Opini Zainal Arifin: Masyarakat Hukum Adat Duanu, Jalan Menuju Pengakuan dan Pemberdayaan

Daftar Isi


    Foto: Zainal Arifin Hussein



    Lancang Kuning, INHIL - Dalam perjalanan pembangunan daerah, keberadaan masyarakat adat bukanlah hal yang sekadar dihargai secara simbolis. Mereka adalah pewaris budaya yang juga menjadi penjaga ekosistem dan kearifan lokal. Oleh karena itu, pengakuan masyarakat adat merupakan langkah krusial untuk memastikan pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berakar pada tradisi yang kuat.

    Solidaritas internal menjadi fondasi utama. Potensi besar yang dimiliki komunitas Duanu seringkali terhambat oleh narasi yang justru memicu perpecahan, misalnya perdebatan mengenai istilah “Orang Laut” atau “Duanu”. Polemik semacam ini cenderung menguras energi dan mengalihkan fokus dari isu yang jauh lebih penting, yaitu pengakuan dan pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat. Pengamatan saya menunjukkan, banyak peluang yang hilang karena energi terkuras pada persoalan identitas yang seharusnya bisa diselesaikan dengan bijaksana.

    Dalam pengamatan saya Pemerintah Provinsi Riau maupun Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir sebenarnya telah memulai pembahasan mengenai pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA), termasuk komunitas Duanu. Namun, hingga hari ini proses tersebut tampak belum menemukan kepastian.

    Situasi ini menciptakan ruang kosong yang rentan ditafsirkan sebagai kemandekan, padahal urgensi pengakuan MHA sudah jelas, menjaga identitas, hak, serta ruang hidup komunitas yang telah eksis sejak lama. Kondisi ini menuntut komunitas untuk lebih proaktif, bersatu, dan menegaskan aspirasi secara jelas agar momentum ini tidak terbuang percuma.


    Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Duanu sesungguhnya memiliki dasar hukum yang jelas. Secara konstitusional, UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) menjamin pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional mereka. Secara nasional, hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan ruang bagi desa adat sebagai entitas resmi. Di tingkat daerah, Provinsi Riau telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Dengan dasar hukum yang kuat, perjuangan pengakuan tidak lagi semata-mata berbasis klaim kultural, melainkan memiliki legitimasi yuridis.

    Momentum juga sedang terbuka. Kehadiran Gubernur Riau, H. Abdul Wahid, yang merupakan putra terbaik Indragiri Hilir, memberi harapan baru. Dengan latar belakang dan kedekatannya dengan masyarakat di daerah pesisir, komunikasi untuk memahami persoalan Duanu akan lebih mudah terbangun. Peluang ini tidak boleh dilewatkan. Sebaliknya, energi harus difokuskan untuk mengonsolidasikan aspirasi bersama agar pemerintah dapat memberikan pengakuan resmi.


    Namun, peluang hanya akan berarti jika diimbangi dengan kekompakan internal. Tidak ada pengakuan tanpa persatuan. Masyarakat Duanu harus bersatu mengusung agenda bersama, menyingkirkan perbedaan kecil yang berpotensi menjadi bara perpecahan.

    Lemahnya kekompakan internal seringkali menjadi penghambat utama dalam perjuangan masyarakat adat. Padahal, kebersamaan adalah modal sosial paling berharga untuk memperjuangkan hak-hak kolektif.

    Sebagai komunitas, Duanu telah menegaskan identitasnya bahwa Islam adalah pedoman hidup. Hal ini sering mereka ungkapkan dalam semboyan tradisional “Duanu au neh Islam, Islam nuh Duanu” yang bermakna “Duanu itu Islam, dan Islam adalah jalan hidup Duanu.”

    Ungkapan ini bukan hanya penegasan keyakinan, tetapi juga cerminan bahwa agama menjadi ruh yang menuntun kehidupan mereka, baik dalam menjaga adat, memperkuat persaudaraan, maupun memperjuangkan pengakuan sebagai masyarakat hukum adat.


    Dengan dasar inilah, ketika berbicara tentang perjuangan dan masa depan Duanu, nilai-nilai Islam menjadi pijakan utama. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an tentang persatuan, keadilan, penghargaan terhadap keberagaman, dan semangat perubahan sangat relevan untuk dijadikan pedoman perjuangan komunitas ini.

    Dalam tradisi Islam sendiri, pentingnya persatuan sudah ditegaskan sejak awal. Al-Qur’an memberikan pedoman agar umat tidak terpecah belah, melainkan berpegang teguh pada satu tali persaudaraan.

    Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat (103):

    “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai...”

    Ayat ini menegaskan pentingnya persatuan. Masyarakat Duanu tidak boleh larut dalam perpecahan identitas, karena kekuatan mereka terletak pada ukhuwah dan solidaritas bersama.

    Pemberdayaan dan pengakuan masyarakat hukum adat tidak dapat dicapai hanya oleh pihak luar. Komunitas sendiri harus mengambil peran aktif dalam mengatur strategi dan menjaga identitas budaya.

    Semua pihak, termasuk pemerintah dan peneliti, NGO, hanya dapat berperan sebagai fasilitator. Keberhasilan perjuangan ini sepenuhnya bergantung pada komitmen komunitas dan partisipasi seluruh unsur masyarakat Duanu.

    Nilai kemandirian dan partisipasi ini sejatinya berpijak pada prinsip keadilan yang diajarkan Islam. Keadilan bukan hanya tuntutan sosial, tetapi juga perintah ilahi yang menjadi fondasi tatanan masyarakat yang bermartabat.

    Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat (90):

    “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan...”

    Pesan keadilan ini sejalan dengan perjuangan Duanu, bahwa pengakuan bukan sekadar hak, tetapi jalan menuju kehidupan yang adil, bermartabat, dan sejahtera.

    Pada akhirnya, perjuangan ini bukan hanya tentang mendapatkan status pengakuan, tetapi juga tentang mengamankan masa depan generasi muda Duanu.

    Pengakuan akan membuka jalan bagi akses pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga ruang politik yang lebih luas. Semua ini hanya akan tercapai jika solidaritas dan visi bersama lebih diutamakan ketimbang polemik yang memecah belah.

    Kesadaran akan pentingnya pengakuan ini semakin kuat bila dipandang dari kacamata Islam, yang mengajarkan bahwa keberagaman suku dan bangsa adalah bagian dari sunnatullah. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling menghargai dan bekerja sama.

    Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat (13):

    “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal...”

    Ayat ini memperlihatkan bahwa keberagaman, termasuk keberadaan Duanu sebagai masyarakat adat, adalah bagian dari sunnatullah. Justru dengan pengakuan itulah tercipta ruang saling menghargai antar bangsa dan antarsuku.

    Namun, semua cita-cita tersebut tidak akan bermakna tanpa adanya tekad kuat dari masyarakat itu sendiri. Islam mengajarkan bahwa perubahan sejati lahir dari usaha internal suatu kaum, bukan hanya menunggu uluran tangan dari luar.

    Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ar-Ra’d ayat (11):

    “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

    Pesan ini mengingatkan bahwa keberhasilan perjuangan kembali pada tekad, kebersamaan, dan usaha masyarakat itu sendiri. Pemerintah dan pihak luar hanya dapat menjadi fasilitator, sementara kunci sukses tetap berada di tangan komunitas Duanu sendiri. (LK/Rls) 


    Penulis artikel: Aktivis BDPN/Mahasiswa Doktoral Social Development, PWU Filipina, Zainal Arifin Hussein

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Opini Zainal Arifin: Masyarakat Hukum Adat Duanu, Jalan Menuju Pengakuan dan Pemberdayaan
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar