Daftar Isi
Foto: Massa FPI turut memeriahkan reuni Aksi 212. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
LancangKuning.Com, JAKARTA - Izin organisasi kemasyarakatan Front Pembela Islam (FPI) akan segera habis pada Juni mendatang. Merujuk Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI berlaku selama lima tahun terhitung sejak 20 Juni 2014 hingga 20 Juni 2019.
Berakhirnya izin ini berbuntut petisi dari seseorang bernama Ira Bisyir di lamanchange.org. Dalam petisi yang ditujukan pada Kementerian Dalam Negeri itu, Ira mengajak warganet menolak perpanjangan izin FPI sebagai ormas. Hingga Rabu (8/5) petisi itu telah ditandatangani lebih dari 200 ribu orang.
Tak mau kalah, petisi 'tandingan' muncul di laman change.org dengan nama 'Dukung FPI Terus Eksis'. Petisi yang digagas Imam Kamaludin itu telah mendapatkan lebih dari 50 ribu dukungan hingga Kamis (9/5) pagi.
Ketua Umum FPI Sobri Lobis sebelumnya telah menyatakan bakal segera mengurus perpanjangan SKT FPI. Ia mengaku tak khawatir dengan penolakan perpanjangan izin tersebut lantaran yakin banyak masyarakat yang masih ingin FPI bertambah kuat.
Pihak Kemendagri sendiri masih mempertimbangkan masukan dari masyarakat terkait perpanjangan izin tersebut. Menurut Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Soedarmo, banyak faktor yang harus dikaji selain petisi dari masyarakat.
Polemik soal izin FPI sejatinya telah lama muncul di masyarakat. Desakan pembubaran FPI kerap muncul secara berkala dari masyarakat yang khawatir dengan tindakan kekerasan FPI.
Bahkan pada tahun 2014, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah menyurati Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly terkait rekomendasi pembubaran FPI.
Jika merunut sejarahnya, FPI sendiri telah dibentuk sejak 17 Agustus 1998 tak lama setelah berakhirnya rezim orde baru. Saat itu banyak partai, LSM, termasuk ormas yang bermunculan.
Pembentukan FPI disebut sebagai bagian dari persiapan Pam Swakarsa atau Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa yang dibentuk TNI untuk mengamankan sidang istimewa MPR 1998. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto disebut sebagai salah satu penggagas Pam Swakarsa tersebut.
Seiring berjalannya waktu, FPI aktif dengan berbagai kegiatan di masyarakat. Salah satu yang sempat menimbulkan kontroversi adalah aksinya melakukan sweeping tempat-tempat hiburan hingga dugaan kekerasan pada kelompok minoritas.
Koordinator Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Putri Kanesia mengaku memiliki 'catatan hitam' atas tindakan FPI selama ini. Terakhir adalah tragedi Monas pada 2008 ketika FPI menyerang kelompok Ahmadiyah dan massa Aliansi Kebebasan Beragama. Peristiwa itu berbuntut hukuman penjara pada pentolan FPI Rizieq Shihab dan Munarman.
Kendati demikian, Putri tak lantas sepakat jika izin FPI dihentikan karena desakan masyarakat semata. Menurutnya, pemerintah tetap harus mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU soal ormas.
"Pemerintah jangan reaktif. Di UU Ormas kan sudah mengatur ada mekanisme yang harus ditempuh misalnya sanksi atau peringatan tertulis. Jadi tidak bisa kalau cuma mendengarkan usulan banyak orang terus membubarkan, itu bahaya sekali," ujar Putri, dilansir dari CNN Indonesia.
Alih-alih menindak ormas, Putri menilai pemerintah bisa mengambil sikap untuk menindak pimpinan atau tokoh yang memang terbukti bersalah. Hal itu serupa yang dilakukan pemerintah pada tragedi Monas 2008.
"Saat Rizieq dan Munarman divonis 1,5 tahun, selama 1,5 tahun itu pula tidak ada aktivitas kekerasan oleh FPI. Pemerintah mestinya bisa berkaca dari situ untuk menindak orangnya, bukan organisasinya," katanya.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman mengatakan, keberadaan FPI sebagai ormas merupakan realitas sosial yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan bermasyarakat. Ketimbang tak diperpanjang, Usman menilai FPI justru harus diberdayakan sesuai fungsinya.
"Masyarakat ini agak kacau, ricuh, itu karena kekuatan masyarakat sipil seperti FPI itu (tidak jelas) di mana sebenarnya. Mereka kadang justru lebih kuat dari gerakan atau partai politik yang resmi," tuturnya.
Bahkan, menurut Usman, sejumlah kebijakan di masyarakat dilakukan oleh ormas seperti FPI. Hal itu terjadi lantaran lemahnya peran lembaga atau pihak resmi yang lebih berwenang.
"Ini yang harus ditegaskan kembali. Gerakan masyarakat sipil justru menguat karena yang punya peran tidak berdaya. Seolah penentu keputusan politik ini masyarakat sipil," ucapnya.
Namun menurutnya, pemerintah tak bisa serta merta 'menuruti' petisi dari masyarakat untuk menghentikan izin FPI. Sebab, mekanisme itu telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri dan juga UU.
Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri 57/2017, FPI harus menyerahkan kembali sejumlah dokumen untuk diperiksa kelengkapannya oleh Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum sebelum diserahkan ke Mendagri. Nantinya Mendagri yang akan memutus apakah SKT akan diperpanjang atau tidak.
"Itu organisasi besar, kalau mengabaikan peraturan dan mengikuti pertimbangan sosial saja akan sulit," katanya.
Saat ini, lanjutnya, pemerintah hanya perlu mengevaluasi secara menyeluruh dengan sejumlah lembaga terkait persoalan izin FPI. "Bisa dilakukan dialog. Tapi yang lebih penting adalah melihat alternatif ke depan, itu makanya FPI harus diberdayakan sesuai fungsi," kata dia. (LKC)
Komentar