Lewat Kata

Daftar Isi

     

    Setiap kali aku membacanya, aku selalu ingin menulis. Setiap kali aku menyelami maknanya, tumbuh pula inginku yang sama. Membubuhkan hitam diatas putih sepertinya. Menceritakan segalanya, menemuimu lewat kata...

     

    Aku masih ingat, kita bertemu pertama kali di jalan yang di samping kanan kirinya bergantungan segala jenis tanaman. Aku masih ingat benar, engkau datang dari arah yang berlawanan dengan sekumpulan kawanmu penuh dengan tawa berderai. Mungkin memang kebiasaan kalian yang selalu ingin membuat waktu berlalu dengan kebersamaan dan kebahagiaan. Engkau hampir-hampir saja menabrakku saking tidak memperhatikan jalan.

    Sementara jalanku masih panjang, beberapa puluh meter lagi dari jalan pertama kali kita bertemu. Sesekali kulihat engkau diakhir jalanku, yang kudapati adalah punggungmu yang semakin jauh. Menyisakan titik hitam. Dan aku masih menunggu beberapa waktu sampai titik hitam itu benar-benar hilang.

    “Engkau harus pergi.” Kataku hampir tak terdengar.

    Kubuka pintu pagar rumah. Kususuri halaman hingga kutemui jalan menuju beranda samping. Ternyata, aku menemuimu lagi. Aku tersenyum. Lalu menghampirimu dengan segera, duduk menghadapmu dan memperhatikan beberapa bagian yang mungkin adalah bekas luka. Namun, engkau diam saja, malah tertunduk semakin dalam.

    “Ada apa?,” tanyaku.

    Engkau hanya diam. Kutunggui jawabanmu. Namun tak ada sedikitpun jawaban. 

    Biasanya kalau sudah seperti itu aku juga akan diam. Mencari tempat lain untuk bersandar dan menikmati angin siang dengan hamparan ilalang di depan beranda. Aku membiarkanmu. Dan akhirnya engkau melakukan hal yang sama denganku. Duduk bersandar dan membiarkan mata kita terkatup. Kita memang punya kebiasaan yang sama walaupun hal sederhana seperti itu.

    “Apakah engkau mengira aku sengaja mendatangimu?,” tanyaku sambil tersenyum, menoleh padanya sebentar dan kembali seperti semula.

    “Tidak. Aku bahkan tak punya keinginan seperti itu.” Lanjutku.

    “Aku hanya sedang berdamai dengan takdirku.”

    Kini gantian ia menoleh padaku. Menatapku dengan tanya.

    “Engkau seharusnya tak di sini pula.” Kataku, masih menutup mata, semakin menikmati angin sepoi siang ini.

    Ia berdiri, tanpa tanya pula ia mengembalikan dirinya entah kemana. Aku kehilangan dirinya. Aku tersenyum dengan lelehan hangat di pelupuk mataku. Membiarkan bulirnya terjatuh, membiarkan semuanya terjadi.

    Aku masih menutup mata. Mengikuti kemauan hati dalam sesegukan dan tangisku yang semakin bergemuruh. Ilalang pun tak akan pernah tahu mengapa aku seperti ini, bahkan tanaman-tanaman yang tergantung di jalan tempat pertama kali kita bertemu itu pun tak akan sama sekali tahu.

     

    ***

    Untukmu, yang pernah kutemui di persimpangan jalan 20 tahun mendatang.

     

    Di dunia ini,

    Selalu ada yang datang dan pergi.

    Siapapun ia,

    Orang yang pernah kita kenali sebagai salah satu manusia yang pernah datang dan menyapa kehidupan kita.

     

    Engkau perlu tahu,

    kadang seseorang itu datang terlalu lekat untuk menjadi pelengkap hidupmu.

    Kadang juga,

    Seseorang itu mudah sekali untuk dilepaskan,

    Datang dan pergi begitu saja,

    Tak berbekas apa-apa.

     

    Engkau tahu,

    Ada seseorang yang harus engkau kembalikan hatinya.

    Seseorang itu adalah aku.

     

    Engkau tahu mengapa?

    Karena aku telah membunuh perasaanku sepanjang waktu olehmu.

    Aku butuh pengembalian yang setimpal di  sepanjang perjumpaan yang sebenarnya ingin kuhindari,

    ingin kujauhi!

     

    Karena,

    Dekat denganmu  sama saja dengan membunuh diri sendiri secara perlahan.

    Aku tahu, engkau orang yang mudah menghilang dan melupakan.

    Tapi tidak denganku!

    Dan diantara proses memberi dan menerima,

    Aku adalah orang yang tak ingin memilih kedua-duanya.

     

    Aku dingin, dan begitu ingin membekukan diriku untukmu.

    Bahkan, untuk hal seperti ini, mungkin aku “terlalu” dalam menyikapinya.

    Maaf, tapi andai engkau tahu, aku benar-benar tak mengharapkannya.

     

    Sayangnya,

    Ia muncul dari sini, dimana Allah letakkan ia dekat dengan empedu dan dengan sifatnya yang sering terbolak-balik.

     

    Asal engkau tahu,

    Akalku sebenarnya tak ingin menerimanya!

     

    Aku tahu engkau akan acuh.

    Maka, sebelum aku dicampakkan sejauh-jauhnya

    Aku mempersiapkan diriku.

    Mengemban rasa nyeri ini yang sering kurasai setelah pulang.

     

    Menyimpan lagi pertanyaan besar tentang “Ada apa dengan diriku?”

    Aku kepayahan.

    Mengenai cinta yang tak tahu seharusnya akan tersemat dimana.

    Mengenai benci yang tak tahu mengapa berlabuh.

     

    Tuhan,

    Di keterbatasan indera dan lemahnya iman,

    Aku tahu ini tak semestinya sama.

    Maka, kubiarkan ia berjalan dengan caranya sendiri.

     

    Aku suka seperti ini.

    Menceritakan hidup secara alami, mengallir tanpa paksaan.

    Aku melihat diriku, entah selelah apa aku setelah kepulanganku di akhir nanti.

    Aku benar-benar ingin memerdekakan diri.

    Darinya, ataupun dari perasaanku.

    Karena aku tahu itu semu.

     

     

     

     

    Penulis: Aryani Aji

    Editor : Helmi Yani

    Penulis adalah Mahasiswi UIN Suska Riau

     

     

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Lewat Kata
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar