Riau Bermarwah?

Daftar Isi

    LancangKuning.com - Opini Oleh Muhammad Herwan, Wakil Sekjen Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)

    63 Tahun sejak terbentuknya Provinsi Riau dengan kekayaan sumber daya alamnya, sejatinya dan sepatutnya telah dapat membawa rakyat Riau gemilang, terbilang dan bermarwah, namun faktanya mayoritas rakyat Riau masih jauh dari kondisi makmur dan sejahtera.

    Karut marut permasalahan di Riau semakin hari semakin bertambah dan sepertinya sulit terselesaikan, antara lain konflik lahan, kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan bencana asap dan dampak bencana alam lain serta bencana banjir dan longsor yang menjadi agenda rutin tahunan. Bahkan yang ironis dan menyedihkan, sangat banyak pejabat birokrasi dan wakil rakyat Riau yang tersandung kasus korupsi.

    Sejatinya Hari Jadi ke-63 Provinsi Riau di tahun 2020 ini adalah istimewa dan menjadi titik akhir dari pencapaian Visi Riau 2020. Jika kita evaluasi dari perspektif Visi Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu, secara faktual masih sangat jauh untuk menyatakan Riau telah atau sedang menuju sebagai pusat kebudayaan Melayu tersebut.

    Walaupun sudah dibentuk Dinas Kebudayaan yang semula dimaksudkan sebagai peneraju dan akselerator ke arah visi tersebut, namun sejak pembentukan dinas tersebut sepertinya tak meyakinkan dapat mewujudkan Visi Riau. Dinas Kebudayaan hanya berkutat dengan nostalgia kejayaan masa lalu tamaddun Melayu Riau. Hal ini dapat dibuktikan dengan gencarnya Dinas Kebudayaan mendapatkan pengakuan Warisan Benda maupun Warisan Tak Benda Melayu Riau.

    Upaya ini walaupun tidaklah salah, namun menurut hemat penulis, yang lebih utama dan substansial harusnya Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu, disibukkan dengan riuh kajian dan aktivitas budaya (tamaddun) maupun pengembangan kebudayaan Melayu dan implementasinya dalam tata kehidupan masyarakat Melayu Riau. Bentuk konkritnya setidaknya diwujudkan pada seni rancang bangun atau arsitektur bangunan di Riau, tentunya dengan gaya dan nuansa Melayu, serta “perkembangan” adat istiadat Melayu Riau atau secara komprehensif tamaddun Melayu Riau abad ini dan masa depan. Demikian juga komitmen penggunaan bahasa Melayu Riau dalam semua aktivitas sosial bermasyarakat, terutama di pasar dan perkantoran dan pusat aktivitas publik lainnya. Bukankah suatu yang bertolak belakang dengan sejarah ketika bahasa Melayu disepakati sebagai bahasa pengantar di Nusantara bahkan menjadi bahasa pemersatu dan bahasa resmi NKRI, justru terabaikan dan nyaris hilang di negeri asal bahasa Melayu itu sendiri.

    Tersebab, idealnya suatu tamaddun (peradaban dan kebudayaan) tersebut tidaklah statis, tetapi haruslah dinamis dan berkembang, penuh dengan inovasi dan kreativitas. Sebagaimana pusat riset Tamaddun Melayu Nusantara Universitas Indonesia menyebutkan pengertian tamaddun yang berasal dari kata Arab “Maddana” yang berarti peradaban dan dapat diartikan sebagai keadaan atau kondisi kehidupan bermasayarakat yang bertambah maju.

    Helat HUT Riau selama ini tidak membumi terkesan ekslusif, dalam artian seolah-olah hanya ranahnya Pemerintah Provinsi Riau, jangankan untuk bersebati sebagai layaknya helat hari jadi bagi rakyat Riau, terkadang pemkab/pemko pun hanya menyelenggarakan seremoni upacara di lapangan saja. Kemeriahan helat hari jadi Riau tidak menjadi bagian dan bersebati dengan rakyat.

    Helat hari jadi sepatutnya di kemas sedemikian rupa dan spesial, setiap tahun hendaknya ada tematik dan kado kejutan yang dipersembahkan oleh peneraju negeri untuk rakyat Riau. Sehingga hari jadi Riau menjadi helat yang ditunggu-tunggu oleh seluruh lapisan masyarakat Riau. Tradisi ini, 5 tahun yang lalu sebenarnya sudah mulai dilakukan, walaupun ruh tematik dan kado kejutan yang menjadi kemasan hari jadi tersebut tidak benar-benar bersebati dengan alur perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Riau. Misalnya dengan tagline “Riau Bermarwah” yang diusung pada Hari Jadi Riau ke 63 ini, sudahkah kita betul-betul memahami dan menghayati makna yang melekat dari tagline tersebut, untuk selanjutnya komit dan konsekuen menjaga dan menjunjung marwah Riau.

    Indonesia sepatutnya dan pantas untuk memberikan apresiasi pada Riau atas segala kontribusi yang telah diberikan pada NKRI. Kepatutan Indonesia memberikan apresiasi dan keistimewaan kepada Riau bisa saja dalam bentuk yang berbeda. Jika Indonesia bisa memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Papua, karena mereka “berani melawan”, tentu negara dapat pula memberikan hal yang sama kepada Riau karena “berani menunjukkan kebaikan hati”.

    Yang “berani melawan” pantas mendapat perhatian, dan “yang baik hati” pantas pula diberikan penghargaan. Jika tidak, maka Indonesia akan mewariskan sebuah tradisi dan pelajaran yang buruk, bahwa hanya dengan “berani melawan” perhatian baru didapatkan. Ketidakarifan dan ketidakadilan bersikap ini akan menjadi sumber kecemburuan dan keretakan negeri zaman berzaman.

    Riau, telah menyematkan mimpi dengan Visi 2020 sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu di rantau asia, namun sekali lagi hampir tidak ada perhatian dan dukungan pemerintah pusat kepada Riau agar cita-cita tersebut dapat diwujudkan.

    Perlakuan berbeda pemerintah pusat terhadap Riau sebagaimana fakta-fakta kesejarahan dan kekinian dan ketidak-inginan Indonesia meletakkan Riau secara agung dalam sejarah ke-Indonesia-an adalah pembangkangan dan penistaan terhadap sejarah. Bahkan Riau, pun baru dipandang sebagai sebuah provinsi setelah reformasi 1998. Sebelumnya, Riau jangankan memperoleh ke-istimewa-an, untuk putra daerahnya menjadi kepala rumah tangga (gubernur) di rumahnya sendiripun tidak diperbolehkan. Berdasarkan catatan, sebelum reformasi, hanya ada seorang putra Riau yang dapat menjadi gubernur, dan itu pun karena ia seorang tokoh militer. Demikian baru tercatat 2 orang putra Riau yang diberikan kepercayaan menduduki kursi menteri pada kabinet pemerintahan.

    Riau Inkorporasi dan Riauisasi

    Kita agaknya janganlah melupakan sejarah, ketika gagasan Visi Riau 2020 yang oleh penulis pada saat itu dengan sebutan awal paradigma baru pembangunan Riau dijadikan sebagai senjata utama memperjuangkan hak-hak Riau pada pemerintah pusat, ia-nya diusung oleh semua komponen rakyat Riau yang bersatu padu dalam wadah GKRMR (Gabungan Kekuatan Reformasi Masyarakat Riau) sehingga menjadi kekuatan besar yang dapat mengatasi semua rintangan yang menghadang di hadapan. Demikian juga, dengan semangat kebersamaanlah (persatuan dan kesatuan) yang dilakukan oleh komponen masyarakat masing-masing daerah, untuk memperjuangkan pemekaran kabupaten (pembentukan kabupaten baru) di wilayah Riau. Inilah bukti bahwa konsepsi Riau Inkorporasi (Riau Incorporated) yang merupakan bentuk persatuan dan kesatuan serta sinergi sumberdaya di Riau efektif dalam memperjuangkan hak-hak Riau. Sangat disayangkan, dari sejarah pula kita melihat Riau inkorporasi hanya di awal dan saat perjuangan dilakukan, setelah yang diperjuangkan di dapat, azam bersama tersebut ditinggalkan.

    Konsepsi tentang Riau Inkorporasi sejatinya adalah ruh kebersamaan semua unsur (stakeholder dan shareholder) rakyat Riau. Sinergi kekuatan dalam mengikhtiarkan pembangunan daerah ini dari awal perumusan, proses pelaksanaan dan mengawalnya (pengawasan). Masing-masing unsur (komponen) rakyat, bersinergi dan saling mengisi (kuat menguatkan), memainkan peran sesuai dengan posisi dan fungsi namun tetap dalam jalur menuju satu tujuan dan sasaran bersama. Tidak seperti perlombaan panjat pinang, yang masing-masing pemainnya memiliki syahwat untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan lawan dengan cara menginjak kepala dan berebutan untuk mencapai posisi teratas.

    Adapun prasyarat utama untuk membentuk Riau Inkorporasi adalah Riauisasi. Upaya untuk Riauisasi-pun sebenarnya telah dilakukan saat reformasi plus euphoria-nya disuarakan di Riau. Namun sangat disayangkan Riauisasi dimaksud hanya didasari emosional tanpa rasional yang logis dan proporsional. Contohnya antara lain keharusan semua pemimpin daerah ini (gubernur, walikota dan bupati, kepala dinas instansi dan lembaga-lembaga strategis) ditempati “Orang Riau”. Namun apa hendak dikata, “bak menanam padi, ilalang yang tumbuh”. Setelah semua pemimpin daerah ini “Orang Riau”, plus dengan limpahan dana pembangunan dalam bentuk DBH, harapan rakyat Riau untuk merasakan (mendapatkan) kesejahteraan dan kemakmuran masih bagaikan pungguk rindukan bulan. Pemimpin yang katanya “Orang Riau” ini menganggap kekayaan dan sumber daya ekonomi (termasuk di dalamnya alokasi dana pembangunan APBN/APBD) adalah milik mereka saja, rakyat Riau yang lain hanya boleh menonton keserakahan yang mereka praktikkan tanpa boleh memberikan kritik apatah lagi meminta bagian. Mindset dan prilaku seperti ini bahkan masih berlangsung sampai saat ini, sehingga Riau mendapat predikat daerah koruptor. sangat memprihatinkan dan merisaukan, melenceng jauh dari kepemimpinan sebagaimana arif dan bijaknya tunjuk ajar Melayu.

    Inilah contoh memaknai Riauisasi yang salah kaprah, riauisasi yang disalahtafsirkan. Hakikat Riauisasi yang menjadi prasyarat Riau Inkorporasi adalah cara pandang seluruh rakyat yang tinggal dan menempati wilayah Riau, untuk menyatakan diri bahwa mereka anak jati Riau. Tidak ada Riau Inderagiri, Riau Kampar, Riau Bengkalis, Riau Siak, Riau Telukkuantan dan Riau-Riau lain. Demikian juga tidak dapat dipaksakan Riau hanya hak dan milik orang Melayu (“Orang Riau”), tetapi Minang, Batak, Jawa, Bugis, Banjar dan puak-puak lain yang ada di Riau juga punya hak yang sama dan harus memiliki tanggung jawab (secara moral dan emosional) yang sama pula, untuk bersama-sama membawa bahtera Lancang Kuning membangun Riau. Namun tentunya dengan catatan tebal pula untuk diingat, puak Melayu mestilah punya serta diberikan hak privilege dan puak-puak lain yang bermastautin di Riau patutlah menghormati dan menjunjung tinggi hak privilege tersebut. Insyaa Allah, apabila semua kita sepakat dengan ini, Riau akan lebih baik dan berjaya.

    Akhirnya penulis dengan sepenuh kerendahan hati memohon maaf kepada semua pihak, bahwa catatan ini bukanlah dimaksudkan untuk mencari kesalahan apatah lagi untuk mendiskreditkan, tetapi setidaknya catatan ini bersama-sama kita jadikan bahan renungan, evaluasi dan introspeksi, bukankah hakikat dari helat hari jadi itu utama dan sejatinya adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah yang maha kuasa pencipta alam semesta dan melakukan kilas balik terhadap amalan yang telah kita lakukan sebelumnya serta upaya kita untuk memperbaiki kekurangan dan melakukan perbaikan atau peningkatan pembangunan Riau pada masa-masa hadapan. Semoga Hari Jadi Riau ke 63 di tahun 2020 ini, kita jadikan azam bersama untuk pembaharuan riau yang bermarwah, gemilang dan terbilang. Tahniah Hari Jadi Riau ke - 63.

    Penulis juga merupakan: Wakil Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Riau dan Perumus Naskah Awal Visi Riau 2020.

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Riau Bermarwah?
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar