Daftar Isi
LancangKuning - Presiden Joko Widodo tak lagi alergi dengan lockdown alias karantina wilayah. Jokowi, setelah sekian bulan menolak lockdown, akhirnya berani berdamai dengan kata tersebut.
Dalam rapat terbatas bersama jajarannya, Senin (28/9) lalu, mantan wali kota Solo itu menyinggung penerapan lockdown. Sedikit perbedaannya ialah, Jokowi tak menyebut total lockdown, melainkan mini lockdown atau karantina wilayah terbatas, yang menurutnya lebih efektif menekan penyebaran Covid-19.
"Mini lockdown yang berulang ini akan lebih efektif," katanya sebagaimana disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (28/9).
Baca Juga : Bupati Inhil Menjadi Keynote Speaker Webiner Nasional LP3M
Jokowi mengucapkan lockdown saat kasus Covid-19 di Indonesia semakin meningkat. Per hari saat mini lockdown keluar dari mulut presiden, kasus positif telah mencapai 278.722 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 206.870 orang dinyatakan sembuh dan 10.473 orang meninggal dunia.
Keberanian Jokowi mengakui efektivitas lockdown sangat bertolak belakang dengan sikapnya di masa-masa awal pandemi.
Pada Maret lalu, ketika kasus Covid-19 versi pemerintah masih berjumlah puluhan, Jokowi menolak menerapkan lockdown di wilayah terjangkit pandemi.
Sikap itu terang-terangan disampaikan Jokowi di tengah polemik publik mengenai cara paling efektif menekan penyebaran Covid-19. Kubu pertama mendorong pemerintah segera menerapkan lockdown seperti yang diterapkan sejumah negara lain. Kubu lain menolak lockdown.
Dalam panas polemik tersebut, pada 24 Maret Jokowi menyatakan pemerintah tak akan memilih kebijakan karantina wilayah atau lockdown.
Alasan Jokowi saat itu, setiap negara punya karakter, budaya, dan kedisiplinan yang berbeda-beda. "Oleh sebab itu kita tidak memilih jalan (lockdown) itu," ujar Jokowi saat membuka rapat terbatas terkait pandemi Covid-19.
Jokowi mengklaim telah mengantongi analisis hasil lockdown dari beberapa negara. "Itu sudah dipelajari. Saya memiliki analisis-analisis dari semua negara. Ada semuanya kebijakan mereka apa, mereka melakukan apa, hasilnya seperti apa. Semuanya dari Kemenlu sehingga terus kita pantau setiap hari," katanya.
Jokowi melangkah lebih jauh dengan mengklaim bahwa tidak ada negara-negara yang menerapkan lockdown, berhasil mengendalikan virus corona.
"Bukan karena masalah bujet, kita kan juga belajar dari negara-negara lain. Apakah lockdown itu berhasil menyelesaikan masalah, kan tidak," ujar Jokowi dalam wawancara eksklusif di acara Mata Najwa yang disiarkan Trans7, Rabu (22/4) malam.
Baca Juga : Zulaikhah Wardan Serahkan Piagam Penghargaan kepada GenRe Inhil
Ia memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketimbang lockdown sebagai solusi menekan laju penularan Covid-19.
Lewat PSBB, Jokowi mengklaim bahwa aktivitas ekonomi tetap dapat berjalan dengan menerapkan sejumlah protokol kesehatan.
Keputusan itu juga didukung oleh jajaran pembantu Presiden lain, tak terkecuali Kepala BNPB Doni Monardo. Dia mengatakan bahwa pemerintah akan kewalahan dalam mendistribusikan bantuan dana untuk masyarakat apabila menerapkan lockdown.
Penerapan PSBB merujuk pada Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dari UU tersebut dibuat Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kesehatan sebagai pedoman pelaksanaannya, yakni PP Nomor 21 Tahun 2020 yang diteken Jokowi pada 31 Maret 2020, dan Permenkes 9 Tahun 2020 yang ditandatangani Menkes Terawan pada 3 April 2020.
Sesuai ketentuan, penerapan PSBB akan berjalan selama 14 hari dan dapat diperpanjang. Pemerintah pun menggelontorkan alokasi pembiayaan sebesar Rp405,1 triliun dari APBN 2020 untuk penanganan Covid-19.
Meski kurva belum melandai, Jokowi mulai menyosialisasikan istilah new normal atau pola hidup normal baru dalam penanganan Covid-19, akhir Mei 2020.
Semula, pemerintah hanya mengizinkan penerapan new normal di beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota yang angka R0 atau indikator penularan virus sudah berada di bawah 1. Namun pola hidup normal baru perlahan meluas ke banyak daerah.
Sepanjang Juni 2020, sejumlah daerah-daerah di Indonesia mulai berbondong-bondong melonggarkan pengetatan aturan yang selama ini diterapkan.
Dalam penerapan new normal ini, Jokowi banyak menyerahkan kesiapsiagaan penanganan virus kepada Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, mulai banyak muncul istilah-istilah penyebutan new normal yang berbeda-beda di tiap wilayah.
"Kita berharap setiap tokoh-tokoh di daerah mampu menggunakan bahasa yang tepat untuk disampaikan kepada masyarakat," kata Doni Monardo, 17 Jui lalu, saat masih menjabat Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Jakarta menggunakan istilah PSBB Transisi sebagai jembatan menuju new normal. Gubernur Anies Baswedan menerapkan kebijakan itu pada 4 Juni.
Namun PSBB Transisi dan istilah new normal lain yang diterapkan sejumlah daerah, justru menjadi bumerang. Jakarta yang menjadi pusat episentrum virus, kedodoran membendung penyebaran virus di masa transisi. Klaster-klaster baru bermunculan, mulai dari pasar hingga perkantoran.
Pada 14 Juli, akumulasi kasus positif di Indonesia mencapai 78.572 orang. Dari jumlah tersebut, 37.636 orang di antaranya telah sembuh dan 3.710 orang meninggal dunia.
Jakarta, pada hari yang sama, mencatat kasus positif 14.914 orang. Catatan kasus itu terjadi pada pekan kedua penerapan PSBB Transisi Jilid II.
Anies sebenarnya sudah mewanti-wanti akan menarik rem darurat jika wabah tak kunjung terkendali di masa transisi. Setelah sekian lama jadi wacana, Anies akhirnya merealisasikan itu pada 9 September lalu. Anies menarik rem darurat, Jakarta menerapkan kembali PSBB secara total.
Saat Jakarta menarik rem darurat, kasus positif nasional telah menembus angka 203.342 kasus. Sementara DKI mencatat 48.811 kasus sehari sebelum rem darurat ditarik. Ada lonjakan 33.897 kasus di Jakarta hanya dalam kurun 14 Juli hingga 8 September.
Baca Juga : Angka Persentase Pasien Sembuh Covid-19 di Riau Meningkat
PSBB total Anies mengejutkan dan memantik reaksi dari banyak pihak. Tak terkecuali Presiden Jokowi.
Lewat juru bicara Fadjroel Rachman, Jokowi bahkan memilih versi lain ketimbang PSBB Total Anies.
Jokowi masih tak menyebut lockdown. Ia mengenalkan kata PSBM atau Pembatasan Sosial Berskala Mikro atau komunitas.
Menurutnya, PSBM lebih efektif diterapkan untuk disiplin protokol kesehatan.
"Presiden menekankan, berdasarkan pengalaman empiris dan pendapat ahli sepanjang menangani pandemi covid-19, Pembatasan Sosial Berskala Mikro/Komunitas lebih efektif menerapkan disiplin protokol kesehatan," ujar Fadjroel, 11 September.
Namun semua upaya dan istilah yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta sebagai wilayah episentrum, tak kuasa membendung penyebaran virus. Dari hari ke hari jumlah kasus positif terus meningkat.
Catatan , dalam tiga bulan terakhir, total kasus meningkat hingga hampir dua kali lipat.
Pada Juli, tambahan kasus mencapai 51.991, kemudian jumlah itu meningkat pada Agustus sebanyak 66.420. Lalu pada September tambahan kasus positif mencapai 107.928.
Per 29 September, jumlah kumulatif kasus positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 282.724 orang. Angka tersebut bertambah sebanyak 4.002 kasus dari hari sebelumnya.
Dari jumlah itu, sebanyak 210.437 orang dinyatakan sembuh dan 10.601 orang meninggal dunia. Data tersebut dihimpun Kementerian Kesehatan per pukul 12.00 WIB. Sehari sebelumnya, Jokowi untuk kali pertama menghalalkan kata lockdown, lebih tepatnya mini lockdown, diterapkan di Indonesia.
Politikus PAN di Parlemen, Saleh Partaonan Daulay berseloroh atas mini lockdown Jokowi, yang baru diucapkan setelah 6 bulan lebih virus corona menyebar di seluruh wilayah Indonesia.
"Mengapa lockdown mini ini baru muncul sekarang sih? Kenapa waktu dulu enggak? Padahal perdebatannya sudah sejak awal daripada Covid-19 masuk Indonesia. Sudah banyak usulan juga kalau kita harus lockdown," kata Saleh.
Komentar