Daftar Isi
Foto: Gedung Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (vivanews/Andry Daud)
Lancang Kuning – Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan mencatat adanya piutang Rp358,5 triliun dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Piutang muncul di setiap kementerian atau lembaga.
Baca juga: Makanan Khas Pekanbaru
Piutang tersebut terdiri atas piutang lancar bruto senilai Rp297,9 triliun dan piutang jangka panjang senilai Rp60,6 triliun. Sementara itu, piutang tidak tertagih dari piutang lancar senilai Rp187,3 triliun dan jangka panjang Rp3,7 triliun.
Baca juga: Tempat Wisata di Riau
"Karena ada ketentuan yang menimbulkan satu kewajiban kepada pihak lain ke pemerintah. Kalau itu tidak dibayar mereka maka muncul kewajiban mereka ke negara, itu jadi piutang negara," kata Dirjen Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata secara virtual, Jumat, 2 Oktober 2020.
Baca juga: Berhijab, Nathalie Holscher Pensiunkan Baju-baju Seksinya
Isa pun mengungkapkan, proses penagihan piutang tersebut tidak melulu berjalan mulus. Proses penagihan, dikatakannya juga kadangkala mencekam karena pegawai yang ditugasi diancam hingga disakiti oleh pihak yang berutang.
"Saya ingat tuh ada peristiwa teman pajak (Direktorat Jenderal Pajak) di Nias yang sampai dia kalau enggak salah nagih piutang pajak, yang ditagih tidak puas dan kemudian melakukan penusukan dan sebagainya, cerita itu ada," tuturnya, dilansir dari Viva.co.id
Baca juga: Program Kampuang Nila Bantu Perekonomian Warga di Lambuang Bukik Kota Padang
Padahal, menurut Isa, biasanya para pegawai penagih piutang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Proses penagihan pun sudah dengan tata laksana yang jelas dan bisa dipahami.
Namun, dia melanjutkan, yang memberikan kesulitan utama dalam proses penagihan piutang adalah mencari jejak para pemilik utang ke negara tersebut. Mereka sulit dilacak keberadaannya, dengan nominal piutang mulai dari yang kecil hingga yang sangat besar.
"Kalau yang kecil-kecil banget itu batasnya Rp8 juta enggak dilakukan pemeriksaan. Kita bisa sarankan penghapusan bersyarat karena kalau Rp8 juta ongkos pemeriksaannya bisa lebih besar dari piutangnya sendiri, kalau pun bisa ditagih enggak sepadan," tutur Isa. (LK)
Komentar