Daftar Isi
Foto: Penyakit Tifus. (http://www.info-kes.com)
Lancang Kuning – Selama Perang Dunia II berkecamuk, pandemi tifus menyerang Polandia. Para dokter Yahudi membantu menghentikan penyakit yang bisa menular dengan cepat tersebut serta menyelamatkan nyawa ribuan manusia kala itu.
Mengutip situs Live Science, Senin, 27 Juli 2020, lebih dari 400 ribu orang Yahudi tinggal berdesakan dalam sebuah kamp khusus atau ghetto berukuran 3,4 kilometer.
Kepadatan yang berlebihan ini membuat unsur-unsur pandemi dan juga kelaparan. Puncaknya pada 1941, di mana penyebaran tifus menjadi tidak terkendali, yang seharusnya bisa menghancurkan mereka semua di ghetto.
Namun, menurut sebuah studi, wabah itu menurun secara drastis pada Oktober tahun yang sama. Para dokter Yahudi berhasil mengakhiri epidemi lebih cepat, menyelamatkan 100 ribu orang dari infeksi dan mencegah kematian puluhan ribu orang lainnya.
Kemudian, pada November masih di tahun yang sama muncul kasus baru tifus tetapi turun 40 persen dari kasus sebelumnya.
Saat wabah tifus mereda hanya 10 persen dari populasi yang terinfeksi, menurut studi yang diterbitkan dalam Jurnal Science Advances.
Kamp khusus Yahudi.
Kamp khusus Yahudi di Warsawa, Polandia.
Tifus disebabkan oleh bakteri Rickettsia prowazekii yang ditularkan oleh kutu yang terinfeksi atau kutu yang berpindah dari orang ke orang.
Ciri-ciri terkena pandemi ini antara lain demam tinggi, menggigil, batuk, dan nyeri otot yang parah. Sebanyak 40 persen menjadi fatal jika tidak diobati. Tifus bisa muncul ketika orang-orang hidup dalam lingkungan yang padat dengan tingkat kebersihan yang buruk.
Demikian pula yang terjadi di kamp khusus atau ghetto di Warsawa, Polandia. Semua penduduk Yahudi di Warsawa dan beberapa ribu orang dari Jerman dipindah paksa pada November 1940.
Tak hanya padat namun terjadi kelangkaan air, sabun, dan makanan di ghetto tersebut. Diperkirakan ada 83 ribu orang Yahudi meninggal dunia akibat kelaparan.
Yang mengejutkan adalah banyak dokter berpengalaman turut menjadi narapidana di ghetto. Mereka melakukan social distancing atau jaga jarak serta lockdown atau karantina bagi yang terinfeksi.
Selain itu, mereka juga memberi edukasi tentang bahaya penyakit dan melatih mahasiswa kedokteran secara diam-diam. "Pada akhirnya upaya gigih para dokter Yahudi untuk mengakhiri pandemi tifus dari masyarakat terbayar lunas," kata Kepala Peneliti Lewi Stone. (LK)
Komentar