Menangkal Sebaran Radikalisme dalam Pilkada

Daftar Isi


    Foto: Afrizal, S. Fil. M. Fil. M. A  (Dosen dan penggiat masalah sosial budaya)
     

    Lancang Kuning, INHU - Secara sederhana radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis dan kekerasan, yang  kemudian diartikan juga sebagai faham yang menginginkan perubahan besar. 

    Baca Juga: Bupati Inhil Tandatangani KUPA dan PPAS ABPD Perubahan Tahun 2020

    Menurut Horace M Kallen, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung, dimana respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ideologi, lembaga, atau nilai-nilai yang berjalan dalam kehidupan masyarakat, negara atau bangsa. 

    Baca Juga: Difasilitasi Dinkes, Kini FKS Inhil Punya Sekretariat

    Radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. 

    Baca Juga: Makanan Khas Pekanbaru

    Mereka yang radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan. Kita lihat teori ini sedikit banyak pembenarannya tatkala terjadi konflik atas nama pemilihan dan aksi kekerasan di mana-mana. 

    Baca Juga: Tempat Wisata di Riau

    Pandangan ini tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa calon dan semuanya berakar pada radikalisme dalam penghayatan mereka. Secara teoretis, radikalisme muncul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan dari masing-masing calon tertentu agar daerah mereka diubah dan ditata sesuai dengan doktrin dan kemauan mereka.

    Karena itulah, dalam perhelatan pilkada ini masing-masing calon dan politisi harus hadir dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebab bentuk-bentuk radikalisme yang dipraktikkan oleh sebagian masyarakat seharusnya tidak sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan daerah. 

    Pluralisme tetap menjadi komitmen semua untuk membangun daerah yang modern dan demokratis, yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis secara damai. Pluralisme adalah simbol bagi susksesnya kehidupan masyarakat majemuk. Karena itu, keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat tetap terjaga sebagai keyakinan yang tidak melampaui batas dan etika.

    Artinya, bagaimanapun agama sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual umat, tetapi segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan daerah yang damai, tentram dan menyejukkan. 

    Ada 5 hal yang harus diperhatikan oleh para calon kepala daerah sebagai pemimpin masa depan, dalam menelaah maraknya ajaran radikalisme. Sebab kesalahan yang berulang-ulang terhadap kajian kelompok radikalis, tidak akan mengurangi angka pengikut mereka, bahkan cenderung kian bertambah. Sehingga untuk meminimalisir kelompok-kelompok radikalis di berbagai daerah tidak semata-mata dilihat secara faktor ajaran agama an sich. 

    Pertama yang harus di mengerti oleh calon kepala daerah dalam pilkada adalah kemunculan kelompok-kelompok radikalis, oleh karena kemiskinan dan pengangguran. Problematika ekonomi dapat merubah sifat seseorang yang awalnya baik menjadi orang yang kejam. Karena dalam keadaan terdesak atau himpitan ekonomi, apapun bisa manusia lakukan, anarkis dan juga teror. Asusmsi yang mereka bangun bahwasannya perputaran ekonomi hanya dirasakan oleh yang kaya semata, yang menyebabkan semakin curamnya jurang kemiskinan, yang berakibat mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal yang diluar nalar kemanusiaan.

    Akan tetapi bagaian pertama ini, sering di gunakan para calon sebagai alat ampuh untuk mendulang suara serta memobilisasi massa yang berakibat fatal terhadap damai dan sejuknya pelaksanaan pilkada. Jika hal ini dilakukan calon kepala daerah, maka mereka identik dengan radikalis dan menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan serta tidak beretika dalam pelaksanaan pilkada. 

    Kedua  pemimpin yang adil. Artinya calon pemimpin yang memihak kepada masyarakat, dan tidak hanya sekedar menjanjikan kemakmuran, akan tetapi para calon kepala daerah mengerti betul bahwa keadilan adalah impian semua warga masyarakat. Namun jika para calon kepala daerah itu menggunakan politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan, maka akan timbul kelompok-kelompok masyarakat yang akan menamakan dirinya sebagai penegak keadilan, baik kelompok dari sosial, agama maupun politik, yang mana kelompok-kelompok tersebut dapat saling menghancurkan satu sama lain. 

    Semisal dalam kelompok beragama adalah golongan khawarij yang lahir pada masa kholifah Ali bin Abi Tholib  yang disebabkan oleh ketidak stabilan politik pada masa itu, sehingga muncullah golongan syi’ah dan khawarij yang merasa paling benar sendiri dan saling menjastifikasi dan saling mengkafirkan satu sama lain.

    Ketiga yang harus dipahami oleh masing-masing calon kepala daerah terhadap sebaran radikalisme adalah faktor sosial. Faktor sosial ini masih ada hubungannya dengan faktor ekonomi. Ekonomi masyarakat yang amat rendah membuat mereka berfikir sempit, yang pada akhirnya mereka mencari perlindungan kepada ulama yang sepaham atau satu aliran dengan pemikiran kelompok radikalis ini.

    Mereka berasumsi akan mendapat perlindungan dan pertolongan dari para ulama satu aliran dengan mereka tersebut. Dimulai dari situ masyarakat sudah bercerai berai, banyak golongan-golongan agama yang radikalis bermunculan. Sehingga citra agama yang seharusnya sebagai penyejuk, harmoni dan lembut itu hilang.

    Keempat, dari sebab kemunculan radikalisme adalah faktor psikologis. Pengalaman seseorang yang mengalami kepahitan dalam hidupnya, seperti  kegagalan dalam karier, permasalahan keluarga, tekanan batin, serta kebencian dan dendam. Hal-hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk berbuat penyimpangan dan anarkis. 

    Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Karena dalam keadaan seperti itu mereka sangat rentan dan mudah terpengaruh. 

    Dalam pilkada kali ini adalah calon kepala daerah tidak boleh menghindar terprovokasi, diam seribu bahasa terhadap mereka yang mendapat tekanan sikologis ini. Temu ramah para calon di tengah-tengah kehidupan mereka sangat bisa meminimalisir akan kemunculan sempalan-sempalan radikalisme, dimana dengan hadirnya calon kepala daerah pada mereka bisa memberi kesejukan, solusi, dan angin segar bagi kehidupan mereka kedepannya. 

    Kelima yang perlu di perhatikan dalam helatan pilkada ini terhadap kemunculan kelompok radikalisme ini adalah fakator pendidikan dan haus akan kekuasaan. Artinya radikalisme dapat terjadi dikarenakan melalui pendidikan yang salah dan birahi kekuasaan yang memuncak. Semisal belakangan ini ada dosen sebagai transformasi ilmiah kepada mahasiswa, calon kepala daerah sebagai calon pemimpin dan penegak keadilan di tengah masyarakat, yang “terbius” oleh kelompok-kelompok radikalis ini. 

    Dengan tidak menjastifikasi, tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi kekerasan dan kebrutalan adalah “aktor-aktor” yang haus akan kekuasaan guna menduduki orang nomor satu di daerah mereka, yang kebenaran pemahaman etika perpilitikan mereka sangat dangkal dengan memotret lima faktor tersebut terhadap bahaya radikalisme dalam pilkada, sudah seharusnya para calon kepala daerah menata diri dan berpikir ilmiah guna meminimalisir bertambahnya pengikut kelompok radikalis di daerah.

    Seyogyanya para calon melalui kondisi dan hasil kemajuan ilmu pengetahuan membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada masyarakat dalam perhelatan pilkada ini. Akan tetapi, jika para calon kepala daerah ikut brutal dan menggunakan semua cara untuk mendapatkan kekuasaan serta radikal, maka kebahagiaan hidup masyarakat itu semakin jauh, hidup semakin sulit dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Parahnya lagi, beban jiwa masyarakat semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan, yang menyebabkan sebagian masyarakat lari dari kebisingan dan kehidupan yang ada, lebih suka menyendiri, yang pada akhirnya tidak sulit di ajak ikut oleh kelompok radikalis bersama mereka.

    Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong, dan kasih sayang sudah tertutup oleh keinginan untuk berkuasa serta penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling menjatuhkan antar para calon, sudah sangat memprihatinkan dalam pelaksanaan pilkada ini. 

    Di sana sini banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, mengambil hak orang lain, sesuka hati dan perbuatan-perbuatan biadab lainya. Gejala kemerosotan akhlak para calon kepala daerah sudah mulai terasa belakangan ini. Hal-hal semacam ini harus diperhatikan oleh semua pihak yang terlibat dalam perhelatan pilkada kali ini, guna merekonstruksi dan menangkal sebaran paham radikal dimaksud. (Rilis/LK)

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Menangkal Sebaran Radikalisme dalam Pilkada
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar

    Berita Terkait