Daftar Isi
Sejak bangsa Indonesia mendeklarasikan sebagai sebuah negara yang merdeka, salah satu prinsip dasar bernegara yang dianut adalah paham kedaulatan rakyat, yang ditandai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah amandemen yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Perubahan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dari yang semula berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”menunjukan terjadinyaperubahan gagasan yang begitu mendasar tentangkedaulatan rakyat dalam UUD 1945. Terjadi pergeseran yang sangat fundamental tentang siapa sebenarnya yang bertindak sebagai pemegang supremasi atau kekuasaan tertinggi.( Soewoto Mulyosudarmo;2004).
Pelaksanaan keterlibatan penuh rakyat tersebut haruslah diorganisasikan menurut Undang-Undang Dasar, Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945, yang dimulai dari Pasal 6A ayat (1): “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”; Pasal 18 ayat (3): “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”; Pasal 19 ayat (1): “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”; Pasal 22C ayat (1): “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”; Pasal 22E ayat (2): “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. (Undang-Undang dasar 1945 Pasca Amandemen)
Pemilihan kepala daerah (pilkada), baik provinsi maupun kabupaten/kota, diatur pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masingsebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilihsecara demokratis.”
Setidaknya ada dua pandangan kepala daerah dipilih secara demokratis”, yaitu: pertama; kepala daerah harus “dipilih” melalui proses pemilihan dan tidak dimungkinkan untuk langsung diangkat, kedua; pemilihan dilakukan secara demokratis. Makna demokratis di sini tidak harus dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang anggota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui pemilu.
Maka dengan pertimbangan, dikeluarkanlah kebijakan tentang pelaksanaan Pilkada yangbaru saja selesai Pada 09 desember 2015, namun pelaksanaan pilkada serentak dilakukan melalui tiga gelombang. gelombang kedua akan digelar pada februari 2017 dan gelombang ketiga akan dilaksanakan pada Juni 2018.
Pada 09 Desember 2015 yang lalu dilaksanakanlah pilkada serentak dengan waktu yang terbilang mendesak tentu saja ada kekurangan dalam hal kesiapan penyelenggara, kesiapan masyarakat, kesiapan partai politik, terlebih dengan masih adanya perseteruan internal partai dengan dualisme kepengurusn yang tidak kunjung usai.
Dengan segala dinamikanya, pilkada merupakan sebuah sarana bagi masyarakat untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan. Pilkada lah yang berfungsi sebagai sarana legitimasi politik bagi kepala daerah yang berkuasa, karena melalui Pilkadalah gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah dapat diasosiasikan.
Seperti lazimnya, pemilihan umum kepala daerah melahirkan ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas hasil pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi. Sejak tahun 2008 hingga 2014, MK sudah menangani 698 Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala daerah. Rinciannya 68 perkara dikabulkan, 456 ditolak, 153 tidak dapat diterima, dan 21 ditarik kembali.
Pilkada serentak yang dilaksanakan pada 09 Desember 2015 terdiri dari 269 penyelenggaraan Pilkada, sebanyak 147 pendaftaran permohonan dari 132 daerah. Sebanyak 128 perkara di antaranya diajukan pasangan calon bupati, 11 perkara diajukan pasangan calon wali kota, 6 perkara dimohonkan pasangan gubernur.
Sebanyak 140 perkara dari 147 permohonan perkara sengketa pemilihan kepala daerah serentak 2015 telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. 134 perkara dinyatakan “tidak dapat diterima” dengan rincian, menolak 35 Permohonan karena diajukan melewati tenggat waktu batas pengajuan permohonan seperti disebutkan dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Batas tenggat waktu pengajuan permohonan sengketa pilkada berdasarkan pasal tersebut adalah tiga kali 24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum menetapkan perolehan suara hasil pemilihan. Tiga perkara dinyatakan salah objek, Sementara itu 96 perkara dinyatakan bahwa pemohonnya tidak memiliki kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dan Pasal 6 PMK 1-5 Tahun 2015, yang mengatur selisih perolehan suara antara pihak pemohon dengan pihak terkait atau pasangan yang ditetapkan mendapat perolehan suara terbanyak, kemudian satu putusan sela, Mahkamah Konstitusi memerintahkan KPU Daerah Provinsi Maluku Utara untuk melakukan penghitungan suara ulang hasil perolehan suara di Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, sedangkan 7 kasus laiinya masih dalam tahapan Proses.
Dapat dipahami bahwa dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Beralihnya penyelesaian sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi akan membawa harapan baru karena penyelesaian oleh Mahkamah Konstitusi relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti. Hal ini dibuktikan dari pengalaman Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pemilu.
Meskipun timbul permasalahan baru dengan Putusan MK No.97/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa sengketa pemilukada bukan lagi kewenangan Mahkamah Konstitusi, namun sebelum ada regulasi baru yang mengatur, maka Mahkamah Konstitusi tetap berwenang menangani sengketa Pilkada yang diatur dalam undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang pilkada.
Dalam perkembangannya, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa pemilukada tidak hanya dimaknai secara tekstual yaitu untuk memutus perselisihan hasil perhitungan suara Pemilukada, tetapi juga mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dilapangan. Itulah yang menjadi kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi yang pada dasarnya bertujuan agar pemilukada berlangsung jujur dan adil. Dalam praktik, cukup banyak masalah yang muncul dalam pelaksanaan pemilukada baik dari sisi regulasi, penyelenggaran, dan penegakan hukumnya.
Harus diakui bahwa Sejak diberikan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pemilihan Kepala Daerah sampai sekarang ini, Mahkamah Konstitusi Melalui putusan-putusannya melakukan berbagai langkah hukum yang menjaga agar Pemilu tetap terlaksana secara demokratis sesuai amanat konstitusi. Meskipun demikian bukan berarti bahwa dalam penanganan penyelesaian sengketa, Mahkamah Konstitusi tidak mengalami banyak tantangan, salah satunya adalah tandatangan dari dalam, apalagi kalau bukan masalah Korupsi yang menjerat ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mukhtar, mau tidak mau juga menimbulkan kerisauan ditengah-tengah masyarakat akan tegaknya hukum.
Maka Dalam mengawal demokrasi, Mahkamah Konstitusi menjadi pemutus paling akhir atas sengketa Pemilukada. Peran yang demikian seharusnya Mahkamah Konstitusi menyadari bahwa putusan tidak hanya menyangkut para kandidat yang sedang berkompetisi tetapi menentukan nasib rakyat dan demokrasi terutama di daerah di mana Pemilukada digelar.
Memperhatikan pelaksanaanPilkada yang telah berlangsung, untuk beberapa tahun ke depan, masalah penegakan hukum, diperkirakan masih mendapatkan banyak hambatan. Hal itu disebabkan, karena tingkat kesadaran hukum dan kultur politik yang belum mendukung dengan baik. Namun, pilihan untuk menempuh proses pengadilan seperti di Mahkamah Konstitusi, dan menghindarkan jalan kekerasan atas sejumlah sengketa Pemilukada serta kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, walaupun terdapat perlawanan untuk beberapa kasus Pilkada, menunjukkan adanya kesadaran hukum yang baik di kalangan pelaku politik.
Keberhasilan dalam menangani sengketa serupa di masa datang akan menentukan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia, sehingga Masyarakat meyakini rule of law sebagai prinsip demokrasi yang menjadi satu-satunya aturan yang ditaati dan tidak tergoda untuk menempuh jalan kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Akhirnya, tentu saja kita ingin memperhatikan secara seksama, dengan dinamika Pilkada dan penanganan perkara yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, dengan segala masalah dan dinamikanya harapan dan keinginan masayarakat tentu saja tidak menginginkan adanya kegaduhan dalam Internal partai Poltik, masyarakat tidak ingin mendengar para pengambil keputusan terlibat Menerima Suap (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), masyarakat menginginkan kerja nyata dari hasil pilkada, yaitu pemimpin yang bijaksana dan mementingkan kesejahteraan sosial masyarakat sesuai dengan Amanat UUD 1945. Semoga terwujud.
M. Alpi Syahrin, SH., MH
(Penulis adalah Aktivis PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan HAM) Wilayah Riau)
Komentar