya baru di angka Rp24 miliar. Artinya, yang tercapai baru 38 persen. Masih ada 62 persen lagi yang belum tercapai. Padahal, tahun anggaran tinggal sebulan lagi.
Ispan menyebut, hal tersebut terjadi karena harga dasar pajak air permukaan mengalami penurunan. Penurunan ini ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Kemungkinan tidak tercapai target. Ini karena ada penurunan harga dasar yang awalnya bervariasi, sekarang rata-rata tinggal Rp82,75 per meter kubik dari setiap liter air permukaan yang dimanfaatkan wajib pajak,” kata Ispan.
Untuk meningkatan pendapatan pajak tersebut, kata Ispan, pihaknya telah melakukan uji petik ke wajib pajak. Selain itu menyampaikan usulan ke Kementerian PUPR agar merevisi harga dasar air permukaan tersebut.
“Kalau usulan itu disetujui Kementerian PUPR, ada kenaikan untuk pajak air ini. Usulan kita Rp1.700 per meter kubik. Dengan usulan itu kita harapkan harga dasar sama, sehingga kita tinggal hitung nilai perolehan,” ujarnya.
Dijelaskan Ispan, sebelum ada penurunan harga dasar air permukaan, harga yang ditetapkan pihaknya bervariasi. Di mana paling tinggi Rp4.500 per meter kubik.
“Harga dasar paling tinggi itu di Kabupaten Kuansing mencapai Rp4.500 per meter kubik. Sedangkan harga paling kecil Rp1.000 per meter kubik, itu seperti di Dumai dan Rohil,” ujarnya. (LKC)
Komentar