Melawan Keterbatasan, Meraih Harapan: Potret Perjuangan Abdul Wahid dari Kateman

Daftar Isi


    Abdul Wahid

    LANCANGKUNING.COM,Pekanbaru-Abdul Wahid lahir di Desa Belaras, yang kini dikenal sebagai Desa Cahaya Baru, Dusun Anak Peria, Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Ketika usianya baru 40 hari, orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Sungai Simbar—sekarang Desa Simbar di Kecamatan Kateman—dengan tujuan membuka lahan perkebunan kelapa. Di desa terpencil inilah Abdul Wahid menghabiskan masa kecilnya, menghadapi suka dan duka hidup sambil menatap masa depan dengan penuh harapan.

    Abdul Wahid menempuh pendidikan dasar hingga Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Desa Simbar. Setelah lulus MTs, ia sempat melanjutkan ke MAN 1 Tembilahan, namun hanya bertahan satu catur wulan. Tak lama kemudian, ia menerima tawaran dari sepupunya, Marbawi, yang saat itu sedang menempuh pendidikan di Pesantren Ashabul Yamin, Lasi Tuo, Kecamatan Ampek Angkek Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dengan semangat menuntut ilmu, Abdul Wahid pun memutuskan untuk mengikuti jejak sepupunya dan mondok di pesantren tersebut.

    Perjalanan Abdul Wahid dalam menimba ilmu tidaklah mudah. Kampung halamannya terletak di daerah pesisir yang sulit dijangkau, dengan akses utama melalui laut yang langsung menghadap Laut Cina Selatan dan ombak besar. Ketika berusia 10 tahun dan duduk di kelas 4 SD, ayahnya wafat. Kepergian sang ayah meninggalkan duka mendalam, terlebih karena anak-anaknya masih kecil dan semuanya masih bersekolah. Namun, kehadiran kebun kelapa peninggalan sang ayah menjadi penyambung hidup keluarga.

    Sejak kecil, Abdul Wahid dan abang laki-lakinya terbiasa bekerja di kebun. Ia juga bekerja mengambil upah dari orang lain, seperti mengupas kelapa. Dari hasil kerja keras itulah ia menabung untuk biaya pendidikan dan keberangkatan ke pesantren. Di Pesantren Ashabul Yamin, ia tinggal selama kurang lebih tiga tahun. Karena masuk dari jenjang MTs kampung, ia harus menyesuaikan dengan kurikulum pesantren, terutama dalam mempelajari kitab kuning atau kitab-kitab klasik ulama salaf.

    Selama masa mondok, ia mengalami tantangan ekonomi. Ia harus mencari tempat bernaung, bekerja membantu di sawah atau pekerjaan lain agar bisa mendapat tambahan beras dan sayur dari bulan ke bulan. Meski berat, proses itu membentuk karakter dan keteguhan Abdul Wahid dalam menuntut ilmu dan menjalani hidup dengan kesederhanaan dan kerja keras.(rie)

    Sumber:totalnews.co.id








    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Melawan Keterbatasan, Meraih Harapan: Potret Perjuangan Abdul Wahid dari Kateman
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar