MASA DEPAN SURAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA ?

Daftar Isi

    LancangKuning.com -  Lutfi Alfiandi, demonstran yang fotonya viral membawa bendera di saat demo pelajar STM, mengaku disetrum dan dianiaya saat diperiksa polisi di Markas Polres Jakarta Barat. Penyiksaan itu disampaikan Lutfi dalam persidangan kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1Di hadapan majelis hakim, Lutfi juga mengaku disetrum hingga kepalanya pusing. Dia mengaku ditendangi dengan mata tertutup dan posisi jongkok. 

    Penganiayaan itu dialami saat dirinya dimintai keterangan di Mapolres Jakbar. Ketika itu oknum penyidik terus menerus meminta Lutfi mengaku telah melempar batu ke arah polisi saat demo September 2019. Lutfi akhirnya terpaksa menuruti permintaan polisi karena berada di bawah tekanan.

    Terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mempersilakan kepada Lutfi untuk membuat laporan jika memang mengalami penganiayaan. Yusri mengklaim tak ada penganiayaan yang dilakukan penyidik kepada Lutfi saat proses pemeriksaan. Dalam konteks sumber informasi, tentu pengakuan Lutfi lebih otoritatif karena dia mengalami peristiwa itu sendiri. Sementara klaim Polda yang menyebut tidak ada penganiayaan, justru patut dipertanyakan. Darimana sumber klaim ini, padahal pihak Polda belum melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap penyidik yang menangani perkara Lutfi ?

    Adapun kabar ini terus terang menampar nurani dan rasa keadilan bangsa Indonesia. Betapa tidak, KUHAP yang diakui sebagai karya agung anak bangsa, sesungguhnya telah membuat aturan untuk mengantisipasi adanya tindakan penyalahgunaan wewenang oleh aparat.

    Dalam  Pasal 52 KUHAP disebutkan :

    “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberi keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.

    Selanjutnya dalam Pasal 117 KUHAP juga disebutkan :

    (1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.

    M. Yahya Harahap, SH., ahli hukum pidana Indonesia, dalam bukunya berjudul Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Halaman136, mengungkapkan “Kita terkesan dan sangat setuju dengan ketentuan Pasal 117 (KUHAP). Tersangka dalam memberikan keterangan harus bebas berdasar kehendak dan kesadaran nurani. Tidak boleh dipaksa dengan cara apa pun baik penekanan fisik dengan tindakan kekerasan dan penganiayaan, maupun dengan tekanan dari penyidik maupun pihak luar”.Perlindungan KUHAP terhadap Tersangka ini sejalan dengan makna tersangka. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 butir 14 KUHAP). 

    Tersangka merupakan pihak yang baru diduga melakukan tindak pidana. Tersangka belum tentu bersalah sehingga masih harus dibuktikan dulu kesalahannya di depan pengadilan. Terdapat proses-proses yang harus dilalui oleh tersangka atau terdakwa sehingga pengadilan bisa menjatuhkan putusan (vonis). Proses-proses tersebut antara lain; penyelidikan dan/atau penyidikan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan dan seterusnya sampai mendapatkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (incrakh van gewidje).

    Namun praktik oknum penyidik Polres Jakarta Barat sebagaimana diterangkan dalam pengakuan Lutfi ini menampar nurani dan rasa keadilan masyarakat. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi ? Apakah penyidik tidak membaca KUHAP dan menjadikannya sebagai panduan dalam menyidik perkara ?Terlepas bahwa korban bisa melaporkan tindakan represif oknum aparat, semestinya kepolisian juga mengambil inisiatif internal untuk memeriksa kasus ini. Kita semua tidak ingin, perilaku segintir oknum aparat akan merusak citra institusi Kepolisian secara umum.Presiden juga perlu memberi atensi penuh terhadap perkara ini. Sebab, pengakuan Luthfi ini ibarat fenomena gunung es. Peristiwa yang tak tampak boleh jadi lebih besar dan lebih dahsyat.

    Meninggalnya dua mahasiswa Unhalu yang tertembak peluru tajam, penanganan represif demo 21-22 Mei, serta berbagai dugaan tindakan Represif aparat dalam banyak kasus semestinya bisa dihentikan jika presiden mengambil sikap untuk menghentikan. Jika tidak, penulis khawatir masa depan penegakan hukum di negeri ini kian suram. Kita pada hakekatnya tidak mewarisi bangsa ini dari kakek buyut kita, tetapi kita mendapat titipan amanah dari anak cucu kita.Lantas apa tanggung jawab kita kepada generasi masa depan anak bangsa, kepada anak cucu kita, ketika kita mewariskan bangsa dalam keadaan  karut Marut ?

     

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel MASA DEPAN SURAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA ?
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar