Daftar Isi
Foto: Kementerian Pertahanan RI berencana membeli jet tempur bekas asal Austria, Eurofighter Typhoon.( AFP/Petrons Petros Karadjias)
Lancang Kuning -- Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan mendesak Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membatalkan rencana pembelian jet tempur bekas Eurofighter Typhoon dari Austria.
Wakil Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri menilai rencana pembelian pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas oleh Kemenhan itu berpotensi menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Setidaknya ada 11 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi yang menolak pembelian pesawat Typhoon. Mereka antara lain Indonesian Corruption Watch, Imparsial, SETARA Institute, KontraS, Public Virtue Institute, ELSAM, PILNET Indonesia, LBH Jakarta, PBHI, dan Human Rights Working Group (HRWG).
Ghufron menyebut, ide pembelian Typhoon bukan hanya tidak tepat, namun juga bakal mengulang kesalahan lama Kemenhan terkait akuntabilitas anggaran dengan pengadaan alutsista bekas.
"Dan yang lebih berbahaya lagi adalah penggunaannya oleh prajurit TNI menghadapi risiko terjadi kecelakaan," kata Ghufron dalam keterangannya, Selasa (28/7).
Selain itu, ia mengatakan pembelian armada tempur yang telah berusia 20 tahun itu pun akan lebih memboroskan anggaran dibanding membeli pesawat baru. Apalagi, katanya, pemerintah Austria juga dikabarkan sudah menghentikan semua penggunaan armada Eurofighter Typhoon itu pada 2017 lalu.
Selain itu, Ghufron mengatakan, Typhoon yang dibuat pada 2007 itu, menurut pernyataan Pemerintah Austria juga telah memasuki masa inefisiensi dalam pengoperasiannya.
Oleh karena itu, menurut dia, Kemenhan tidak memiliki alasan kuat untuk membeli pesawat tersebut.
"Baik dari aspek teknis-yuridis, aspek teknis-operasional pesawat, termasuk menimbang efisiensi anggaran negara," katanya, dilansir dari CNN Indonesia.
Menurut Ghufron, jika rencana pembelian ini direalisasikan, ada potensi pemerintah Indonesia harus mengeluarkan anggaran yang lebih besar untuk mengoperasikan dan merawat pesawat tersebut.
Apalagi, menurut pemerintah Austria sendiri, ujar Ghufron, pengoperasian Thypoon hingga habis usia pesawat, bakal menghabiskan anggaran sekitar 5 miliar euro. Jumlah itu masih jauh lebih besar ketimbang membeli pesawat baru, yang dapat memberi nilai efisiensi sampai 2 miliar euro.
Sedangkan diketahui, usia Typhoon yang akan dibeli Kemenhan saat ini berusia 20 tahun. Adapun masa pengoperasian pesawat tempur di rentan waktu 25-30 tahun.
"Jika menghitung kembali dengan nilai efisiensi alat yang dibeli, tentu Indonesia akan lebih mendapatkan manfaat besar apabila membeli pesawat tempur baru yang dibutuhkan untuk kepentingan melindungi udara Indonesia dari potensi gangguan," kata dia.
Selain itu, Ghufron turut mengkhawatirkan, pembelian pesawat bekas oleh pemerintah ini akan menjadikan Indonesia terkesan menjadi pasar alutsista bekas di mata dunia.
Di sisi lain, ia juga berpandangan, pembelian Typhoon berpotensi menjadi penyimpangan akibat tak ada standar harga yang pasti.
Pasalnya, menurut Ghufron, mengutip laporan dari Transparency International dalam survei 'Government Defence Anti-Corruption Index 2015', Indonesia masih tergolong sebagai negara yang memiliki risiko tinggi terkait risiko korupsi di sektor militer atau pertahanan.
Hasil survei itu menempatkan Indonesia dengan nilai D terkait risiko korupsi tersebut, setara dengan negara-negara seperti Namibia, Kenya, dan Bangladesh.
Ghufron pun mendesak setiap pengadaan alutsista harus mengikuti ketentuan dalam UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Sehingga setiap pengadaan alutsista baru hendaknya diiringi mekanisme offset atau transfer teknologi.
"Selain itu, Kementerian Pertahanan harus fokus pada kemandirian industri pertahanan sehingga pengadaan alutsista harusnya memprioritaskan pembelian dari dalam negeri," kata dia. (LK)
Komentar