Daftar Isi
LANCANGKUNING.COM - November ini bertepatan dengan hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW, dimana umat Islam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad yang dikenal dengan Maulid Nabi. Spirit atau pesan apa sesungguhnya yang bisa diambil dari peringatan itu dalam konteks Indonesia saat ini yang tengah dirundung krisis dan keretakan sosial akibat telah melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang diusung agama?
Reformis
Karen Armstrong dalam bukunya Muhammad: A Biography of the Prophet menyebut Muhammad adalah sosok istimewa karena membawa pesan Tuhan kepada umat manusia yang sebenarnya misi itu tidak mudah dilakukan. Sebab, masyarakat Arab di mana beliau berada pada saat itu hidup dalam masa Jahiliah. Sebuah situasi di mana masyarakat—seperti disebutkan di dalam Kitab Suci Alquran—tenggelam dalam alam ‘kegelapan’ (zulumat).
Menurut Jalaluddin Rahmat dalam bukunya, Peranan Agama dalam Masyarakat yang Membangun: Perspektif Islam, ada tiga bentuk ‘kegelapan’: pertama, tidak tahu syariat; kedua, melanggar syariat; dan ketiga, penindasan. Misi Islam dengan demikian adalah untuk menyampaikan syariat, meluruskan pelanggaran syariat, dan membebaskan manusia dari penindasan, baik itu penindasan sosial, politik, ekonomi, maupun keyakinan. Misi yang sama diusung oleh para Nabi dan Rasul sebelum Muhammad. Jadi, ini misi sepanjang masa sampai kapan pun, tidak terbatas pada waktu tertentu.
Dalam ungkapan Ali Syariati, seorang pemikir Islam asal Iran, Islam bukanlah ideologi manusia yang terbatas pada masa dan persada tertentu, tetapi merupakan arus yang mengalir sepanjang sejarah, berasal dari mata air gunung yang jauh dan mengalir melintasi jalan berbatu, sebelum mencapai laut. Arus ini tidak pernah berhenti, dan pada saat-saat tertentu, para Nabi dan para penggantinya muncul untuk mempercepat arus kekuatan itu. Maka, Nabi Muhammad sesungguhnya hanya salah satu aktor sejarah yang mempercepat arus kekuatan itu (Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam [terj.], 1989).
Islam sendiri, seperti dikatakan oleh John L Esposito dalam bukunya, Islam: The Straight Path (1998), bukanlah agama baru yang didirikan oleh Nabi Muhammad. Seperti para Nabi sebelumnya, Muhammad datang sebagai reformis agama. Muhammad yakin bahwa ia tidak membawa risalah baru dari Tuhan, tetapi hanya mengajak orang untuk kembali kepada Tuhan yang satu, yang sejati, dan kepada pandangan hidup yang telah dilupakan atau disimpangkan orang-orang sezamannya.
Menyembah Allah, kata Esposito, bukanlah kemunculan evolusioner monoteisme dari politeisme, tapi proses kembali ke masa lalu yang dilupakan, kepada iman monoteis pertama, Ibrahim. Islam bukan iman yang baru, namun suatu pemugaran dari iman sejati, suatu proses yang memerlukan reformasi atas kebodohan, penyimpangan masyarakat, pertaubatan, atau mengindahkan peringatan Tuhan, mengharuskan kembali ke jalan yang lurus (syariat) atau hukum Tuhan.
Kemanusiaan
Sebagai seorang pembawa tugas reformasi dari Tuhan, kelahiran Nabi Muhammad adalah rahmat bagi semesta. Ini legitimisi Tuhan dalam Kitab Suci Alquran, dan pernyataan Nabi sendiri. Di dalam Kitab Suci disebutkan bahwa Tuhan tidak mengutus Nabi kecuali sebagai rahmat bagi semesta. Dalam pernyataannya, Nabi mengatakan bahwa dirinya dianugerahkan Tuhan bukan sebagai pelaknat atau pencaci-maki, tapi sebagai rahmat. Maka, misi Nabi adalah menebarkan rahmat.
Dalam kamus bahasa Arab, seperti al-Mu’jam al-Wasith, kata ‘rahmat’ antara lain diartikan dengan ‘kebaikan’ dan ‘kenikmatan’. Dilihat dari akar katanya, kata ‘rahmat’ berasal dari ‘rahima’ yang artinya mengasihi atau menyayangi. Nabi dalam sebuah pernyataannya mengimbau umatnya untuk mengasihi atau menyayangi sesamanya yang ada di muka bumi, karena dengan itu mereka akan dikasihi dan disayangi makhluk-makhluk Allah yang ada di langit.
Islam sendiri memiliki arti ‘kedamaian’, selain berarti ‘kepasrahan total kepada Tuhan’. Kedamaian ini tidak akan terwujud di tengah-tengah manusia jika tidak dilandasi dengan prinsip-prinsip kasih sayang. Hilangnya kasih sayang merupakan awal munculnya prahara. Karena itu, di dalam ajaran Islam ada yang dikenal silaturahmi, yakni menjalin tali kasih sayang dengan mengunjungi sesama. Jadi, Nabi membina masyarakat di bawah payung kedamaian yang fondasinya adalah kasih sayang.
Oleh karena itu, menjadi sangat paradoks jika Nabi datang sebagai rahmat, membawa misi damai, dan menganjurkan kasih sayang di antara sesama, sementara perilaku umatnya berkebalikan, bahkan bertentangan dengan itu. Islam bermisi damai, tapi kenyataannya umat mencipta prahara. Islam mengajarkan kasih sayang, kenyataannya umat menebar kebencian, teror, intimidasi, dan kekerasan. Dalam agama harus dibedakan dua hal: ajaran agama dan penganut agama. Pemahaman yang parsial atas ajaran agama akan membuat manusia salah dalam bertindak. Inilah yang terjadi, tidak hanya pada Islam, tapi juga agama-agama yang lainnya.
Tafsir atas ajaran Islam dalam hal ini menjadi problem. Tapi, ini bukan satu-satunya problem. Tokoh-tokoh agama dalam hal ini juga turut memberikan andil. Di dalam doktrin Islam, misalnya, dikenal ungkapan ‘ulama adalah pewaris para Nabi’. Ini menegaskan bagaimana pentingnya peran tokoh-tokoh agama untuk menjaga umatnya dari segala tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama (syariat). Nabi, dalam hal ini, sangat berhasil memainkan perannya: reformis agama untuk mencipta dunia yang damai dengan landasan cinta, karena beliau adalah rahmat bagi semesta. Peringatan Maulid Nabi seyogianya mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan agar tercipta harmoni sosial sebagai modal dasar kemajuan.
Nabi Muhammad adalah rahmat bagi seluruh alam semesta. Apa yang dimaksud dengan ‘rahmat’ itu sendiri? Ibnu Manzhur di dalam Lisanul ‘Arab menyebutkan beberapa makna ‘rahmat’ ini, di antaranya: sikap mengasihi, sikap empatik, dan menyayangi. Kata lain dari ‘rahmat’ adalah ‘rahamah’ (menurut Imam Sibawaih) dan ‘marhamah’. Dalam Alquran disebutkan, “Dan, dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang (marhamah).” (QS Al-Balad: 17). Yakni, menyayangi orang-orang yang lemah dan bersikap empatik terhadap mereka.
Nabi Muhammad adalah seorang yang pengasih, bahkan kepada orang-orang yang menyakiti, mencaci-maki, dan melecehkannya. Ketika salah seorang Sahabat beliau memintanya agar mendoakan keburukan kepada orang-orang paganis (musyrik), beliau tidak mengabulkannya, namun mengatakan, “Sesungguhnya aku diutus Allah bukan sebagai orang yang suka melaknat, namun aku diutus sebagai rahmat.” (HR Muslim dari Abu Hurairah). Sikap penyayang juga beliau perlihatkan kepada orang-orang Thaif yang melemparinya dengan batu hingga pelipisnya berdarah-darah. Beliau tidak mendoakan keburukan atas mereka, tetapi sambil mengusap darah yang mengalir mengatakan, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman).
Nabi tidak membalas keburukan dengan keburukan, tetapi dengan doa kebaikan dan kesabaran. Sejahat apa pun manusia, beliau tetap bersikap demikian, karena tugasnya dari Allah hanyalah sebatas menyampaikan kebenaran, persoalan diterima atau ditolak, bukan urusan beliau. Tidak pernah beliau memaksakan kehendak kepada manusia untuk memeluk Islam, karena Allah sendiri sudah menetapkan beliau untuk mengatakan, “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS Al-Ikhlash: 6), ketika sudah maksimal menyampaikan kebenaran. Momentum peringatan Maulid Nabi mengingatkan umat Islam agar terus memperjuangkan Islam yang cinta damai dan ramah. Wallahu a’lam.
Oleh Abdul Hafidz, penulis adalah seorang aktivis sosial di Kota Pekanbaru.
Komentar