Resensi Novel: Senyum Gadis Bell’s Palsy

Daftar Isi

    Betapa sastra yang menurut seorang Plato menjadi mimesis (refleksi dari kenyataan), sekadar serap-limpahan dari ide (idea) yang direfleksikan ke dalam bentuk materi, lalu pada akhirnya diekspresikan kembali dalam bentuk bahasa dan simbol-simbol. Pada akhirnya Plato pun menempatkan sastra tak bisa lebih tinggi dari materialitas yang pula tiada lebih hebat dari idea. Tiruan (mimesis) tak bisa lebih tinggi dari kenyataan yang ditirukan yang kesemuanya bersumber dari ide.

    Kita teringat pula esensi sastra dari murid Plato sendiri, Aristoteles yang menyatakan mimesis para seniman tak semata-mata menjiplak, tapi merupakan sebuah proses kreatif. Aristoteles pula menempatkan sastra sebagai kegiatan yang berlalukan agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Sastra yang dalam pandangan Aristoteles tak sekadar meniru kenyataan yang berasal dari ide, tapi merupakan proses universalitas dari realita yang ada.

    Kita dalam hal ini tidak memperdebatkan tentang dialektika Plato-Aristoteles tentang sastra. Pula tak berlama-lama dengan pertentangan idealis-realis dari pandangan keduanya. Hanya saja dalam hal ini saya lebih memilih pandangan Aristoteles yang memandang sastra tak sekadar menarik simpul-simpul ide, tapi ada kebermanfaatan yang terangkum di dalamnya. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah adakah sastra yang mengandung kebermanfaatan itu?

    Jawabannya tentulah ada. Salah satu yang saya hantarkan dalam tulisan ini adalah novel berjudul “Senyum Gadis Bell’s Palsy” karya Aliya Nurlela. Novel yang beranjak dari pengalaman pribadi penulis di beberapa bagiannya, membuat novel ini terasa nyata bagi pembaca. Unsur estetika dalam berbahasa yang padu-padan pun menampilkan pesan yang hendak disampaikan menjadi mudah dicerna. Tentang pesan yang dimaksud saya sematkan pada akhir tulisan ini.


    Tentang Senyum Gadis Bell’s Palsy

    Novel karangan Aliya Nurlela ini saya nilai mempunyai segmentasi tersendiri. Bila dilihat, penggunaan bahasa yang ringan dan akrab di keseharian membuat isinya mudah untuk dipahami. Lebih lagi, kehidupan seorang gadis dengan konfliktualisasi dalam kehidupan yang diangkat dalam novel ini menjadikannya sebuah novel remaja yang baik sebagai salah satu bacaan yang berisikan norma dan pengajaran.

    Adalah Delima, gadis yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini. Perempuan yang tengah mengenyam studi di sebuah kampus di Tanah Pasundan dengan kehidupan yang semula wajar-wajar saja. Menjalani kehidupan berdua dengan kakaknya Fariz sebab ayah dan ibu mereka sudah tiada, dua kakak-beradik ini pula berusaha melalui hari-hari dengan sebahagia mungkin.

    Benar bahwa penggambaran kehidupan mereka sudah tergolong mapan. Namun selayaknya seorang kakak yang kini menjadi pengganti ayahnya sebagai tulang punggung keluarga, serta pengganti ibunya untuk menjaga dan mendidik Delima adiknya, Fariz menjalani dunia kerja untuk melalui kesehariannya. Di usia 25 tahun, Faris belum menikah semata mengayomi adiknya yang tengah mengenyam bangku kuliah.

    Delima, gadis yang masih melihat dunia sekadar sekeliling ruang kampus dan kehidupan pergaulannya semata masih menjalani hidup dengan bahagia. Pun ada Bagas, karakter pria yang disematkan sebagai kekasihnya. Layaknya bujang-gadis kasmaran lainnya, Delima dan Bagas kerap berjalan berdua dan mengunjungi tempat-tempat di mana mereka bisa bercengkerama leluasa. Toko buku, pusat keramaian, serta lainnya yang bisa mereka singgahi untuk saling berbicara. Berkisah dan berandai-andai tentang kehidupan masa depan mereka nanti.

    Delima dan Bagas boleh saja bersenda-gurau dan berriang diri. Berbeda dengan Fariz, kakak mana yang tak gelisah manakala adik gadisnya leluasa berjalan-jalan di tengah keramaian sesuka hati mereka. Hanya saja Fariz masih bersikap wajar, sebab Delima pula punya hak dan tanggungjawab sendiri akan dirinya dan apa yang diperbuat. Fariz sekadar menasihati adiknya beberapa kali.

    Siapa pula menyangka, seorang Delima yang semula adalah gadis periang berubah secara tiba-tiba suatu pagi. Delima yang memang pula parasnya digambarkan jelita mendapati dirinya mengalami keganjilan suatu pagi. Di depan sebuah cermin ia tengah berkaca; alis, pipi, bibir, sebagian dari wajahnya menjadi tak beraturan dan tak berimbang. Separuh wajahnya pula terasa menebal dan terasa begitu tak menyamankan. Rupanya yang elok seketika menghilang.

    Delima terpekik dan menangis. Fariz kakaknya tahu dan terkaget. Bagas kekasihnya pun pada akhirnya ikut tahu dan terkaget. Wajah Delima tak lagi jelita. Itulah bell’s palsy, sakit yang melumpuhkan separuh syaraf wajahnya.

    Kesedihan demi kesedihan mulai membalut diri Delima. Tak hanya bell’s palsy yang menjadi beban baginya, di kemudian hari pun pada akhirnya Bagas kekasih Delima berangsur meninggalkan dan membencinya. Pria yang semula berujar tulus memberi cinta pada Delima, seketika pergi dari gadis yang dulu jelita dan berubah tak lagi rupawan manakala sakit tersebut menghampiri.

    Fariz sadar akan kesedihan adiknya. Fariz pun tergolongkan seorang muda yang paham dengan agama. Di satu sisi dia merasa tenang bila saja Bagas, pemuda yang semula berlaku dekat dengan adik perempuannya kini telah menampakkan belang itu pergi menjauh. Ia senang bahwa khalwat di antara adiknya dan pemuda itu berakhir. Hanya saja di sisi lain Fariz sadar bahwa penyakit yang menimpa adiknya adalah beban yang berat untuk ditanggung Delima.

    Raihanah, seorang muslimah yang taat beragama dan merupakan kenalan Fariz di pengajian pun hadir. Permintaan Fariz pada Raihanah untuk membantu penyembuhan kepercayaan diri Delima di samping pendekatan medis yang tengah dijalani dirasa tepat oleh Fariz. Raihanah pun mengamini, terlepas dari apa yang mendorong Raihanah mau membantu Delima akan hal itu. Baik Fariz maupun Raihanah, keduanya sama-sama merupakan muslim yang taat dan tahu akan hal menjaga diri, termasuk menjaga hati.

    Hari berlalu, waktu berganti, serta hubungan Delima dan Raihanah pun berangsur terjalin baik. Delima penggemar buku, sastra terutama. Raihanah melihat potensi tersebut dan mengajak Delima untuk menuliskan karya-karya sendiri dari pengalamannya membaca selama ini. Siapa sangka, pada akhirnya beberapa tulisannya diterbitkan media massa. Berangsur, Delima kembali bangkit.

    Namun hal tersebut tak berlangsung lama. Pada akhirnya Raihanah harus pergi untuk beberapa waktu sebab mendapati kabar bibinya tengah sakit pula. Paman Raihanah memintanya menemani di sana. Kembali, Delima ditinggal seseorang yang menjadi sumber semangatnya.

    Masih ada lagi sisi-sisi konfilktual lain yang disematkan dalam novel ini. Manakala Delima kelak bertemu Ziyad Amru, seorang fotografer yang juga kenalan kakaknya. Sempat menaruh hati pada Ziyad dan pada akhirnya harus kembali menemui pedihnya rasa kehilangan. Tentang Delima yang berputus asa pada segala kepedihan kehidupan. Hingga pada akhirnya Raihana kembali dan Delima menemukan kunci kebahagiaan tersendiri yang telah ditakdirkan Tuhan.

    Pada akhirnya Aliya Nurlela yang sebelumnya merilis novel “Lukisan Cahaya di Batas Kota Galuh” ini kembali menyertakan banyak nilai-nilai kebermanfaatan. Pembaca dibuat tahu akan apa itu penyakit bell’s palsy. Pembaca juga dibuat yakin bahwa penyakit bukanlah penghalang untuk tetap maju dan melanjutkan kehidupan. Sama pula seperti tulisannya yang lain, Aliya Nurlela melampirkan nilai-nilai positif seperti semangat dan kepercayaan diri, pantang menyerah, serta yang lebih penting adalah percaya bahwa keberserahan diri pada Tuhan yang maha kuasa adalah hal yang penting dalam berkehidupan.


    Membangkitkan Ketertarikan pada Sastra

    Kita boleh kembali pada uraian Aristoteles tentang sastra yang berreflektifitas pada realita. Ketika keberadaan sastra menjadi medium untuk tersampaikannya pesan-pesan baik untuk kehidupan. Dalam hal ini, saya menilai Aliya Nurlela telah berhasil membawakannya dengan apik. Seperti yang dituliskan sebelumnya, tema remaja yang diangkat dalam novel ini benarlah berkesesuaian. Mengingat perlunya nilai-nilai dalam kehidupan remaja saat ini diperkuat dari sisi moral (akhlak) dan keagamaan, serta kepercayaan diri sebagai sebuah koridor untuk menuntun setiap langkah-langkahnya. Tentu kita berharap tuangan pemikiran yang dihadirkan sebagai sebentuk sastra pada para remaja seperti yang dibuah-karyakan oleh Aliya Nurlela dapat bermunculan selepas ini.

    Keberbangkitan akan cinta terhadap aksara baik dalam hal menulis maupun membaca perlu pula dibarengi dengan penanaman nilai-nilai baik yang menyertainya. Sehingga kelak kita tak hanya memanen dari generasi muda saat ini atmosfir giatnya keberaksaraan semata, tapi juga mampu menghadirkan pemecahan masalah-masalah melalui karya-karyanya. Semoga saja.

     

    Novaldi Herman

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Resensi Novel: Senyum Gadis Bell’s Palsy
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar