Mengarifi Budaya Politik Feodalisme Jelang Pilkada 2020

Daftar Isi

    Oleh: AFRIZAL, S. Fil. M. Fil. M.A (Dosen dan Penggiat Masalah Sosial)

    Lancang Kuning, INHU -- Seiring dengan runtuhnya rezim orde baru dan berkibarnya reformasi tahun 1999 adalah realitas yang tak dapat dipungkiri, "kembalinya kedaulatan di tangan Rakyat." Reformasi yang melahirkan  demokrasi yang oleh Robert Dahl (1985) dirumuskan sebagai kompetisi, partisipasi, dan kebebasan. 

    Artinya dalam proses politik yang demokratis tidak ada diskriminasi apakah seseorang berasal dari kalangan bangsawan atau rakyat jelata, dimana mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan umum. 

    Baca Juga: Astaga, PRT di Pariaman Cabuli Anak Majikan Sambil VC Suaminya

    Secara historis bila dirunut lebih jauh lagi dalam susunan masyarakat tradisional terdapat dua sistem yang berlawanan, yaitu sistem kekeluargaan, kekerebatan (raja-raja) dan sistem orang biasa. 

    Sistem pertama dikenal dengan feodalisme (seperti kekuasaan turun temurun, status yang diperoleh kerena faktor keluarga, dan lain-lain) dan sistem kedua rakyat kebanyakan, yaitu sistem demokrasi yang berbasis pada akuntabilitas publik dan prestasi. Namun keduanya bukan saling terpisah satu dengan yang lain, melainkan merupakan satu kesatuan dari alam lingkungan budaya setempat. 

    Baca Juga: Pemotongan Sapi Qurban di Aceh Dicap Tak Manusiawi, Disorot Australia

    Golongan raja-raja dianggap sebagai representasi dari prinsip pemerintahan, sedangkan orang kebanyakan representasi dari prinsip-prinsip kebudayaan. Perpaduan kedua prinsip tersebut termanifestasi melalui kebiasaan dan adat istiadat ditengah pasang surutnya kebudayaan tersebut, lewat arus zaman yang selalu berubah. 

    Hal ini akan terlihat jelas bila keduanya sudah menyentuh pada level sosio-ekonomi dan sosio-politik. 
    Konflik antara budaya kebanyakan dan sistem feodalisme jangan sampai membawa pada perpecahan atau kasar terhadap lingkungan masyarakat menjelalang dilaksanakannya pesta demokrasi pilkada akhir tahun 2020 ini. 

    Baca Juga: Alfedri Sebut Ketahanan Pangan di Siak Terjaga Meski Tengah Pandemi Covid-19

    Sebab tidak selamanya konflik itu bermakna negatif yang mengarah pada perpecahan. Konflik juga bersifat positif yang dapat dijadikan sebagai media untuk meningkatkan kepedulian dan persatuan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan sejauh mana manusia yang saling berkompetisi, dalam hal ini antara penganut budaya feodalisme dan budaya kebanyakan dapat mengendalikannya dengan baik dan saling terbuka guna menjadikan daerah sebagai pusat budaya yang bersahabat, akomodatif dan kreatif. 

    Sebab secara teoritis konflik sistem budaya feodalisme dengan budaya kebanyakan setelah runtuhnya rezim orde baru di Indonesia secara kasat mata memang bertentangan, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena pada esensinya kebudayaan didasarkan pada ajaran bahwa "alam" harus dijadikan guru. Artinya dalam kebudayaan terdapat muatan nilai yang mengandung firman Tuhan, bahwa melalui alam, ia mengungkapkan beberapa rahasia-Nya kepada siapa saja yang mampu menerjemahkan secara tepat.

    Baca Juga: Guru Les Privat Ngaji di Dumai

    Kesenjangan yang terjadi dari “piciknya” budaya tradisional feodalisme adalah dengan menerapkan sistem top-down (dari atas ke bawah), yang berimplikasi pada pola pikir budaya masyarakat bersikap apatis dan skeptis terhadap mereka yang feodal tersebut. Sebab kelebihan seseorang dalam memimpin daerah bukan hanya berada pada personal dan keluarga, sebagai simbol politik dan budaya, tetapi kelebihan dalam memimpin daerah juga ada pada masyarakat. 

    Tanpa ditopang budaya masyarakat yang toleran, sopan, ramah, akomodatif, kreatif, bersahaja, dan memberikan ruang penuh pada yang lain, mustahil daerah kabupaten dijuluki daerah yang mempunyai nilai sejarah tersendiri. Pada sistem rakyat kebanyakan inilah, semua elemen harus bisa menciptakan budaya yang akomodatif dan kreatif dalam memunculkan regenerasi kepemimpinan.

    Dalam sistem kebudayaan masyarakat yang bukan feodalisme terdapat falsafah hidup alam terkembang jadi guru. Filsafat ini mengandung pengertian bahwa setiap orang ataupun kelompok kedudukan sama, dimana tidak ada yang lebih tinggi satu dari yang lain, baik sebagai individu, kelompok ataupun wangsa. 

    Pandangan hidup semacam itu memberikan sprit tersendiri bagi individu untuk mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, oleh karena mereka saling berkompetensi meningkatkan harga diri dan martabat mereka masing-masing. Sistem masyarakat yang komunal dan kolektif senantiasa menentang eksistensi personal yang dengan sendirinya telah menimbulkan konflik terus menerus. 

    Karena disatu sisi alam terkembang jadi guru mengajarkan bahwa suatu keniscayaan bagi seseorang untuk menjunjung dan menempatkan harga diri pada posisi yang wajar dan terhormat agar tidak terjadi dehumanisasi antara satu sama lainnya, serta membabi buta terhadap kebudayaan dan lingkungannya.

    Secara kasat mata adalah budaya politik yang berkembang selama berada dibawah kekuasaan yang bernuansa feodalisme secara lokal, selalu didominasi oleh kebudayaan sentralistik dan monologs. Semacam kebudayaan yang dikonstruksi oleh sebuah pandangan dunia yang berpusat pada otoritas sang pemimpin atau otoritas Tuhan dalam bahasa agama, dimana terkesan "membela dan turun temurun" dalam kebudayaan tersebut. 

    Hal tersebut akibat dari pola pikir yang berkembang dimasyarakat lebih berorientasi kepada sebuah pemahaman yang kaku dan tidak sinergis. 
    Kenapa katakan demikian, oleh karena masing-masing kebudayaan politik tersebut telah mengalami "sakit" atau dalam bahasa arabnya al-qath'iyyatu al-istimulujia (keterputusan kebudayaan). 

    Budaya yang akomodatif, kreatif, pluralis, dan humanis ditelan secara perlahan oleh budaya otoriter dan sentralistik pada masa kekuasaan orde baru dan dimanipulasi oleh budaya feodalisme tingkat lokal dan budaya konsumerisme pada era globalisasi dan modernisasi. 

    Akibat dari budaya politik semacam ini, masyarakat mengalami kevakuman dan hanya mengulang-ulang, tidak produktif dan selalu konsumtif, yang terlebih pola pikir feodalisme yang hanya mengurusi wilayah personal serta acuh akan persoalan sosial. Hal ini tentunya kontras dengan budaya politik yang akomodatif dan kreatif, dimana perkembangan ilmu sangat maju, budaya saling sapa dan saling menghormati berkembang pesat dan produktifitas dan kreatifitas masyarakat selalu bermunculan, yang sangat mungkin dalam pilkada kali ini menjemput kembali budaya-budaya akomodatif dan kreatif tersebut.

    Perbedaan kebudayaan feodalisme dengan budaya politik rakyat kebanyakan setidaknya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, di dalam budaya politik rakyat kebanyakan tidak ada hambatan kultural yang mempertentangkan antara konsep manusia yang satu dengan yang lain. 

    Kedua, tidak seharusnya ada warisan politik pra-adat dan pra-agama sebagai kebudayaan yang mapan. Dengan dua alasan ini, budaya politik yang akomodatif dan kreatif mempunyai kemerdekaan dalam berpolitik dan intelektualisme dibandingkan sistem feodalisme yang membungkam para kaum intelektual dan cendekiawan.

    Para intelektual dan cendekiawan yang terlahir dalam kebudayaan politik yang- akomodatif dan kreatif sebagai prototype masa depan daerah yang bergairah bagaikan "musuh bebuyutan", yang selalu diawasi oleh pemegang tampuk kekuasaan pada masanya. Sehingga tidak sedikit tokoh-tokoh intelektual dan politisi yang “dipenjara di luar” dan ditelan kekuasaan yang otoriter dan sentralistik tersebut. 

    Untuk mengatasi hal demikian adalah filosof tersohor Habermas menawarkan rasio komunikatif secara sejajar antar subjek dengan tanpa dominasi dari yang lain, dan John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice mengsusulkan pentingnya The Original Position untuk menciptakan keadilan.

    Singkatnya seseorang harus meninggalkan referensi dirinya dalam memutuskan sesuatu terutama dalam men-set-up masyarakat. Dalam hal ini siapa saja yang menjadi pengambil kebijakan (police maker) di daerah haruslah bisa men-setup masyarakat secara adil dan akomodatif, dengan "sumpah" mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, keluarga dan golongan.
    Baik filosof Habermas maupun Rawl dalam buku ulasan William C. Plecher yang berjudul Unapologetic Theology mengakui adanya standar objektif dalam mengevaluasi cara suatu budaya masyarakat dididik dan dibentuk, dimana ada moral universal dalam semua waktu dan setiap masyarakat. 

    Jika Habermas menyebutnya dengan istilah ideal speech situation, maka Jhon Rawls memberi istilah dengan original position. Habermas seperti yang diakui sendiri, sedang mempertahankan gagasan bahwa setiap masyarakat dan semua waktu ada dasar universal dari institusi moral. 

    Sementara Jhon Rawls mengaku telah menemukan titik Archimedes untuk menilai keadilan sistem sosial. Sebagai contoh dari cara kerja ideal speech situation Habermas the values of classijication itu adalah "kurang tepat" sistem feodalisme yang tradisional tersebut diimplementasikan dalam ranah politik lokal. 

    Dengan alasan jika ingin bersaing secara fair dan transparan pada era demokratisasi, maka jangan membunuh hak orang lain, maka inilah yang mengandung nilai moral tingkat atas, yang menggunakan prinsip moral universal. 

    Sedangkan persoalan justice (keadilan), yang dimunculkan oleh Jhon Rawls, adalah baginya pembuat aturan masyarakat agar mampu mencipta keadilan maka ia harus memiliki sifat yang disebut dengan the veil of ignorance. Artinya pembuat keadilan tidak mengerti dia akan menjadi apa, sehingga keputusan yang diambil murni dari referensi-referensi kepentingan. Inilah yang dimaksud John Rawls dengan the original position. 

    Para pejabat penting daerah, harus bisa melepaskan "baju" kepentingan pribadi, keluarga, kelompok maupun golongan, guna mencapai The well be together bagi pengembangan budaya politik yang akomodatif dan kreatif pasca otonomi daerah. Persoalan budaya politik adalah persoalan bagaimana setiap orang.yang berada didalamnya terlibat langsung dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan ikut ambil bagian dalam mengembangkan budaya yang akomodatif dan kreatif tersebut.

    Melalui logika kearifan budaya politik lokal yang akomodatif dan kreatif-lah sebelumnya daerah sangat dihargai dan dijuluki kota bersejarah. Daerah menjadi terbelakang belakangan ini disebabkan kurang arif dan bijaksana dalam meletakkan sesuatu dan komunikasi dengan masyarakat. Kearifan budaya politik lokal tersubordinasi oleh teks sejarah yang bersandar pada feodalisme atau status quo. 

    Daerah bisa menjadi maju dan berkembang, oleh karena penghargaan mereka yang tinggi terhadap kebersamaan dan legowo terhadap perubahan. Sementara tradisi murni sistem feodalisme, sempat berkembang pesat dan dijadikan sebagai rujukan awal oleh masyarakat yang berimplikasi pada sikap fanatisme buta. (LK/Rls)

    Catatan: Tulisan/Isi artikel adalah tanggung jawab penulis

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Mengarifi Budaya Politik Feodalisme Jelang Pilkada 2020
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar