Pilkada dan Hasrat untuk Berkuasa Potret di Kabupaten Indragiri Hulu

Daftar Isi


    Foto: Dosen dan penggiat masalah sosial budaya, Afrizal, S. Fil. M. Fil. M. A 


    Lancang Kuning, INHU - Tidak lama lagi, dalam hitungan hari rakyat Indonesia umumnya dan masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau khusunya akan menyelenggarakan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada).  

    Terdapat 270 daerah yang terdiri dari 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota akan melakukan pemilihan pada tanggal 9 Desember 2020, yang didalamnya termasuk Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau.

    Pilkada dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainya, dimana konsep hasrat untuk berkuasa (the will to power) adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian ilmuwan dan minat manusia. 

    Setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang hasrat untuk berkuasa. Pertama, kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas. Kedua, sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature o f reality). 

    Ketiga, sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such). Ketiga makna itu bisa disingkat sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari dimensi yang paling gelap. Dalam bahasa filosof Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah 

    “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tidak punya pertimbangan, dan tidak dapat dihancurkan.” Bisa dikatakan ketika berbicara tentang hasrat untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filosof monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. 

    Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. 
    Jadi seluruh realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari hasrat untuk berkuasa. 

    Ia ada di dalam kesadaran sekaligus ketidaksadaran diri para calon. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual para calon. Yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini lahir dari hasrat untuk berkuasa itu sendiri. 

    Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, calon Bupati dan Wakil Bupati bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) antara Pilkada dengan hasrat untuk berkuasa di Kabupaten Indragiri Hulu. Pilkada menjadi bermakna karena para calon kepala daerah ini, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).

    Sebagai calon kepala daerah Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau harus belajar melihat alam beserta isinya tidak selalu dari kaca mata diri sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, Pilkada ini tidak serta merta adalah hasrat untuk berkuasa dan menguasai. 

    Sebab hasrat berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup dan kehidupan manusia itu sendiri.” Sebagai bagian dari ranah demokratisasi adalah pilkada yang dimotori hasrat untuk berkuasa, adalah calon kepala daerah harus berpikir dan berpandangan sebagai mahkluk rasional, jangan sebagai mahkluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya dari dunia hasrat dan birahi kekuasaan. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity). 

    Artinya ketika melakukan perhelatan pilkada dan hasrat untuk berkuasa, calon kepala daerah Kabupaten Indragiri Hulu harus bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kebersamaan. 

    Pilkada dan hasrat untuk berkuasa, akan mempertontonkan kepada masyarakat dan dapat digunakan untuk memahami realitas yang terjadi di daerah Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau dalam memperebutkan kekuasaan.  

    Di tengah “hiruk-pikuknya” memperebutkan keuasaan agar bisa duduk di kursi Bupati dan Wakil Bupati, hal substansi yang perlu dimengerti para calon adalah kehidupan ditengah masyarakat saat Covid-19 yang tidak stabil dan memprihatinkan.

    Ada masyarakat yang memilih untuk putus asa, dan kemudian acuh tidak acuh terhadap persoalan pilkada, yang pada akhirnya melarikan diri ke berbagai “candu”. Namun di balik itu, masih ada masyarakat yang optimis, menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan absurditas pilkada itu sendiri. 

    Pilkada dan hasrat untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa mencakup sikap merayakan kehidupan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan pada energi-energi mabuk khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. 

    Di sisi lain konsep ini juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritik terhadap zaman modern, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang tidak lagi patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. 

    Hal substantif penting lainnya yang harus di pahamai para calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Indragiri Hulu adalah pilkada dan konsep hasrat untuk berkuasa, sesungguhnya ingin membongkar kemunafikan manusia, yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura lugu, karena alasan-alasan moral. 

    Penolakan tersebut, akan lebih menciptakan ketegangan bathin di dalam diri para calon, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri, berhubung ada sesuatu yang “disembunyikan”. Ucapannya menolak politik uang (money politic), menolak cara yang tidak beradab, tidak Jurdil, akan tetapi menghasratinya. 

    Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia sebelum hari pencoblosan 9 desember 2020. 

    Para Calon Bupati dan Wakil Bupati harus mampu untuk menerima diri apa adanya, menolak bentuk-bentuk kemunafikan sebagai manusia, jujur dalam berucap dan transaparan dalam tindakan, bahkan mengutuk cara-cara yang tidak beradab dalam mencari kekuasaan. 

    Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta dan mendidik masyarakat dalam memahami kekuasaan. Semoga! (LK)

    Penulis: Dosen dan penggiat masalah sosial budaya, Afrizal, S. Fil. M. Fil. M. A 

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Pilkada dan Hasrat untuk Berkuasa Potret di Kabupaten Indragiri Hulu
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar