Daftar Isi
Foto: Khofifah dan Risma. (Pantau.com)
Lancang Kuning, SURABAYA -- Pilkada Surabaya 2020 diprediksi jadi ajang adu kuat pengaruh antara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Kepentingan koordinasi provinsi dengan kota serta keberlanjutan program jadi alasannya.
Dua politikus di Jatim itu sebelumnya dikenang dengan rangkaian drama cekcok, langsung atau lewat bawahannya, terutama dalam penanganan Covid-19.
Khofifah sempat menuduh Pemkot Surabaya lamban dalam merespons penyebaran Corona klaster pabrik PT. H.M Sampoerna, pada awal Mei. Wakil Koordinator Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 M Fikser meresponsnya dengan menyatakan telah bertindak cepat.
Pada Mei, Risma sempat meradang karena mobil tes Polymerase Chain Reaction (PCR) Covid-19 dipakai oleh Pemprov Jatim. Padahal, kata dia, pihaknya sudah jauh-jauh hari memesannya dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Gugus Tugas Covid-19 Jatim mengklaim memesannya lebih dulu.
Khofifah dan Risma juga sempat beda suara soal penerapan new normal pada Mei. Saat Gubernur Jatim berancang-ancang menerapkannya, Risma menyebut itu belum saatnya dengan alasan tenaga medis masih berjuang. Ujungnya, Risma meminta Khofifah tak lagi menerapkan PSBB di Surabaya.
Pada Juni, Khofifah, dengan menggunakan survei Unair, sempat menyentil Surabaya sebagai wilayah dengan kepatuhan rendah terhadap penggunaan masker dan protokol kesehatan lainnya. Risma membantahnya secara terpisah dan meminta pewarta melihat kondisinya di jalanan.
Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam, menduga perseteruan kedua politikus ini sudah terjadi sejak Pilgub Jatim 2018. Ketika itu, Risma lebih memilih mendukung Saifullah Yusuf (Gus Ipul) ketimbang pasangan Khofifah-Emil Dardak.
"Sebenarnya antar dua ibu itu (Khofifah dan Risma) memang sejak awal ada barrier yang memang agak berat untuk dicairkan, sejak Pilgub Jatim," kata Surokim, kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/7).
Ia pun tak heran perseteruan keduanya berlanjut setelah itu. Termasuk, dalam hal koordinasi pada penanganan Covid-19 antara Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya.
Saat Pilkada Surabaya 2020 tiba, lanjut Surokim, kedua pihak memiliki kepentingannya masing-masing. Bentuknya, pemberian dukungan kepada calon tertentu yang dianggap merepresentasikan kepentingannya.
Khofifah, kata dia, tentunya akan mendukung calon yang dianggap bisa bekerja sama dengan Pemprov Jatim jika kelak memimpin Surabaya.
"Menurut saya, Bu Khofifah akan tiba waktunya untuk menunjukkan jagonya," ujar Surokim.
"Karena beliau tentu punya kepentingan untuk meharmoniskan antara Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya. Apalagi peran Pemkot Surabaya sendiri dalam konstelasi Pemerintah Provinsi Jatim, itu kan juga signifikan," imbuh dia.
Surokim menyebut Khofifah berpotensi bakal merapat ke salah satu poros kandidat yang saat ini sudah terbentuk, yakni Machfud Arifin (MA), yang merupakan Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jatim untuk Joko Widodo - KH Ma'ruf Amin saat Pilpres 2019.
Saat ini, MA, yang juga mantan Kapolda Jatim, telah mengantongi surat rekomendasi pencalonan alias rekom dari sejumlah partai, yakni Partai NasDem, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerindra, dan Partai Demokrat.
Apalagi, orang dekat Khofifah sendiri, yakni KH Zahrul Azhar Asad (Gus Hans), saat ini santer disebut bakal menjadi bakal calon wakil wali kota berpasangan dengan MA.
Gus Hans adalah Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, Paterongan, Jombang. Ia merupakan juru bicara pasangan calon gubernur-wakil gubernur Jawa Timur, Khofifah-Emil di Pilgub Jatim 2018.
"Sejauh yang saya amati orang dekat beliau yang daya tawarnya paling kuat saat ini ya Gus Hans," ujar Surokim.
"Jika Gus Hans tidak dapat rekom, menurut saya beliau (Khofifah) akan mendukung kandidat yang bisa menjamin komunikasi dan koordinasi antara pemkot dan pemprov bisa lebih baik. Termasuk peluang mendukung pak MA juga cukup terbuka," urainya.
Sementara, kata Surokim, Risma memiliki kepentingan keberlanjutan program-programnya saat sudah tak bisa lagi mencalonkan diri sebagai Wali Kota Surabaya.
"Bu Risma pun juga sama. Untuk menjamin keberlanjutan program-program beliau, kan pasti beliau pasti menyiapkan jago juga," kata dia, yang juga peneliti di Surabaya Survei Center (SSC) itu.
Soal calo yang didukung, Surokim memprediksi Risma bakal merapat kepada siapapun yang bakal diusung oleh partainya, PDI-Perjuangan. Sementara, Banteng saat ini belum menentukan jagonya. Atau, lanjutnya, Risma akan mendorong orang dekatnya di birokrasi.
Dari pihak PDIP, lanjutnya, ada Whisnu Sakti Buana, yang kini menjabat Wakil Wali Kota Surabaya, yang merupakan kader murni PDIP. Dari kalangan birokrat, ada Kepala badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Eri Cahyadi.
"Ada Eri Cahyadi yang juga orang dekat Bu Risma, di sisi lain Mas Wishnu yang merupakan kader pure PDIP, ada dua faksi ini," katanya.
Terlepas dari kepentingan Risma dan Khofifah, Surokim menyebut Pilkada Surabaya 2020 tetap bakal dipengaruhi oleh kekuatan politik nasional serta kepentingan para pengusaha.
"Saya bilang Pilkada Surabaya ini kan pilkada liga 1 Indonesia, sehingga kepentingan yang bermain di sana tidak hanya urusan provinsi, atau kota, tapi juga pusat," ujarnya.
"Belum lagi kehadiran kepentingan-kepentingan non politik, kepentingan ekonomi pasti juga dilihat apalagi, sumbangsih Surabaya itu cukup signifikan menjadi wilayah yang bagi banyak pelaku ekonomi juga amat strategis," pungkasnya. (LK)
Komentar