Daftar Isi
LancangKuning -Bantuan sosial (bansos) kini menjadi senjata utama pemerintahan Jokowi untuk menggerakkan lagi roda perekonomian dalam negeri yang hancur dihantam pandemi virus corona. Dengan bansos, pemerintah berharap konsumsi masyarakat kembali menggeliat dan laju ekonomi terjaga.
Tak ayal, total dana yang dikucurkan untuk bansos paling banyak di antara sektor lainnya dalam penanganan pandemi. Jumlahnya mencapai Rp203,91 triliun atau 29,3 persen dari total alokasi anggaran Rp695,2 triliun.
Sayang, realisasinya masih lambat. Per 7 Agustus 2020, dana yang terpakai untuk bansos belum mencapai setengahnya atau baru 48,8 persen dari total alokasi.
Artinya, pemerintah baru menyalurkan bansos sebesar Rp86,45 triliun. Rinciannya, untuk program keluarga harapan (PKH) sebesar Rp26,6 triliun, kartu sembako Rp25,8 triliun, dan bantuan sembako Jabodetabek Rp3,2 triliun.
Kemudian, bantuan tunai non Jabodetabek Rp16,5 triliun, program kartu pra kerja Rp2,4 triliun, diskon listrik Rp3,1 triliun, dan bantuan langsung tunai (BLT) dana desa Rp8,8 triliun.
Baca Juga : Anak Muda Pengguna Vape 5 Kali Lebih Beresiko Tertular Virus Corona
Lambannya pencairan bansos ini berdampak buruk pada tingkat konsumsi masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi masyarakat ambruk hingga minus 5,51 persen pada kuartal II 2020.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berkali-kali memarahi 'anak buahnya' dalam rapat di Kompleks Istana Kepresidenan. Ia geram melihat lambannya penyerapan dana di tengah krisis pandemi virus corona.
Padahal, dana penanganan virus corona diharapkan dapat memperbanyak uang beredar di masyarakat. Dengan cara itu, daya beli masyarakat bisa meningkat.
Kalau bicara bansos, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah kesulitan dalam penyalurannya. Salah satu persoalan utamanya karena masalah data yang masih tumpang tindih antara masing-masing kementerian/lembaga (k/l) di pusat dan daerah.
Bisa dibilang ini masalah klasik yang selalu terjadi dalam penyaluran bansos. Selama 75 tahun Indonesia merdeka, data kemiskinan masih saja sulit diverifikasi validitasnya.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan data yang dimiliki pemerintah saat ini memang masih semrawut atau acak-acakan. Tak heran, penyaluran bansos menjadi lambat atau bahkan sering salah sasaran.
Baca Juga : Hubungan Dengan Aurel Disebut Setingan, Ini Kata Atta Halilintar
"Data yang digunakan adalah data lama. Padahal, kemiskinan itu dinamis, apalagi di tengah pandemi. Banyak orang miskin baru tetapi data yang dipakai data lama, data 2015," ungkap Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (12/8).
Bhima menerangkan jumlah orang miskin selalu berubah setiap tahunnya. Jika data tidak diperbarui selama bertahun-tahun, penyaluran bansos tidak akan optimal.
Orang yang seharusnya dapat bansos bisa jadi tak mendapatkan bantuan tersebut. Sebaliknya, pemerintah justru memberikan bantuan kepada orang yang sebenarnya tidak membutuhkan atau orang yang mampu secara finansial.
"Dari 2015 ke 2020 itu mungkin ada yang dulunya miskin tapi sudah keluar dari garis kemiskinan. Tapi banyak juga masyarakat kelas menengah jatuh menjadi miskin. Ini yang belum berhasil ditangkap pemerintah," ujar Bhima.
Pendapat Bhima sejalan dengan pernyataan Menteri Sosial Juliari Batubara beberapa waktu lalu. Juliari mengakui ada 92 kabupaten/kota yang tak memperbarui data kemiskinan penduduk sejak 2015.
Sementara, 319 kabupaten/kota lainnya memperbarui data jumlah orang miskin di wilayahnya, tetapi tidak sampai 50 persen. Artinya, mayoritas data kemiskinan di 319 kabupaten/kota itu masih data lama.
Lalu, ada 103 kabupaten/kota yang memperbarui data kemiskinan di masing-masing wilayah yang melebihi 50 persen. Dengan kata lain, sebagian besar datanya saat ini adalah yang terbaru.
"Jadi, kalau diklasifikasikan kemiskinan paling parah ada di 92 kabupaten/kota, setengah parah 319 kabupaten/kota, yang lumayan 103 kabupaten/kota. Ini kondisi yang kami hadapi sekarang," ungkap Juliari.
Data Berantakan
Melihat fenomena ini, Bhima memandang masing-masing kementerian/lembaga baik di pusat dan daerah memang selalu memiliki ego sektoral dan kepentingan masing-masing. Dengan begitu, masing-masing daerah baru akan memperbarui data jika memang sesuai dengan kepentingannya.
"Ada ego sektoral karena masing-masing punya kepentingan terkait data kemiskinan. Data kemiskinan berantakan," ucap Bhima.
Terbukti, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan beberapa kepala daerah biasanya akan mengubah data jumlah orang miskin jelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Jumlah orang miskin akan lebih tinggi dari sebelumnya.
Namun, ketika kepala daerah itu kembali terpilih, mereka akan berusaha menurunkannya secara drastis. Dengan demikian, hal itu akan menjadi prestasi bagi kepala daerah.
Situasi ini yang menambah masalah bagi pemerintah dalam mengumpulkan data kemiskinan. Padahal, pemerintah pusat sangat membutuhkan kerja sama dari daerah dalam melakukan pendataan terkait tingkat kemiskinan.
Baca Juga : Kasus Virus Corona Melonjak, IDI Sarankan Strategi Ekstriem
Senada, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan data masih menjadi persoalan utama karena banyak pemda yang tak memperbarui jumlah orang miskin di wilayahnya. Menurutnya, pemerintah daerah kekurangan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur dalam memperbarui data tersebut.
"Apalagi pandemi, harus terjun ke lapangan untuk cek data misalnya ke kelurahan. Itu berjenjang. Tapi ini kan di tengah pandemi jadi sulit," kata Fithra.
Selain itu koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah juga terbilang kacau. Tak heran, penyaluran bansos kerap salah sasaran.
Sebagai contoh, Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur sempat menarik kembali pemberian 874 paket bansos kepada masyarakat yang terdampak pandemi virus corona. Wali Kota Jaktim M Anwar pada April 2020 lalu mengatakan masih ada warga mampu yang menerima bansos.
"Masih ada warga mampu yang menerima bansos, sehingga bantuan tersebut harus ditarik untuk kemudian disalurkan ke yang membutuhkan," ucap Anwar.
Tak hanya itu, sejumlah warga di Kelapa Gading, Jakarta Utara juga pernah mengembalikan bansos yang diterima dari pemerintah pada April 2020 lalu. Bansos dikembalikan karena mereka masih mampu secara finansial menghadapi dampak pandemi.
Fithra bilang fenomena ini seharusnya tak terjadi jika data yang dimiliki pemerintah akurat dan selalu diperbarui secara berkala. Jika terus begini, warga miskin yang seharusnya menerima bansos bisa-bisa tak mencicipi satu persen pun bantuan pemerintah.
Komentar