Daftar Isi
Foto: Kajari Inhu, Windro Tumpal Halomoan Haro Munthe, S.H, M.H, memberikan pemahaman kepada pihak korban setelah mendengar aspirasi mereka.
Lancang kuning, INHU - Belum genap 3 bulan bertugas sebagai Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Indragiri Hulu (Inhu), Windro Tumpal Halomoan Haro Munthe, S.H, M.H melakukan gebrakan yang jitu terhadap peningkatan pelayanan.
Dimana, pelayanan yang dimaksud menjurus kepada korban tindak pidana berupaya membangun Ruang Aspirasi Korban (RAK).
"Wadah ini untuk menjamin pengajuan hak restitusi korban yakni mendengarkan aspirasi tuntutan dan pengembalian barang bukti saat tahap II, yang kepemilikannya jelas-jelas milik dari korban tindak pidana," kata Muhammad Ulinuha, S.H, Kepala Seksi Intelijen pada Kejari Inhu, Rabu (28/8).
Dia menjelaskan, bahwa program itu lahir dari konsep pemikiran Kajari Inhu yang menyadari bahwa dalam sistem peradilan pidana, tidak bisa hanya berorientasi kepada penjatuhan sanksi terhadap pelaku melainkan juga perlindungan dan pemenuhan hak dari korban tindak pidana.
"Masing-masing hak korban diantaranya hak atas restitusi, hak transportasi, dan hak atas kejelasan status barang bukti milik korban," jelasnya.
Menurutnya, persoalan hak atas restitusi penghitungannya harus melalui LPSK sementara di Indonesia hanya ada 13 kantor perwakilan LPSK, dan untuk provinsi Riau sendiri tidak terdapat kantor perwakilan tersebut alhasil diprediksi dapat menyulitkan para pihak yang ingin mengajukan restitusi.
Dengan demikian, Windro Tumpal Halomoan Haro Munthe S.H, M.H, membuat terobosan dengan mempermudah pengajuan restitusi lewat peran aktif jaksa untuk menawarkan hal restitusi pada korban.
Selanjutnya, terobosan tersebut juga sudah disosialisasikan pada Pengadilan Negeri Rengat serta mendapat dukungan dalam pengajuan restitusi oleh korban saat proses persidangan.
Namun masih terdapat masalah lain selain sulitnya akses terhadap LPSK, yaitu tidak semua terdakwa sanggup untuk membayar restitusi, yang mana hal tersebut akan menjadi tunggakan dalam penyelesaian perkara.
Dilema itu dapat dipecahkan melalui langkah cemerlang yakni berkomunikasi dengan PN Rengat terkait subsider atas biaya restitusi yang tidak mampu dibayar terdakwa. "Apabila terdakwa tidak sanggup membayar restitusi maka terdakwa dijatuhi pidana penjara sebagai pengganti," pungkasnya.
Selain itu, mengerucut pas hak transportasi korban, Kajari Inhu memberi ruang yang seluas-luasnya kepada pihak untuk menerima aspirasi tuntutan dari pihak korban terhadap pelaku tindak pidanan.
Namun begitu, bukan menjadi sesuatu yang mutlak akan dituntut sama persis dengan yang diharapkan pihak korban. Hal ini tentu tetap mempertimbangkan sesuai fakta dipersidangan. "Hasilnya paling tidak mendekati dari apa yang diharapkan pihak korban agar tercapai wujud transparasi dan kepercayaan kalau tuntutan yang akan dibacakan oleh JPU sudah mewakili keinginan korban.
Karena secara teoritis, dalam sistem peradilan Pidana, kepentingan korban diwakili oleh jaksa penuntut umum sebagai bagian dari perlindungan masyarakat dan wujud dari pelayanan negara terhadap masyarakat.
Tetapi dalam prakteknya, pemahaman tersebut selama ini kurang dimaknai secara menyeluruh. Hal itu dibuktikan di dalam beberapa perkara lain, terkadang tuntutan yang dibacakan JPU tidak sesuai dengan harapan korban.
Terakhir, menyoal hak atas kejelasan status barang bukti milik korban. Secara teoritis pengembalian barang bukti dapat diambil setelah menunggu putusan inkracht, yang mana hal tersebut tentu memakan waktu selama proses persidangan, sehingga barang bukti milik korban tindak pidana tidak dapat dimanfaatkan dan di pergunakan sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, terobosan pengembalian barang bukti pada saat proses tahap dua terhadap barang bukti yang sudah jelas-jelas merupakan milik korban tindak pidana. Sehingga korban mendapatkan kepastian akan barang dengan catatan apabila diperlukan dalam proses persidangan korban bersedia untuk menghadirkan. (Dan/LK)
Komentar