Benarkah Sistem Politik Ekonomi Islam Tepat Untuk Rakyat?

Daftar Isi

    Rinaldi(Aktifis FE-UR)

    Diantara berbagai disiplin ilmu sosial yang ada, Ilmu Politik merupakan disiplin ilmu sosial yang paling tidak jelas ruang lingkupnya. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa pada sejumlah buku Ekonomi Politik yang beredar saat ini, baik dari luar apalagi dalam negeri, tidak ada standar untuk lingkup pembahasannya. Walaupun tiap buku mencantuman “Ekonomi Politik”, kalau diperhatikan pokok bahasan antara buku satu dengan yang lainnya sangat berbeda. Ada buku yang berfokus pada kebutuhan dasar, dan ada pula yang hanya membahas topik-topik tertentu seperti utang luar negeri atau globlalisasi tetapi diembel-embeli dengan “Ekonomi Politik”, dan kali ini penulis mencoba membahas tentang Sistem Ekonomi Politik apa sebenarnya yang sesuai dengan kondisi Indonesia?Benarkah sistem Politik Ekonomi Islam tepat untuk rakyat?

    Dalam buku What is Political Economy? A Study of Social Theory and Underdevelopment (1985) karya Staniland, yang dimaksud Ekonomi Politik adalah sebuah studi tentang teori sosial dan keterbelakangan. Lebih lanjut, mengacu pada masalah dasar dalam teori sosial : hubungan antara politik dan ekonomi. Isu ini memiliki dua sisi, eksplanatori dan normatif. Hal ini memunculkan pernyataan mengenai bagaimana kedua proses tersebut saling terkait dan bagaimana seharusnya mereka terkait.

    Sebelumnya kita harus memahami bagaimana sistem Ekonomi Politik dari berbagai perspektif, mulai dari perspektif Ekonomi Politik Liberal Klasik, Ekonomi Politik Sosialisme (Marxisme), Ekonomi Politik Neoklasik, Ekonomi Politik Radikal (Strukturalisasi dan Dependensia), Ekonomi Politik Kelembagaan, Ekonomi Politik Baru, Ekonomi Politik Neoberalisme hingga Politik Ekonomi Islam yang masih banyak diragukan.

    Sistem ekonomi politik di negara  Indonesia  secara normatif legal berada dalam kategori sosialisme. Naskah dalam klausul ekonomi UUD 1945 mengutamakan keadilan dan kesejahteraan sosial bukan kesejahteraan orang per orang, bahkan kekayaan alam dikuasai negara dan menempatkan BUMN secara strategis. Namun prakteknya pemerintahan orde baru sampai saat ini justru mempraktekkan sistem kapitalisme. Berbagai bentuk rangsangan diberikan kepada kelompok yang paling dinamis di dalam masyarakat yaitu kelompok pengusaha untuk melaksanakan proses produksi dimana faktor modal dan teknologi memegang peranan yang paling menentukan. Jelasnya format sistem ekonomi politik memiliki ide dasar kapitalisme atau liberalisme yaitu sistem ekonomi mekanisme pasar di mana peran negara di kurangi, harga sepenuhnya dikendalikan pada mekanisme pasar. Pada posisi ini pemilik modal besar dan teknologi maju dapat dipastikan memenangkan persaingan dan dominasi pada kaum kapitalis.

     
    1. Perspektif Ekonomi Politik Liberal Klasik

    Adam Smith melalui karyanya The Wealth of Nation menjelaskan kepada kita, bagaimanakah pandangan kaum klasik tentang kekayaan, pembagian kerja, khuluk manusia, mekanisme pasar dan paham liberalisme?

    Pandangan tentang Kekayaan. Bagi Adam Smith kekayaan adalah kemakmuran atau kesejahteraan. Untuk memproduksi kekayaan diperlukan berbagai faktor produksi, seperti SDM, capital, dan SDM.

    Secara konseptual, pendistribusian kekayaan sangat ditentukan oleh actor-aktor atau kelas-kelas sosial yang berperan dalam proses produksi kekayaan. Aktor-aktor tersebut adalah tenaga kerja (pemilik SDM), kapitalis (pemilik capital), dan para tuan tanah atau landlord (pemilik sumber daya alam, terutama tanah). Idealnya, tiap aktor tersebut memperoleh bagian masing-masing secara adil. Namun dalam praktiknya, pemilik capital dan tuan tanah lebih sering memperoleh bagian yang lebih besar, sedangkan buruh hanya memperoleh bagian yang kecil.

    Teori Pembagian Kerja. Agar orang bisa memperoleh hasil yang lebih baik, Smith menganjurkan adanya pembagian kerja. Jika ada pembagian kerja, di mana tiap orang hanya mengerjakan suatu bagian pekerjaan tertentu saja, dan pekerja lain mengerjakan bagian tertentu yang lainnya pula, maka hasil yang diperoleh tiap orang akan jauh lebih besar. Teori pembagian kerja menunjukan bahwa dalam upaya mengejar keinginan pribadi, orang perlu bekerja sama dengan orang lain.

    Khuluk Manusia. Salah satu sifat atau khuluk manusia yang dipelajari Smith ialah bahwa semua orang ingin hidup lebih baik. Keinginan seperti inilah yang disebut Smith sebagai “hasrat untuk kondisi yang lebih baik, suatu hasrat yang ada dalam diri kita semenjak masih di rahim dan tidak akan pernah meninggalkan kita hingga ajal menjemput” (Buchholz, 1990).

    Dalam meletakan dasar-dasar ekonomi, Adam Smith secara ekspresif mengeliminasi motif-motif lain selain kepentingan pribadi. Dalam konsep-konsep yang dikembangkan oleh kaum klasik ada asumsi bahwa manusia adalah makhluk rasional yang akan berusaha memilih alternatif terbaik dari berbagai pilihan yang tersedia. Adapun dorongan utama setiap pelaku ekonomi dalam tindakannya adalah kepentingan pribadi. Konsumen yang rasional  akan berusaha memaksimumkan kepuasan, dan produsen yang rasional berusaha memperoleh keuntungan-keuntungan yang sebesar-besarnya.

     

    Mekanisme Pasar.Dalam melakukan berbagai aktivitas ekonomi setiap orang tidak tahu kebutuhan siapa yang akan ia penuhi dan kita juga tidak tahu sumber kita untuk mendapatkan sesuatu, Semuanya terjadi begitu saja tanpa perencanaan. Kita semua hampir melayani orang-orang yang tidak kita kenal, tetapi kita terus hidup dari jasa yang kita berikan pada orang-orang yang tidak kita kenal tersebut. Semua ini bisa terjadi karna kita berdiri dalam satu kerangka institusi dan tradisi – Ekonomi, Hukum, dan Moral – dengan mematuhi aturan-aturan prilaku tertentu yang kita sendiri juga tidak ikut membuatnya (Hayek, 1989).

    Menurut Adam Smith,yang mengatur semua itu adalah pasar, yang digerakkan oleh apa yang disebut Smith sebagai tangan tak kentara (Invisible Hand). Menurut Sheldon (1991), pasar adalah motor penggerak kesejahteraan. Selain itu, pasar juga merefleksikan kebutuhan individu dan keinginan masyarakat, bukan sebagai instrumen untuk digunakan oleh segelintir orang yang memilki kekuatan politik.

    Paham Liberalisme. Pandangan Adam Smith dalam Politik Ekonomi Liberal Klasik yaitu tiap pelaku ekonomi (konsumen maupun  produsen) haruslah diberi kebebasan untuk   mengejar kepentingan pribadinya masing-masing. Konsumen diberi kebebasan memilih kombinasi konsumsi dari berbagai macam barang dan jasa yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya sesuai selera dan kemampuan uang yang dimilikinya. Begitu juga produsen diberi kebebasan memilih berbagai input dan teknologi untuk digunakan dalam proses produksi menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang paling menguntungkan usahanya. Walau kedua pihak (konsumen dan produsen) memiliki motivasi yang bertolak belakang, tetapi kalau perekonomian dibiarkan bebas sesuai kekuatan mekanisme pasar tanpa campur tangan dari pemerintah maka akan tercipta suatu keseimbangan atau ekuilibrium.

    Salah satu asumsi yang penting dalam sistem ekonomi bebas yang dikembangkan Adam Smith ialah bahwa setiap orang dibebaskan melakukan yang terbaik bagi dirinya masing-masing.

    Proses peminggiran peran pemerintah. Perbedaan utama antara kaum klasik dengan pemikir-pemikir terdahulu ialah bahwa kaum klasik terutama Smith, sangat anti dengan campur tangan pemerintah. Pandangan ini dangat bertolak belakang dengan pandangan yang dianut pada masa merkantilesme yang percaya bahwa negarawan, sebagai layaknya seorang Bapak yang baik dalam suatu rumah tangga, bertanggung jawab memenuhi semua kebutuhan seluruh anggota masyarakat dan mengatur ketenagakerjaan. Oleh Smith, doktrin merkantilis ini dinilai terlalu paternalistis.

     
    1. Ekonomi Politik Sosialisme (Marxisme)

    Sosialisme dilihat sebagai suatu sistem ekonomi-politik adalah sebuah sistem sosial yang dilandaskan pada prinsip komune atau kebersamaan, dimana pemelikan alat-alat produksi (Means of production) dan distribusi adalah bersifat kolektif. Dalam masyarakat sosialis yang menonjol adalah kebersamaan, dan salah satu bentuknya yang paling ekstrim aadalah komunisme, dimana keputusan-keputusan ekonomi disusun, direncanakan, dan sekaligus dikontrol oleh negara.

    1. Sosialisme sebelum Marx

    Kita bisa melihat bahwa ide sosialisme sebelum Marx, baik yang sifatnya “Utopis” maupun yang sudah merealisasi ide atau gagasan membentuk sebuah komunitas bersama. Istilah “Utopia” pertama kali muncul dalam buku “Utopia” yan ditulis oleh Thomas More (1478-1535), yang isinya berupa pandangan tentang sebuah “Masyarakat sempurna” yang hidup dalam suatu komunitas. Tetapi, cetak biru utopia dalam sejarah sebenarnya ditulis dalam bahasa yunani kuno sekitar 380 SM oleh Plato dalam bukunya yang berjudul “Republika”.

    Menurut Plato, mengurus negara lebih rumit dari pada mengurus rumah tangga. Oleh karna itu, Plato menganjurkan agar negara dipimpin oleh seorang negarawan ulung yang terdidik dan telah dipersiapkan dengan matang. Karena seorang negarawan yang memimpin sebuah negara mempunyai kekuasaan yang cukup besar, harus dibuat aturan main agar ia tidak menggunakan kekuasaan yang ada ditangannya untuk memperkaya diri dan keluarganya.

     

    Selain sosialisme yang sifatnya utopis, juga ada pihak-pihak yang memprakarsai dan merealisasikan cita-citanya membentuk komunitas bersama dengan mendirikan koperasi. Dari catatan sejarah, orang yang pertama kali merealisasikan ide membentuk komunitas bersama adalah Robert Owen (1771-1858).

    1. Sosialisme Marx (Marxisme)

    Walau sudah ada gagasan dan pemikiran tentang sosialisme, bahkan sudah ada praktik hidup bersama dalam suatu komune sebelum Marx, kalau ingin berbicara tentang sosialisme sebagai suatu sistem, maka yang dijadikan sebagai rujukan utama adalah Karl Marx dan sahabat sekaligus pendukung finansialnya Friedrich Engels. Sosialisme yang digagas oleh Marx dan Engels ini lazim disebut Marxisme.

    Mereka mengembangkan berbagai kritikan untuk menjatuhkan sistem ekonomi liberal berdasar mekanisme pasar tersebut. Marx menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk membuktikan bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem yang tidak adil dan busuk dari dalam.

    Dari segi moral, Marx mengatakan bahwa kapitalisme mewarisi ketidakadilan dari dalam sebab tidak peduli dengan kepincangan dan keenjangan sosial dalam masyarakat. Dari segi sosial, Marx memandang kapitalisme sebagai sumber konflik antar kelas, terutama sekali antara kapitalis dengan buruh, dimana yang satu berperan sebagai penindas (Oppressor), sedang yang lainnya sebagai orang yang tertindas (Oppressed). Dari segi ekonomi, Marx melihat bahwa kapitalisme tidak lain hanya sebagai alat bagi para kapitalis untuk mengejar laba, dan salah satu caranya adalah dengan menekan buruh sekeras mungkin.

    Menurut Marx, ekonomi pasar secara umum bukanlah sebuah mekanisme untuk memaksimumkan kesejahteraan privat individu-individu, melainkan sebuah alat untuk memfasilitasi ketamakan para kapitalis mengangkangi nilai surplus (Surplus Value) dan mengakumulasikan kekayaan. Lebih lanjut Marx mengatakan bahwa pasar dalam Setting kapitalis mempunyai dua tujuan, yaitu :

    1. Sebagai mekanisme untuk mensirkulasikan Commodity-Money-Commodity (C-M-C)
    2. Sebagai mekanisme pengunaan unag untk mencetak uang melalui proses Money-Commodity-Money’ (M-C-M’). Selisih M’-M inilah yang oleh Marx disebut surplus.
     

    Bagaimana cara kelompok Marxian mengaitkan antara politik dengan ekonomi? Menurut penganut Marxianada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menghubungkan antara politik dengan ekonomi :

    1. Pendekatan Politik Revolusiner

    Adalah jalan yang dilanjutkan oleh Marx dan Engels dalam The Communist Manifesto (1848) dan oleh Marx dalam Capital (1867) serta kemudian juga didukung sekaligus dipraktikkan oleh Lenin dengan melancarkan Revolusi Bolshevik di Rusia (1919).

    Dalam pendekatan yang paing radikal ini, politik tidak merujuk pada kebijakan yang dirancang untuk mengompensasikan keterbatasan masyarakat pasar seperti yang digunakan kaum klasik melainkan sebagai perubahan besar-besaran dalam struktur politik itu sendiri.

    1. Pendekatan Politik Kompromi Kelas

    Jika bagi Marx revolusi yang penuh kekerasan adalah hal yang tak terhindarkan, bai pakar-pakar Marxian lainnya revolusi bukan satu-satunya cara yang harus ditempuh. Ada pendekatan lain yang lebih elegan, yaitu pendekatan kompromi atau politik kesepakatan kelas (Politics of class compromise). Cara yang lebih demokartis ini dianjurkan oleh Kautsky dan politisi sosial demokratik.

    Strategi kedua yang lebih demokratik ini ialah dengan melibatkan partisipasi para pekerja dalam kelompok-kelompok kepentingan (Interest Group), partai-partai politik, dan proses pemilihan legislatif. Tujuannya adalah untuk mengangkat posisi kaum buruh dari dalam dengan menggunakan institusi-institusi yang ada dan praktik-praktik politik demokrasi.

    1. Pendekatan Teori Negara Marxian

    Bagi keompok Marxian, negara adalah bagian dari “super Strukture”, bungkus dari politik kapitalisme yang responsif terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi. Negara adalah sebuah organ dominasi kelas dan operasi dari kelas terhadap lainnya. Dalam teori negara Marxian digunakan beberapa asumsi sbb :

     
    1. Bahwa konflik yang tak terdamaikan ada diantara kepentingan-kepentingan ekonomi kelas-kelas yang terdapat dalam masyarakat.
    2. Konflik antar kelas terebut mengancam ketertiban sosial
    3. Untuk menciptakan  ketertiban sosial peru dirancang sebuah organisasi sosial untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi satu kelas dan bukan kelas lainnya
    4. Dengan demikian ketertiban sosial harus menindas salah satu kelas
    5. Negara sebagai organ yang memelihara ketertiban sosial, adalah sebuah organ penindasan kelas.
    1. Ekonomi Politik Neoklasik
    1. Neoklasik Generasi Pertama

    Kelompok Neoklasik generasi pertama bisa dibedakan atas dua kelompok, kelompok pertama disebut kelompok Ekonomi Austria karena hampir semua pendukungnya seperti Carl Menger, Friedlich von Wieser, dan Eugen von Bohm Bawer berasal dari Austria. Kelompok ini sangat berjasa mengembangkan teknik-teknik matematika terutama kalkulus. Dari tangn merekalah lahir konsep-konsep seperti marginal utility, marginal revenue, the law of diminishing return, dan sebagainya yang sarat degan hitungan matematis. Sejak munculnya teori “marginal revolution” , pembahasan ekonomi lebih bersifat mikro. Karna ilu ekonomi mengalami perkembangan yang pesat ditangan pakar-pakar Neoklasik melebihi legislasi, hal ini memaksa diceraikannya politik dari ilmu yang semula disebut ekonom politik. Lebih tepat, “Political” dihilangkan dari “Political Economy” sehingga hanya tinggal “Ilmu Ekonomi” (Economics) sebagai disiplin ilmu yang mandiri.

    1. Neoklasik Generasi Kedua

    Pada tahun 30-an, muncul pakar-pakar Ekonomi Neoklasik genarasi kedua. Diantaranya Piero Srafa, Joan Violet Robinson, dan Edward Chamberlin. Kalau pakar-pakar Ekonomi Klasik mengasumsikan pasar persaingan sempurna, pakar-pakar Ekonomi Neoklasik justru mengasumsikan pasar persaingan tidak sempurna, bisa berbentuk kompetisi, monopoli, atau oligopoli. Ketidaksempurnaan pasar timbul karna asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna seperti banyak pembeli dan penjual, produk homogen, perusahaan bebas keluar masuk pasar, informasi yang sempurna, dan sebagainya terlanggar. Kalau ada asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna yang terlanggar, berarti pasar tidak lagi beroperasi dalam pasar persaingan sempurna, melainkan dalam pasar persainga tidak sempurna.

    Implikasinya adalah, hal ini membuka peluang bagi pemerintah untuk ikut campur mengoreksi ketidaksempurnaan yang terjadi di pasar. Tegasnya, campur tangan pemerintah hanya dalam proses dan keputusan politik untuk memperbaiki pasar.

     

    Dampak negatif dari hal ini adalah munculnya perbuaruan rente oleh pengusaha dan penguasa, karna untuk memperoleh laba yang lebih tinggi dan sekaligus kekuasaan yang lebih tinggi, kalau perlu perusahaan berusaha mempengaruhi para pengambil keputusan demi menciptakan halangan masuk pasar (Barriers to Entry). Selain itu, pengusaha bisa mendesak pemerintah meregulasiindustri demi kepentingan usaha mereka.

    1. Ekonomi Politik Radikal (Strukturalisme dan Dependensia)

    Sebagai dampak dari hasil penelitian ECLA yang dipimpin oleh Prebisch, pada tahun 80-an muncul berbagai kritik terhadap teori-teori dan konsep-konsep yang berasal dari Barat. Kritik-kritik tersebut kemudian menghasilkan sebuah paradigma baru ekonomi politik radikal, yang mencakup berbagai pendekatan, termasuk pendekatan ekonomi poitik strukturalisme dan pendekatan ketergantungan atau lebih dikenal dengan penekatan dependensia (Dependencia). Berbeda dengan teori-teori barat yang lebih fokus pada isu-isu tentang perkembangan atau pembangunan, kelompok radikal di Amerka Latin justru membahs isu-isu keterbelakangan (Underdevelopment).

    Ekonomi Politik Pendekatan Strukturalisme

    Menurut Swasono (2003), strukturalis adalah paham yang menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi, sebagaimana dianut oleh Neoklasik yang dilandaskan pada prinsip kepentingan pribadi, mekanisme pasar bebas, persaingan ketat, dan pengutamaan pertumbuhan dibanding pemerataan. Strurkturalisme berorientasi pada strukturisasi dan restrukturisasi ekonomi disertai intervensi dan pengontrolan mekanisme pasar sehingga tidak saja menghasilkan “nilai tambah ekonomi”, tetapi juga nilai tambah “sosioultural” yang menjangkau makna partisipasi dan emansipasi kemartabatan.

     

    Ekonomi Politik Pendekatan Dependensia

    Untuk mencari penyebab keterbelakangan yang sukar dihilangkan ini, selain pendekatan dari aliran strukturalis juga muncul pendekatan dependensia (Dependensia Approach). Secara umum, teori dependensia didefinisikan melawan posisi teori-teori Neoklasik. Dengan melihat dunia sebagi sebuah sistem, dalam anislisnya pakar-pakar aliran dependensia menganggap bahwa perekonomian semua negara dapat diurut mulai dari yang paling terbelakang hingga yang paling maju, dan bahwa pembangunan dianggap sebagai sebuah proses yang unilinear.

    1. Ekonomi Politik Kelembagaan

    Seperti halnya Ilmu Ekonomi murni, ilmu ekonomi politik kelembagaan (Institutional Political Economic) juga berangkat dari falsafah dasar ekonomi : Kelangkaan dan Pilihan. Kelemahan ekonomi murni yang paling mendasar ialah bahwa model ini tidak mempersoalkan motivsi yang ada dibelakang aktor yang terkait dalam proses atau peristiwa tertentu. Motivasi diasumsikan ceteris paribus, dan ekonom tak mau terlibat dalam analisis motivasi sang aktor. Semua hal yang berasal dari bidang Nonekonomi (Sosial, Politik, Agama) dianggap telah terberi apa adanya. Dengan cara ini, mereka beranggapan error bisa ditekan. Karna kelemahan ini, banayak pakar sosial-politik tidak setuju dengan teori-teori dan konsep-konsep ekonomi politik yang dikembangkan kaum Klasik dan Neoklasik, dan mengambangkan paradigma lain yang disebut Ekonomi Politik Kelembagaan.

    Ekonomi Politik Kelembagaan dan Kebijakan Publik

    Menurut Arifin & Rachbini (2001), penelusuran yang mendalam tentang ekonomi politik kelembagaan biasanya didekati dengan format dan fola hubungan antara swasta, masyarakat, organisasi buruh, partai politik, pemerintah, lembaga konsumen dan sebagainya. Dengan demikian, pembahasan ekonomi politik kelembagaan sangat erat kaitannya dengan kebijakan publik, mulai dari perancangan, perumusan, sistem organisasi, dan implementasi kebijakan publik.

     
    1. Ekonomi Politik Baru

    Ekonomi politik baru berusaha menjembatani antara ilmu ekonomi yang canggih dalam menelaah fenomena-fenomena ekonomi dari perspektif mekanisme pasar dengan fenomena-fenomena dan kelembagaan non pasar pada bidang-bidang politik. Secara umum, ekonomi politik baru lebih fokus pada masalah-masalah agregasi preferensi-preferensi individu, maksimisasi fungsi kesejahteraan sosial, atau pilihan rasional lain. 

    Atas perluasan ini, pakar-pakar ekonomi politik baru mengkalaim telah menawarkan pemahaman tentag politik dan bentuk-bentuk prilaku sosial lainnya yang tidak dijumpai dalam  pendekatan-pendekatan yang berorientasi konflik, budaya, dan pruralis yang selama ini menjadi karakteristik sosialogi politik dan disiplin ilmu politik.dalam analisisnya, ekonomi politik baru berusaha memahami realita politik dan bentuk-bentuk sikap sosial lainnya, tetapi dengan asumsi dasar bahwa ator intelektual berusaha untuk mencapai kepentingan masing-masing.

    Kerangka analisis ekonomi politik baru didasarkan pada aktor individu yang memperjuangkan kepentingan pribadi, tepatnya individu-individu diasumsikan sebagai “goal seeking and choosing creatures” yang beroperasi dilingkungan berbeda-beda. Aktor individu diasumsikan mempunyai sifat-sifat khusus yang spesifik, termasuk didalamnya seperangkat selera atau perangkingan preferensi dan kemampuan mengambil keputusan secara rasional atau kemampuan memilih alternatif terbaik yang paling efisien dari berbagai pilihan yang ada (Mitchell, 1968).

    Dengan ini kita bisa melihat dengan jelas bahwa dalam ekonomi politik baru prinsip dasar ekonomi liberal masih diadopsi. Hanya saja dalam pendekatan ekonomi politik baru asumsi-asumsi ekonomi bukan diterapkan dalam lembaga pasar, melainkan dalam lembaga nonpasar. Lebih jauh dari itu, dalam perspektif ekonomi politik baru, sistem politik dianggap sinonim dengan pasar.

     
    1. Ekonomi Politik Neoberalisme

    Ordo Liberalisme (Mazhab Freiburg)

    Pada tahun 1928-1929, sekelompok ahli (diantaranya Wihelm Ropke, Walter Eucken, Franz Bohm, Alexander Rustow, Alferd Muller-Armack, dll) yang tergabung dalam mazhab Freiburg mengembangkan gagasan ekonomi politik yang beraliran liberal, yang kemudian gagasan-gagasan mereka lebih dikenal dengan sebutan ordo liberal.

    Sistem yang diusung aliran ordo liberal adalah “ekonomi pasar sosialis”, yaitu sebuah sistem ekonomi bebas, namun dijaga dengan berbagai regulasi pemerintah agar terhindar dari konsentrasi kekuasaan ekonomi sekaligus untuk menjaga keadilan dan efisisensi. Sebagai sebuah sistem, ekonomi pasar sosialis sudah berusaha memerangi kekuasaan sektor publik maupun privat atas pasar sekaligus memerangi pasar bebas tanpa aturan maupun kecendrungan perencanaan yang bersifat otoriter (Friedlich, 1955).

    Neoberalisme “Anti Negara”

    Neoberalisme adalah sebuah “isme” dengan misi khusus, yaitu dengan mengurangi campur tangan negara dalam ekonomi untuk diganti dengan pasar. Artinya, sesuai paham neoberalisme, pasar dijadikan sebagai satu-satunya cara atau sistem untuk mengatur perekonomian dan sekaligus satu-satunya tolak ukur untuk menilai keberhasilan semua kebijakan pemerintah.

    Sebagai implikasinya, dalam ajaran Neoberalisme, masyarakat dan negara hanyalah instrumen yang diperlukan untuk menjamin terjadinya proses akumulasi kekayaan oleh anggota-anggota partikelir dalam masyarakat. Dengan demikian, sesuai ajaran Neoberalisme yang anti negara ini, peran negara harus surut, digantikan oleh individu-individu swasta. Disini, pasar diregulasi, debirokratisasi, privatisasi, dan pengurangan program-program kesejahteraan dan subsidi dijadikan sebagai mantra untuk mengatasi berbagai masalah sosial-ekonomi sekaligus untuk mengejar pertumbuhan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada intinya, mereka menginginkan pemerintah disingkirkan dari segala urusan ekonomi dan menyerahkan urusan tersebut pada pasar.

     
    1. Politik Ekonomi Islam

    Hasan Al-Banna menegaskan dengan keyakinan yang kuat bahwa politik merupakan bagian dari manhaj islam, yang mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, negara, dan seluruh alam, dan hendaknya sistem politik, manhaj dan aturan kehidupan sesuai dengan syari’at islam. Beliau juga berkata, “bahwa islam sebagai sistem paripurna yang melingkupi seluruh aspek kehidupan mengatur perkara dunia sebagaimana perkara akhirat. Mereka yakin bahwa islam adalah sistem operasional sekaligus spritual. Islam menurut mereka adalah agama dan daulah, mushaf dan pedang.” “Bahwa politik, kebebasan, dan izzah adalah bagian dari ajaran Al-qur’an”. 

    Politik Ekonomi Islam merupakan jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (bacis needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat dengan gaya hidup (life style) tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah Negara. Negara dipandang ikut serta dalam ekonomi Islam yang mana untuk menyelaraskan dalil-dalil yang ada di dalam nash Al Quran.

    Dalam politik ekonomi islam, setiap warga negara berhak memperoleh jaminan sosial, ketenangan, dan penghidupan yang layak bagaimanapun kondisinya, baik ketika ia mampu melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara maupun tidak. Negara berkewajiban meggunakan kekayaan rakyat dengan sebaik-baiknya, memungut dengan cara yang baik, danmenggunakannya dengan cara yang baik pula, serta adil dalam menggalinya. Umar bin Khathab r.a. pernah berkata “sesungguhnya harta ini adalah milik Allah, sedangkan kalian adalah hamba-hamba Allah”. Lebih lanjut kita dapat mempelajari dasar-dasar islam sebagai sistem sosial dan sistem ekonomi dalam islam hingga tujuan membentuk pemerintahan islam yang dijelaskan dalam bejilid-jilid buku.

    Dalam pembahasannya, mengenai peran negara dalam ekonomi, Muhammad Al Mubarak, dalam buku Nizam al-Islam, menyatakan bahwa negara merupakan salah satu dari tiga sokoguru sistem ekonomi Islam bersama-sama dengan iman (moral) dan prinsip-prinsip organisasi ekonomi.

     

    Menurut ilmu ekonomi Islam, negara mempunyai peran penting dalam perekonomian. Para ulama dan pakar  ekonomi Islam sepanjang sejarah telah membahas peran penting negara dalam perekonomian, Menurut  para ulama,  dalam ekonomi Islam, negara memiliki kekuasaan yang paling luas untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, dengan syarat bahwa tugas itu dilaksanakan dengan cara demokratis dan adil, dimana segala keputusan diambil sesudah bermusyawarah secukupnya dengan wakil-wakil rakyat yang sebenarnya. Meskipun Islam memberikan peran kepada negara secara luas, hal itu tidak berarti bahwa konsep ekonomi Islam mengabaikan kemerdekaan individu.

    Alquran sebagai sumber pertama ajaran Islam, menjelaskan tentang peranan negara dalam mekanisme pasar dan dalam perekonomian secara umum.Dalam konteks ini Al-Mubarak dalam buku Nizaham al-Islam al-Iqtishadi, mengutip ayat Alquran surah Al-Hadid ayat 25 :

    Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-Rasul kami dengan membawa bukti–bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka menggunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agamanya) dan Rasul Rasul-Nya, padahal Allah tidak dilihatnya, Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

    Berdasarkan ayat tersebut, Muhammad Al-Mubarak mengatakan, bahwa penyebutan keadilan dan besi secara bersamaan dalam ayat ini menunjukkan pentingnya penegakan keadilan dengan kekuatan (kekuasaan), yang dalam ayat tersebut disebutkan enggan besi. Dengan demikian, negara hendaknya menggunakan kekuatan, jika dibutuhkan, untuk mewujudkan keadilan dan mencegah kezaliman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis.

     

    Dalam politik ekonomi Islam, negara bertugas dan bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dalam ekonomi, mencegah terjadinya setiap kezhaliman serta menindak para pelanggar hukum di bidang ekonomi. Usaha mewujudkan itu, dapat dilakukan dengan kekuatan aparat pemerintah (tangan besi), apabila kondisi membutuhkannya sebagaimana yang dijabarkan di atas berdasarkan ayat Alquran Al-Hadid ayat : 25.

    Secara terminologis politik ekonomi adalah tujuan yang akan dicapai oleh kaidah-kaidah hukum yang dipakai untuk berlakunya suatu mekanisme pengaturan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini politik ekonomi Islam tidak hanya berupaya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat saja dalam suatu negara dengan mengabaikan kemungkinan terjamin tidaknya kebutuhan hidup tiap-tiap individu. Politik ekonomi Islam juga tidak hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran individu semata tanpa kendali, tetapi juga memperhatikan terjamin tidaknya kehidupan tiap individu lainnya.

    Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh.  Islam juga memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Secara bersamaan Islam memandangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam dalam interaksi tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan gaya hidup tertentu pula. Oleh karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya tiap orang menikmati kehidupan tersebut. Islam telah mensyariatkan hukum-hukum ekonomi pada tiap pribadi. Dengan itu, hukum-hukum syara’ telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer tiap warga negara secara menyeluruh, baik sandang, pangan, papan, jasmani maupun rohani.

     

    Sistem politik ekonomi Islam merupakan seperangkat instrumen agar dapat terwujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis. Namun cita-cita ini sangat sulit untuk diwujudkan mengingat besarnya kekuatan raksasa dari ideologi sekuler yang menghambat, menghalangi dan ingin menghancurkan sistem ekonomi Islam melalui berbagai strategi seperti pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kependudukan, politik dsb. Beberapa strategi yang diterapkan imperialis modern dalam menghalangi berkembangnya sistem kehidupan Islam misalnya: budaya non-Islami. Dengan menggunakan berbagai macam bentuk pertunjukan dan hiburan serta ditunjang dengan jaringan informasi global menyebarkan berbagai budaya yang tidak Islami seperti permisivisme, free sex, alkoholisme, sadisme, hedonistik, konsumtif dsb. Sinergi antara budaya sekuler dan kekuatan kapitalisme menjadikan pertunjukan-pertunjukan seni dan budaya menjadi suatu bagian yang masuk dalam ruang kehidupan masyarakat melalui tayangan dalam televisi dan media massa. Budaya pragmatis dan serba instant melahirkan generasi yang hanya ingin menikmati hidup serba enak tanpa melalui kerja keras serta tidak mempunyai sensitiftas terhadap persoalan sosial jangka panjang.

    Islam juga mewajibkan bekerja tiap manusia yang mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum  mencari rezeki tersebut. Adalah fardhu. Allah SWT Berfirman:

    "Maka, berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya."

    (QS. Al-Mulk: 15)

    Rasulullah saw juga bersabda:

    "Tidaklah seseorang makan sesuap saja yang ebih baik, selain ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri."

     

    Ribuan tahun sebelum mazhab-mazhab ekonomi aliran kalsik, ratusan ulama dan pakar ekonomi Islam sudah merumuskan pentingnya peran negara dalam perekonomian. Tapi sayangnya para pakar ekonomi Indonesia tidak punya akses keilmuan terhadap ilmu ekonomi Islam.

    Dengan ini maka jelaslah, sesungguhnya sistem Politik Ekonomi Islam tiada bandingannya, tugas kita sekarang adalah memahami secara kaffah dan menyeluruh, hingga saatnya nanti semua sistem yang telah ditetapkan Allah, kita siap menjadi pelopor realisasinya.

    Literatur :

    Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta : Penerbit Erlangga.

    Chaudhry, Muhammad Sharif. 2012. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

    Natadipurba, Chandra. 2015. Ekonomi Islam 101. Bandung : PT. Mobidelta Indonesia

    Al-Banna, Hasan. 2012. Majmu’atul Rasa’il, Islam dan Politik. Surakarta : Intermedia

     

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Benarkah Sistem Politik Ekonomi Islam Tepat Untuk Rakyat?
    Sangat Suka

    100%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar