Daftar Isi
LancangKuning- Joe Biden-Kamala Harris berhasil memenangkan pemilihan presiden (pilpres) AS 2020. Mereka mengalahkan pasangan Donald Trump-Mike Pence.
Lantas, bagaimana dampak kemenangan Biden terhadap ekonomi Indonesia?
Ekonom Senior Faisal Basri berpendapat Indonesia tidak akan lebih diuntungkan dengan kemenangan Biden. Pasalnya, Biden memiliki kebijakan fiskal yang berlawanan dengan Trump.
Menurut Faisal, Partai Demokrat yang mengusung Biden memiliki persyaratan yang lebih ruwet dalam bisnis bilateral. Partai itu selalu memasukkan isu kemanusiaan (human rights) dan energi baru terbarukan.
Hal ini berbanding terbalik dengan Trump yang tak terlalu peduli dengan isu kemanusiaan dan energi baru terbarukan. Trump biasanya lebih mementingkan keuntungan bisnis semata.
Baca Juga : Begal Payudara Muncul Lagi di Keramaian
"Saya tidak suka jawabannya kalau Trump (menang) lebih menguntungkan untuk Indonesia. Partai Republik (partai pengusung Trump) kerjanya stimulus, cetak uang sehingga dolar AS merosot dan rupiah menguat tanpa usaha," kata Faisal dalam diskusi online beberapa waktu lalu, dikutip Senin (9/11).
Selain itu, Faisal menyatakan Partai Demokrat terlalu hati-hati dalam menahan defisit fiskal. Ini juga akan merugikan RI.
Sebab, AS berpotensi lebih sedikit memberikan stimulus dan cetak uang. Dengan demikian, dolar AS akan menguat dan rupiah merosot.
Dalam pembiayaannya, Biden akan menaikkan pajak orang kaya. Hal itu akan berdampak positif bagi perekonomian AS.
Sementara, selama empat tahun terakhir Trump menjabat, pemerintah AS lebih banyak mengucurkan beragam stimulus kepada dunia usaha untuk memastikan bisnis-bisnis raksasa dapat bertahan.
Di sisi lain, Direktur Riset Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia Pieter Abdullah menilai kemenangan Biden akan mengurangi ketidakpastian ekonomi global yang terjadi selama Trump memimpin. Dengan demikian, hal ini akan membawa keuntungan bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Selain itu, perang dagang antara AS dan China juga bisa diperbaiki di bawah pemerintahan Biden. Walhasil, sektor perdagangan global diprediksi semakin positif ke depannya.
Baca Juga : Indonesia Punya Colly Misrun, di Senegal Ada Racine Coly
Diketahui, hubungan dagang AS dan China memanas sejak 2018 lalu. Perang dagang antara kedua negara dimulai pada 8 Maret 2018 karena Trump melakukan proteksionisme dagang dengan mengenakan tarif 25 persen pada impor baja dan 10 persen pada aluminium dari sejumlah negara, termasuk China.
Beruntung, perang dagang mereda pada Januari 2020 dengan penandatanganan kesepakatan damai fase I. Namun, pembahasan mengenai hubungan dagang AS dan China belum berlanjut karena kasus pandemi covid-19.
(aud/bir)
Komentar