Werkwillig atau Naturalis?

Daftar Isi

    Oleh: Wamdi Jihadi

    “Jikalau aku sekiranya mau masuk golongan werkwillig, dahulu di Jakarta aku sudah menjadi werkwillig, berbagai jabatan sudah ditawarkan pemerintah kepadaku. Aku tentu sudah menjadi “tuan besar” dan tidak perlu aku datang ke Digul untuk menjadi kuli dengan upah 40 sen sehari.”

    Ucapan di atas adalah apa yang pernah disampaikan bung Hatta ketika dia dipanggil kepala pemerintahan kolonial di Boven Digul, sehari setelah sampainya dia di sana sebagai seorang internir (orang yang diasingkan), 29 Januari 1935. Dia diminta memilih antara menjadi tawanan yang bekerja dengan pemerintah atau tidak, dan itulah jawabannya.

    Bung Hatta lebih memilih naturalis, orang yang ditawan atau diasingkan namun tetap dikasih makanan sekedar kebutuhan hidupnya sehari-hari, tidak lebih. Namun itu lebih menentramkan jiwanya, lebih merdeka dan lurus jalannya dalam memikirkan masa depan Indonesia yang dicita-citakan. Dan tidaklah bung Hatta namanya kalau bukan hidup dalam kesederhanaan, bukan saja ketika dibuang dari satu pulau ke pulau lainnnya, tetapi kesederhanaan itu pun tetap melekat pada dirinya bahkan setelah menjabat sebagai Wakil Presiden sekalipun.

    {{}}

    Hari ini, kemana kita mencari pemimpin? Ungkapan Agus Salim Leiden is Lijden yang berarti memimpin itu menderita sepertinya telah dihisap bumi seiring dikuburnya mereka para pejuang bangsa itu. Maka semakin ke ujung, semakin bertambah usia bumi ini kita hanya akan memproduksi pemimpin yang kian merendahkan kemanusiaan. Kalau pun ada satu dua orang itu hanya serpihan dari yang tersisa, bagai menemukan jarum dalam tumpukan jerami.

    Inap-inapkanlah, adakah orang gajian yang bakal kaya raya! Tidak ada, pendapatan mereka peroleh bisa ditakar setiap kali bulan terbit. Karena itu pilihan menjadi pejabat negara sebenarnya adalah pilihan yang sangat berani untuk hidup di atas kesederhanaan. Mereka pilihan Tuhan untuk melayani umat manusia lainnya.

    Namun sebagian sejarah dan realita bicara lain. Imun seseorang itu seringkali merunduk tiap kali dihadapkan dengan jabatan dan kekuasaan. Bagaimana tidak, peluang di depan mata, sementara kebutuhan kian meningkat dengan gaya hidup yang harus menyesuaikan dengan kolega, relasi dan kenalan-kenalan baru lainnya. Lalu dicarilah jalan pintas, meski pun bernoda.

    Tidak bisa. Itu sebabnya dalam Islam tiap kali ada orang yang akan diangkat menempati posisi yang akan melayani orang banyak, dia mesti selesai dulu dalam urusan mengurusi pribadi dan keluarganya, seperti dicontohkan Umar bin Khattab dalam memilih para Gubernur di masa kekhalifan. Karena logika sederhananya, orang yang tidak bisa menata diri sendiri tidak mungkin bisa menata orang lain.

    Lalu, sekali lagi kemana kita mencari pemimpin? Apakah sudah saatnya meminta Tuhan menurunkan Malaikat untuk mengatur kita?

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Werkwillig atau Naturalis?
    Sangat Suka

    100%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar