Dengan Prestasi Ustmaniyah Saja, Kita Bisa Kalah Cepat

Daftar Isi

    Foto: ACT

    LancangKuning.Com - Di masa pemerintahan Ustmaniyah Turki, Islam menoreh kegemilangan masyhur bahkan mendunia. Semua aktivitas digerakkan untuk membangun peradaban, bahkan dipahami sebagai ekspresi ilahiyah.

    Penguasa memerintahkan aktivitas apa pun demi agama, Ustmaniyah tak terkecuali. Pada masanya, imperium inilah yang menggerakkan dunia memiliki infrastruktur perhajian.

    Mengingat berhaji kebutuhan riil umat manusia, khususnya umat muslim, maka mengurus haji menjadi urgen, dan menjadi urusan negara, dan diabdikan untuk melayani ibadah sebesar-besarnya urusan rakyat.
    Beberapa tahun lalu, masih dalam rentang abad XX, di bawah pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, pemerintahnya membangan jalur kereta api antara Damaskus (Suriah)-Amman (Yordania) sampai ke Madinah (Arab Saudi). Jalur kereta api menghubungkan Istanbul-Haifa (Israel).

    Bukan infrastruktur fisik biasa, Sultan Hamid II lah yang merintis program telekomunikasi dalam pemerintahan Ustmaniyah di seluruh wilayah Ustmaniyah (yang saat itu meliputi wilayah sebagian Afrika Utara, Timur Tengah, sampai Balkan).

    Baca Juga: Nissren: Tak Ada Apa pun di Dapur Kami

    Pembangunan jalur kereta api ini sudah dilakukan tahun 1840 M, namun direalisasikan tahun 1908. Rencana tersebut dilakukan untuk lebih menyatukan wilayah Usmaniyyah yang luas dengan sarana transportasi dan telekomunikasi darat yang lebih memadai (untuk teknologi zaman itu, kereta api menjadi sarana transportasi yang dipandang tepat, sekaligus merupakan penopang program Pan Islamisme yang dilancarkan Sultan Abdul Hamid II).

    Gagasan monumental ini mengundang banyak reaksi, terutama pemerintah di tanah Hejaz (yang menganggap ancaman). Di antara yang cukup menonjol, dengan peran intelijen yang dikenal sebagai Lawrence of Arabia. Intrik banyak mengusik gagasan besar ini.
     Misalnya, Amir/Pemimpin Mekah ketika itu (Syarif Hussein) memandang jalur kereta ini mengancam kedudukannya di wilayah Hejaz, sehingga pihaknya menolak pembangunan jalur itu sampai ke Mekkah bahkan hingga Jeddah.

    Atas perintah Sultan, upaya ini bukan sepi dukungan. Kaum Muslim menyambut ikhtiar religius ini, meski ada friksi yang mengakibatkan pembangunan hanya sampai Madinah saja.

    Biaya yang diperlukan saat itu setara 16 juta USD. Selain dari kaum muslim, sumbangan datang dari pemerintah, angkatan bersenjata, tokoh masyarakat, Gubernur Khedive Musir, bahkan pemerintahan Shah di Iran. Pengerjaan ini melibatkan 5.000 anggota Angkatan Darat serta penduduk sipil.

    Proyek tersebut sampai Madinah saja, dan dianggap selesai 1 September 1908, dioperasikan tahun 1912. Tercatat, jasa Sultan Abdul Hamid II sukses menyumbangkan transportasi antarbangsa dengan kereta api sekitar 30.000 penumpang per tahun.

    Terjadi perubahan besar dalam transportasi, jumlah penumpang sampai tahun 1914 bahkan mencapai 300.000 orang. Tak hanya untuk berhaji, angkatan bersenjata Ustmaniyah menggunakan jalur itu untuk mengirimkan suplai pasukan dan barang.

    Saat itu katakanlah jemaah asal Indonesia, harus menyiapkan dana jauh lebih mahal, 3,50 pounds (untuk menyewa unta dan perlengkapannya) per empat hari, untuk melakoni perjalanan sekitar 2 bulan. Di zaman itu masyhur anggapan, saking dimudahkannya, mereka yang berhaji “kereta api” gak nyunah dan cara itu hanya untuk kaum Hawa saja. Sementara para laki-laki tetap memilih mengendarai unta mengikuti cara nabi.

    Ditilik dari semangat zaman, terasa mereka yang benar-benar melihat kekuasaan demi memudahkan umat, dilambari ghirah untuk berkontribusi di dalamnya. Kalau di telisik, jejak tentang itu masih bisa dilihat, dunia faham seperti apa kesungguhan Sultan Abdul Hamid II (pemandu rihlah Islanbul dan sekitarnya niscaya faham tentang Hijaz Railway ini).

    Bagi juru kampanye wakaf, menarik untuk kilas balik fragmen historis ini. Hijaz Railway adalah tentang azzam seorang khalifah, Sultan, penguasa, kontras dengan anasir yang mewarnai wajah dunia Islam saat itu (apalagi saat ini). Wakaf, memberi solusi dengan modernisasi.

    Cara tradisional, perjalanan Damaskus-Madinah memerlukan waktu tempuh 1,300 km. Dengan kereta api, kecepatan rata-rata menjadi 23 km/jam. Waktu tempuh ini dipangkas sedemikian singkat: 62 jam saja (bahkan ini lebih ringkas dari lamanya perjalanan umrah, apalagi haji).

    Tidak perlu repot-repot mengajak pihak manapun berkongsi atau berkonsorsium, cukup Sultan Hamid II berikhtiar. Gagasannya jalan. Orang modern masih bisa gambling menelusurinya, tidak sangat asing apalagi purba. Semua pernah terjadi di zaman yang belum lama, terjejak dan bisa dipelajari.

    Penganjur wakaf Dr. Imam Teguh Saptono, ketika menukil kisah ini dan menyebutkan, kejayaan ini sangat bisa diaktivasi. Tidak kah, umat terbesar di Indonesia ini bisa menggagas hal ini? Menurut saya, ini Iebih realistis.

    “Film saja yang pernah sukses dengan judul 212: The Power of Love saja bisa diproduksi (lalu dibuat sekuelnya: Hayya), apalagi wakaf.” Seharusnya, mengaktivasi wakaf terutama dalam koridor kepentingan muslimin sedunia, lebih realistis.

    Memvisualkan bagaimana wakaf ada di Indonesia, dengan sekian banyak anugerah Allah dan bangsa ini punya sejarah panjang perwakafan yang terselimuti debu sejarah, seharusnya tidak rumit. (LKC)

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Dengan Prestasi Ustmaniyah Saja, Kita Bisa Kalah Cepat
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar