Cinta Menurut Syair Kahlil Gibran

Daftar Isi

    LancangKuning - Najwa_Asyilah

    Aku tak tahu harus mengeluarkan kata apa lagi untuk menolak keinginan orang tuaku yang menjodohkan aku dengan anak rekan kerjanya bernama Sony yang aku panggil Om. Selain usiaku yang terbilang muda tentu saja belum siap untuk menikah, selain itu akupun ingin mendapatkan gelar sarjana dulu. Aku ingin berhasil sebelum aku menikah.

    Meskipun orang berkata harta orang tuaku tidak akan habis tujuh keturunan tetap saja aku ingin berhasil dengan usahaku tanpa bergantung pada mereka. Meskipun tujuan mereka menikahkan ku untuk mempererat tali silahturahmi tetap saja itu tidak adil bagiku, aku juga memiliki hak untuk diriku sendiri sedangka dalam undang-undang saja juga dijelaskan bahwa kita memiliki hak untuk memilih. Jadi, tidak ada salahku untuk menolak keinginan oramg tuaku. Meskipun mereka memberi alasan untuk bertunangan dulu tetap saja aku tidak setuju karena itu sama saja aku menjalani hubungan tanpa ikatan pernikahan, kalau hanya untuk waktu satu bulan itu wajar tapi ini bertunangan dalam jangka waktu yang belum pasti kapan aku akan tamat kuliah.

                Semua ini bermula padaku karena kak Viola sepupuku. Apapun alasannya, aku tetap tidak menerima perjodohan ini, aku berusah mengeluarkan kata-kata yang meyakinkan tanpa menyingung ayah dan juga rekan kerja ayah. Saat itu aku belum bertemu dengan anak rekan kerja ayah tapi aku sudah begitu akrab dengan Om Sony karena dia sering berkunjung kerumah untuk bersilahturahmi. Om sony tidak bisa membawa anaknya kerumah karena anaknya itu sedang kuliah di luar negeri dan mereka bilang akan memperkenalkan aku dan anaknya di saat kami sama-sama libur kuliah. Jujur saja, bagi wanita zaman sekarang pasti akan setuju bila di jodohkan dengan anak pengusaha kaya dan anak satu-satunya karena sudah bisa dijamin kehidupannya akan bahagia. Tapi itu pandangan manusia yang tidak beriman, bagiku sekaya apapun om Sony sekarang tidak akan menutup kemungkinan suatu saat akan jatuh atas kehendak Allah, bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin bukan.

    ***

                Sepulang sekolah aku heran melihat suasana rumahku yang ramai. Aku bertanya-tanya dalam hati ada apa sebenarnya ini. Aku melihat kak Viola sepupuku dari kampung beserta paman dan bibi orang tua kak Viola. Aku langsung menghampiri mereka dan menyalaminya. Ternyata begitu banyak tamu dan tidak mungkin aku menyalami mereka satu-satu. Tapi, aku melihat om Sony rekan kerja ayah yang membuatku semakin bertanya-tanya. Aku tidak sabar lagi akupu menarik tangan kak Viola kekamar dengan maksud bertanya.

                “Kak, ada acara apaan sih kak? trus rekan kerja ayah kok juga ada di sini?” tanyaku penuh penasaran.

                “Emang kamu nggak diberitahu paman?” Tanya kak Viola balik padaku dan paman yang dia maksud adalah ayahku.

                “Nggak.” Jawabku tegas.

                “Ini acara perjodohan untuk mempererat hubungan dua buah keluarga antara ayahmu dan rekan kerjanya.” Jawab kak Viola dengan wajah serius.

                “Perjodohan kak?” Aku berdiri dari dudukku dengan nada terkejut. “Ini nggak bisa dibiarkan, emangnya ini masih zaman Siti Nurbaya apa?” tanyaku lagi dengan nada kesal tanpa memerlukan jawaban kak Viola dan berlari keluar tanpa menghiraukan panggilan kak Viola lagi.

                “Ayah.” Panggilku dengan nada agak tinggi membuat semua orang di ruangan terdiam. “Aku nggak suka dengan perjodohan ini, ayah kira ini zaman Siti Nurbaya apa? Aku pokoknya nggak mau dijodohkan, ayahkan tahu aku sendiri masi SMA masi di jodohin. Pokoknya aku nggak mau."

                “Rahma maksud kamu apa? Kamu kenapa marah-marah nggak jelas.” Ibu berusaha mendekatiku.

                “Udah ibu aku nggak mau, ibu jangan marayu aku. Aku tetap nggak mau di jodohin.”

                “Yang mau jodohin kamu siapa?” Tanya ayah sambil ketawa dan membuat seisi ruanganpun menertawakan aku.

                “Kak Viola bilang tadi….”  Belum sempat aku melajutkan kata-kataku kak Viola keburu memotongnya.

                “Kakak kan nggak bilang kalau yang di jodohin kamu. Makanya kalau mau nanya itu dengerin dulu penjelasan orang.” Sambung kak Viola lagi-lagi membuat semua orang menertawakan aku.

                “Trus siapa dong.” Tanyaku penasaran juga dengan tampang malu.

                “Kakakmu, Viola.” Jawab ayah padaku.

                “Syukur deh, kirain aku. Akukan masih dini mikirin pertunanganan.” Jawabku sambil menghembuskan nafas lega tapi diiringi rasa malu yang membuat keributan karena salah paham.

    ***

                Hari ini matahari begitu cerah memancarkan senyuman yang begitu hangat sesekali anginpun membelai rambutku dalam langkah menuju kost-kostanku. Rasanya hari ini aku sangat bahagia, aku tidak tahu ini karena apa. Kutebarkan senyuman tulusku disepanjang perjalanan kepada setiap orang yang berpas-pasan denganku. Tak terasa akupun telah di depan pintu kostku. Ku ucapakan salam kepada semua teman satu kostku yang sudah pulang, akupun masuk ke kamar untuk menganti pakaianku dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu karena aku belum menunaikan sholat zhuhur. Setelah selesai sholat rasanya hatiku begitu damai, aku merasakan kebahagian yang sempurna. Kurebahkan tubuhku ke kasur untuk istirahat sejenak sebelum mengerjakan tugas-tugas yang telah menumpuk. Tapi sepuluh menit aku mencoba memejamkan mata ponselku bordering, akupun meraihnya ternyata telpon dari ayahku, akupun bergegas mengangkatnya.

                “Assalamualaikum, ayah. Ada apa?” Tanyaku mengawali percakapan.

                “Waalikum salam Rahma, kamu sabtu pulang ya? Ada sesuatu yang harus kita bahas.” Ujar ayah di seberang telpon yang kedengarannya begitu penting.

                “Emang ada apa yah? Penting banget ya?” tanyaku penuh penasaran.

                “Nggak bisa ayah jelaskan sekarang, yang pasti kamu pulang ya sabtu.” Jawab ayah tanpa memberikan penjelasan.

                “Insyaallah ya ayah.”

                “Ya udah ayah tutup telpon ya, kamu belajar yang rajin. Jangan macam-macam.”

                “Iya, iya ayah, aku akan selalu ingat apa yang ayah bilang. Ya udah aku tutup ya ayah Assalamualaikum.”

                “Waalaikum salam.” Balas ayah yang terdengar kurang jelas sebelum aku menutup telpon.

                Setelah menerima telepon dari ayah perasaanku mulai gelisah, rasa penasaran atas perkataan ayahpun semakin besar dibenakku. Aku ingin waktu berjalan cepat dan segera hari sabtu, aku hitung-hitung dari sekarang sabtu dua hari 10 jam lagi. Konsentarasi belajarkupun buyar. Aku berusaha melaksanakan tugasku sebaik mungkin. Ayah benar-benar telah berhasil membuatku penasaran. Sekuat tenaga aku menenangkan hatiku, aku serahkan semua pada yang maha kuasa. Apapun maksud ayah, aku berharap itu sebuah kebahagian.

                Jarum jam teru berputar, haripun terus berganti. Kini tiba hari sabtu, seperti keinginan ayah aku harus pulang. Pukul 13.00 wib selesai sholat zhuhur akupun meningalkan kost mengendarai sepeda motorku. Sepeda motor ini hanya aku gunakan jika aku menempuh perjalanan jauh salah satunya pulang ke rumah orang tuaku yang menempuh jarak waktu 2 jam perjalanan ke kampusku, itupun jika aku sedikit ngebut dan resikonya kecelakaan lalu lintas. Untuk itulah aku memutuskan untuk menyewa kost-kostan. Terkadang aku pulang sekali dalam dua minggu atau sekali seminggu tergantung jadwal kuliahku. Aku semakin merasa tidak sabar sampai secepat mungkin di rumah, ingin aku menjalankan motorku secepat mungkin tapi aku takut karena jalanan lumayan ramai. Kira-kira tiga jam aku di perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah. Aku di sambut oleh ibu dan ayahku. Menjadi anak semata wayang memang sedikit susah, karena kedua orang tuaku tidak ada yang menemani saat aku kuliah. Setelah melepas rindu tak lama azan asharpun berkumandang, kamipun memutuskan untuk sholat berjamaah. Di dalam doa selesai sholat aku hanya meminta agar yang ingin di sampaikan ayah padaku adalah kabar bahagia.

                Selesai sholat aku dan kedua orang tuaku duduk di ruang dimana kami biasa nonton. Di awali dengan canda tawa layaknya kehangatan keluarga, akupun memberanikan diri bertanya pada ayah.

                “Ayah, kemaren yang di telpon ayah pengen bilang apa? Kayaknya penting banget nyuruh aku pulang.” Tanyaku berharap dapat jawaban yang memuaskan.

                “Kamu kenapa toh Rahma. Di suruh pulang berarti kami kangen sama kamu.” Ujar ibuku tiba-tiba dan melanjutkan tanpa membiarkan aku berbicara. “Emang kamu nggak kangen sama kami berdua?”

                “Kangen kok bu, kangen banget. Kalau bisa ayah dan ibu tinggal di Pekanbaru aja.”

                “Ya, kalau kangen ngapain kamu nanya begituan.” Ujar ibu lagi sambil tersenyum.

                “Ah, ayah sih cara neleponnya kesannya penting banget. Biasanya kan nggak gitu.” Jawabku sedikit pelan.

                “Ok. Ayah ngerti maksud kamu. Baiklah ayah jelaskan.” Jawab ayah memotong kata-kata ku. “Kamu ingat dengan om Sony?” Tanya ayah.

                “Yang rekan kerja ayahkan? Yang adiknya paling kecil di jodohkan sama kak Viola. Jadi gimana ayah? Kapan kak Viola nikah?” Tanyaku balik pada ayah.

                “Kamu ni gimana sih, ngasih pertanyaan satu-satu. Pusing ayah jawabnya.” Keluh ayah padaku. “Pertunangan kakakmu di batalkan karena ….”

                “Kok bisa yah?” tanyaku penasaran memotong perkataan ayah.

                “Kamu dengerin dulu ayah bicara sampai selesai.” Ujar ibu sambil mengelus rambutku. “kebiasaanmu nggak pernah berubah, selalu memotong pembicaraan orang.”

                “Iya,iya maaf. Lajutkan ayah sayang.” Ujarku melemparkan senyuman yang lebar pada ayah.

                “Kata kak Viola, tunangannya itu kelakuannya jahat, belum jadi suami aja dia sudah berani ngatur-ngatur. Dia menolak di jodohkan, dia takut menyesal kelak.” Ayahpun melanjutkan perkataannya yang sempatku potong tadi.

                “Mungkin mereka nggak jodoh kali ayah, biarin aja.” Ujarku lagi setelah mendengarkan ayah. “Oya, hubungannya dengan aku apa yah?” tanayaku lagi.

                “Karena kamu anak satu-satunya, dan tidak ada lagi yang mengantikan kamu, terus hubungan keluarga kita dan om Sony nggak boleh putus.” Jawab ibu.

                “Apa? Jangan bilang ayah dan ibu menjodohkan aku dengan mantan tunangannya kak Viola itu. Dia kan sudah tua ayah, ibu. Mana umurnya di atas kak Viola dua tahun. Apa lagi dengerin cerita kak Viola. Apa ayah dan ibu tega biarin putri semata wayangnya menderita?” tangkasku dengan nada sedikit tinggi.

                “Bukan begitu maksud kami Rahma.” Ujar ayah.

                “Kalau bukan begitu lalu apa?” tanyaku sedikit membentak.

                “Rahma, nggak boleh gitu ngomongnya.” Ibu menasehatiku.

                “Begini, ayah nggak jodohin kamu dengan Joni yang kasar itu sayang.” Jelas ayah.  “Ayah mau jodohin kamu dengan anaknya om Sony, yang kuliah di Tokyo.”

                “Sama aja itu mah, yang jelas di jodohin. Sama keluaraga Sony lagi. Palingan sikap ma tingkahnya nggak jauh beda ayah sama pamannya. Mau kuliah di Tokyo kek, di Harvard, Oxford tetap aja keluaraga Sony. Aku nggak mau di jodohin ayah, aku…”

                “Tolong sekali ini aja.” Sambung ibu. “Kasian ayahmu, kedekatan keluarga kita dengan keluarga om Sony sudah bertahun-tahun. Dan itu adalah janji kami, akan menjodohkan salah satu anak kami. Tapi kami sama-sama hanya di karunia satu anak dan kebetulan om Sony dikarunia anak laki-laki sedangkan kami anak perempuan. Tolong mengerti.”

                “Ibu, aku ni masih delapan belas tahun. Aku masih ingin kuliah dan menggapai cita-citaku. Aku nggak ingin semua impianku kandas begitu saja.” Jelasaku pada ibu sambil menanggis di bahunya.

                “Ayah paham maksud kamu, tapi kamu bisa kok nikahnya nantik selesai wisuda. Yang penting kalian tunangan dulu.” Jelas ayah dengan sedikit menyesal.

                “Ayah, aku nggak kenal siapa dia. Bagaimana wajahnya, bagaimana sifatnya.”

                “Ayah sudah lihat dia kok sbelum dia berangkat ke Tokyo. Anaknya baik dan santun.”

                “Palingan itu basa-basi dia doang. Pokonya aku nggak mau ayah. Aku masih pengen bebas.” Tangkasku sambil berlari ke kamar.

                Sesampai di kamar aku menanggis, ternyata kecemasanku semenjak di telpon ayah inilah jawabannya. Bagaimana bisa ayah berfikir begitu, menjodohkanku saat aku masi usia dini. Aku tidak pernah membayangkan untuk menikah. Meskipun ayah bilang akan menungguku selesai kuliah tetap aja aku tidak bisa.

                “Rahma, ni ibu. Ibu boleh masuk?” Panggilnya di balik pintu kamarku.

                “Masuk aja nggak di kunci kok bu.” Jawabku.

                Ibupun berjalan mendekatiku yang sedang berbaring sambil menanggis tersedu-sedu. Ibu mengusap kepalaku.

                “Rahma, ibu mengerti perasaanmu. Niat kami baik sayang, nggak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya ke jurang. Ibu yakin kamu akan bahagia dengannya.” Jelas ibu.

                “Emangnya ibu dan ayah dulu di jodohkan ya?”

                “Nggak, kami Cuma ta’aruf seminggu setelah itu kamipun menikah.” Jelas ibu sambil tersenyum.

                “Apa ibu nggak takut saat itu kalau ayah akan bersikap semena-mena sama ibu.”

                “Nggak, buktinya sekarang kami bahagiakan.” Ujar ibu sambil tersenyum dan mengelus kepalaku.

                “Jodoh itu sudah di gariskan oleh Allah, kita tak perlu pacaran untuk mencari jodoh yang tepat, karena islam nggak pernah mengajarkan dengan cara pacaran, cukup dengan kita  berta’aruf saja.” Jelas ibu padaku.

                “Trus nggapain aku di jodohkan?”

                “Kami sebagai orang tua hanya ingin yang terbaik untuk anaknya, itulah alasan kenapa kami menjodohkan kamu Rahma. Kalau memang kalian di takdirkan bersama kami hanya tersenyum bahagia, kalau memang tidak itu kuasa Tuhan.” Jawab ibu membuat bulu kudukku merinding.

                “Baiklah, aku ingin bertemu dengan laki-laki yang di jodohkan denganku itu. Tapi aku hanya minta semua ini di serahkan pada kami. Orang tua tidak boleh ikut campur.” Jawabku dengan tegas setelah mendengar penjelasan ibu.

    ***

                Dua bulan telah berlalu, akupun sudah libur kuliah. Seperti janji ayah akan mempertemukan aku dengan anak om Sony yang ingin di jodohkan denganku ketika kami sama-sama telah libur. Rasanya jantungku ingin berhenti berdetak karena rasa cemas, aku hanaya berharap semua akan baik-baik saja. Hari ini aku dan ibu memasak masakan yang lumayan banyak, karena keluarga om Sony akan datang bersama anaknya itu. Namanya saja aku tidak tahu, karena aku tidak pernah bertanya. Entah kenapa hari ini aku mempertanyakan itu pada ibu.

                “Ibu, nama anaknya om Sony itu siapa?”

                “Nanti kalian kenalan saja.” Jawab ibu yang kurang memuaskan bagiku.

                Selesai memasak ibu memintaku untuk bersiap-siap dan berpenampilan yang rapi, bagi ibu dan ayah keluarga om Sony adalah keluarga terhormat. Selain om Sony rekan kerja ayah, mereka dulu juga sahabatan. Ayah dan ibu meminta untuk tidak mengecewakan mereka. Aku juga berharap begitu.

                Semua persiapan untuk menjamu keluarga om Sony telah selesai, tinggal menunggu tamu yang akan datang saja. Azhan asharpun berkumandang. Aku, ibu dan ayah melaksanakan sholat berjamaah. Selesai sholat kamipun mengobrol di ruang tamu, tak lama kemudian tamu yang di tunggupun datang. Kami menyambutnya dengan kehangatan layaknya keluaraga.

                “Rahma, kamu bikini minum ya.” Perintah ibu padaku.

                Akupun pergi kebelakang untuk membuat minuman. Aku merasa sangat cemas, hatiku begitu tidak tenang. Rasanya aku ingin lari saja, aku berusaha untuk bersikap tenang tapi semua sia-sia dan tanpa sengaja akupun menjatuhkan gelas dan pecah. Mungkin terdengar sampai ke ruang tamu.

                “Rahma, ada apa? Kamu nggak apa-apa kan?” Tanya ibu menghampiriku.

                “Nggak apa-apa kok bu, tadi itu ada kucing lewat jadi aku kaget.”

                “Owh ya udah. Kamu bikin minuman lagi yah.” Ujar Ibu.

                Akupun mengemaskan pecahan-pecahan gelas itu dan kembali membuat minuman dengan pikiran yang tidak tahu arah. Aku berusaha tetap tenang dalam kepanikan ku.

                “Silahkan di minum om, tante.” Ujarku dan akupun menoleh sambil tersenyum kepada laki-laki yang tidak aku kenal sambil meletakan minuman.

                Aku berharap dia mengerti maksud senyumanku, mungkin dialah yang akan di jodohkan denganku. Laki-laki berkulit putih, rambut yang tertata rapi tinggi kira-kira 165cm. kalau dilihat dari penampilan luar sepertinya dia memang baik tapi aku belum bisa menilainya karena aku belum kenal dengannya. Selesai meleletakan minuman aku mengambil posisi duduk di dekat ibu. Perbincangan panjangpun terjadi di anatara dua keluarga.

                “Rahma, kamu ajak Iqbal keliling rumah kita.” Ujar ayah padaku yang membuat aku sedikit gugup.

                “Kalau dia mau kamu bawa keliling daerah ini juga Rahma, anak om ni nggak pernah kesini.” Sambung om Sony.

                Aku hanya bisa mengangguk. Akupun menatap anak om Sony itu dan mengedipkan mataku sebagai tanda untuk mengajaknya. Kami berduapun meminta izin dan berjalan keluar dari rumah. Terdengar sekilas tawa ketika aku ingin melangkah keluar. Aku tidak begitu menghiraukannya. Aku terus berjalan dan memperlihatkan semua tanaman yang ada di sekitar rumahku pada anak om Sony itu. Setelah merasa lumayan letih akupun mengajaknya duduk di taman sebelah kanan rumahku yang di depannya juga ada kolam renang dan biasanya aku, ayah dan ibu juga sering duduk di sini.

                “Kamu mau aku ambilkan minum?” Tanyaku pada lawan jenis yang ada di depanku.

                “Nggak usah.” Jawabnya. “Oya, nama kamu siapa?” tanyanya padaku.

                “Hmmmm, bukannya kamu sudah dengar sendiri kalau namaku di sebut-sebut di dalam tadi? Yang harusnya nanya gitu aku kali.” Jawab ku agak kaku dan setengah tersenyum.

                “Oh iya, baiklah kita kenalan secara formal sekarang.” Ujarnya sambil mengarut kepalanya. “Nama aku Iqbal, Iqbal Pratmaja.” Jelasnya sambil mengulurkan tangannya padaku.

                “Ya, aku Fitria ar Rahma dan biasa di panggil Rahma.” Akupun membalas jabat tangannya.

                Saat berjabat tangan dengannya, aku merasa tidak tahan lagi. Aku sangat gugup, secepat kilat aku melepaska tanganku.

                “Oh iya, kamu tahu maksud pertemuan hari ini?” Tanyaku sedikit gugup.

                “Tahu.” Jawabnya sedikit membuatku kesal.

                “Trus, kamu setuju aja gitu? Emang kamu nggak kepikiran masa depan kamu?” tanyaku lagi.

                “Nggak tahu juga, ya aku berharap apa yang terbaik dari tuhan untukku. Kalau kita emang jodoh kenapa tidak.” Jelasnya sambil tersenyum yang membuatku semakin kaku tanpa mampu menjawab apa-apa.

                Lama kami terdiam, aku bingung mau mengatakan apa. Rasanya mulutku telah terkunci begitu rapat. Ingin aku bilang kalau aku tidak suka dengan perjodohan ini tapi begitu sulitnya bagiku mengerakan bibirku.

                “Menurut kamu, bagaimana dengan perjodohan kita ini? Apa kamu setuju?” Tanyanya balik padaku membuat aku tersentak dan semakin kaku.

                “Ah,…a..aku….gimana ya.” Jawabku gugup sesegera mungkin aku berusaha bersikap normal. “Aku teringat syair Kahlil Gibran, dia bilang ‘kalau sudah tiba waktunya cinta akan engkau labuhkan kepada seseorang untuk kau tambatkan, bukan karena di minta tetapi lebih karena keindahan menarik jiwa’ jujur untuk saat ini aku belum bisa terima dengan perjodohan ini.” jelasku dengan nada agak perlahan.

                “Terus kamu maunya bagaimana, aku bisa jelasin ke orang tua aku kok. Aku nggak ingin orang yang menjadi istriku tidak nyaman dengan keadaan. Kalau kamu belum siap menikah sekarang aku akan menunggumu.” Ujar Iqbal.

                “Aku hanya ingin berkarya dulu, ingin mengapai mimpiku tanpa tuntutan dan tanggung jawab sebagai istri.”

                “Kalau kamu maunya gitu, kita kan bisa menunggu dengan ikatan pertunangan saja.” Ujar Iqbal.

                “Aku hanya tidak ingin hatiku terbagi dengan orang yang bukan muhrim. Aku hanya minta kamu mengerti maksudku. Lebih baik kita berteman saja tanpa perasaan apa-apa. Kalau memang kita di takdirkan bersama maka saatnya akan tiba.  Jika takdirmu adalah aku ‘meskipun tidak bersatu di kehidupan ini mungkin kita bisa bersama di kehidupan lain’ Begitulah yang aku dengar menurut Kahlil Gibran.” Jelasku sambil melangkah meninggalkan Iqbal.

                Aku tahu ini hal yang mengecewakan untuk kedua orang tuaku, tapi ini adalah komitmen hidupku. Meskipun mereka meminta untuk bertunangan saja dulu tetap saja itu tidak bisa aku terima, karena berbagai macam pertimbangan. Aku berharap semua mengerti maksudku, semua paham keinginanku. Aku hanya yakin jika memang Iqbal takdir untuk pendampingku maka dia akan mendampingiku kelak.

    END

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Cinta Menurut Syair Kahlil Gibran
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar