Kisah Milenial Pengusaha Sedotan Bambu, Ekspor ke Eropa, Asia dan Australia

Daftar Isi

    LancangKuning.com - Fahmi Ali Mufti (24) tak menyangka produk sedotan bambu besutannya bakal mendunia hingga Eropa dan Australia. Pemuda milineal kelahiran Desa Kedondong, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun , Jawa Timur, itu awalnya hanya ingin membuat produk lokal yang dapat memberdayakan para santri pesantren milik keluarga yang didukung. 

    Gayung bersambut, berbekal ketekunan dan dukungan para santri, sedotan bambu buatan Fahmi makin hari makin diminati. Apalagi, setelah Fahmi menghadiri acara talk show  stasiun televisi, pesanannya semakin banyak dari berbagai daerah. Bisnis sedotan bambu Sapu Jagad milik putra kedua pasangan Muhtarom dan Irtiqiyah Himmatin bermula saat bertemu dengan saudara-saudaranya di Pesantren Al Huda Setemon, Desa Kebonsari, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur enam bulan lalu. 

    "Mulai saya bersama saudara-saudara yang berdiskusi untuk membuat usaha dengan memberdayakan para santri di pesantren," kata Fahmi, kepada Kompas.com , Jumat (24/1/2020) lalu. 

    Lantaran banyak pohon bambu subur di lingkungannya, lalu tercetus membuat kerajinan dari bambu. Hanya saja, kerajinan bambu yang dikembangkan saat ini sudah mulai dari mainan. Setelah berdiskusi lama, akhirnya muncul ide membuat sedotan dari bambu. Tak lama kemudian, tim mencari bahan baku lalu membuat sedotan bambu. 

    Namun, sedotan bambu lulus Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Prodi Perbankan Syariah mulanya tidak bisa masuk karena jenis bambunya yang tidak sesuai dengan selera pasar. Setelah berdiskusi dengan peserta, ia memberikan saran untuk membuat sedotan bambu dari bambu wuluh (bambu yang sering digunakan untuk membuat alat musik suling).

    Setelah jadi, ia membangun jaringan dengan membahas usaha yang ditekuni kepada saudara-saudaranya di Surabaya. Mendengar cerita Fahmi, saudaranya memintanya membuat contoh produk sedotan bambu.

    "Setelah sampel produk saya kirimkan, mereka (pengekspor) datang langsung ke tempat saya untuk melihat proses produksi sedotan bambu," kata Fahmi. 

    Pengusaha asal surabaya itu datang melihat langsung untuk mengecek apakah produk sedotan bambunya masuk dalam kategori pasar ekspor atau sebaliknya. Saat itu, timnya sudah menyiapkan 4.000 batang sedotan bambu.  Setelah disortir pengusaha tersebut, sedotan bambu yang bisa dijual ke pasaran ekspor Korea hanya lima batang saja.

    "Sedotan bambu yang masuk sesuai dengan kategori mereka harus melampaui baik itu panjang, kehalusan, hingga teksturnya," kata Fahmi. 

    Dari lima batang sedotan bambu yang lulus uji kualitas ekspor itu, Fahmi dan timnya mengambil pelajaran yang berharga. Ia bersama timnya bekerja keras untuk membuat sedotan bambu yang sesuai dengan spesifikasi ekspor.  Bahkan, pengusaha asal Surabaya itu memintanya membuat contoh 1.000 batang bambu untuk waktu dua minggu. Tak sampai dua minggu, seribu batang sedotan bambu yang dikirim sebagai contoh produk ekspor diterima timnya dalam waktu dua hari. 

    Andalkan santri

    Untuk membuat produk bambu berkualitas, Fahmi tak hanya mengandalkan warga sekitar saja. Ia meminta sumbangan senior Pondok Pesantren Al Huda Kebonsari milik keluarga besarnya.

    "Setiap bantuan ada sekitar 15 hingga 20 santri yang membantu kami membuat sedotan bambu," kata Fahmi. 

    Setelah sampel 1.000 sedotan bambu dikirim ke Korea. Dengan demikian, seribu batang sedotan bambu besutan santri Madiun diterima di pasar Korea Selatan mulai awal November 2019.  Di Korea, satu batang sedotan bambu buatannya dijual Rp 13.000.

    Sementara saat membeli di Madiun, satu paket berisi tiga sedotan bambu dijual Rp 10.000.  Namun, jika sedotan bambunya digrafir tulisan maka satu paket berisi tiga buah sedotan bambu harganya menjadi Rp 20.000. Sementara, bila membeli grosir, per batang sedotan bambu dijual Rp 1.500. Hanya saja minimal pembeliannya di atas 2.000 batang.

    "Tapi kalau belinya cuma 100 batang maka harganya agak mahal menjadi Rp 2.000 perbatang. Padahal kalau cuma mau beli satu atau dua batang kami beli Rp 5.000 per batangnya" ungkap Fahmi.

    Berhasil dipasarkan di daratan Korea, Fahmi tak berpuas diri. Pria yang masih bujang ini berusaha memasarkan produknya di Australia.

    "Mulai ekspor ke Australia akhir Desember 2019 lalu. Kami juga membeli ke Jepang dan Prancis," kata Fahmi.

    Ekspor belasan ribu Dalam satu bulan, Fahmi bisa memindahkan dua kali ke luar negeri. Jumlah yang diterima 10.000 hingga 15.000 sekali kirim.  Untuk pasar nasional, sedotan bambunya banyak diminati pembeli dari Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah hingga Bali.  Fahmi optimistis produk sedotan bambunya akan semakin berkembang kendati banyak persaingan pembuatan sedotan bambu di luar Madiun. Agar bisnis sedotan bambunya terus berkembang, timnya selalu mengutamakan kualitas produk.

    Pemuda kelahiran Madiun, 28 Desember 1995 juga tak sembarang memilih nama merek pada sedotan bambunya. Ia memberi nama Sapu Jagat pada merek sedotan bambunya karena teringat doa sapu jagad yang sering dikunjungi orangtuanya.  Tak hanya mengandalkan ekspor, Fahmi bersama timnya akan menawarkan produk sedotan bambunya ke lembaga pemerintah, hotel dan restoran. Langkah itu dilakukan juga bagian bentuk kampanye mengurangi plastik.

    "Kami juga mengandalkan media sosial dan pasar untuk menjual produk sedotan bambu," kata Fahmi.

    Selain ramah lingkungan, sedotan bambu besutannya juga memiliki keunggulan lainnya dibandingkan dengan sedotan plastik. Sedotan bambunya setelah selesai rupanya memiliki serat yang bisa difungsikan dengan air minum.  Ia mengklaim sedotan bambu bisa dipakai hingga satu tahun.

    Hanya saja di Korea, sedotan bambu biasa dipakai maksimal 12 kali pemakaian.  Dalam satu bulan, ia bisa meraih untung hingga Rp 90 jutaan. Manfaat itu bukan hanya manfaatnya saja dan hiburan saja. Santri yang ikut membantu juga diberikan ketidakseimbangan sesuai hasil yang dibantu. 

    Untuk bahan baku, Fahmi mengambil bambu dari petani di lereng Gunung Wilis. Hanya saja, untuk melibatkan bahan baku ia menggandeng petani dan pesantren agar menanam bambu wuluh.  Apalagi, dalam waktu tujuh bulan bambu itu sudah bisa dipanen dan bisa dijadikan bahan baku bambu sedotan. Sementara itu, Ivan Zulva, salah satu pengurus Pondok Pesantrem Al Huda mengatakan sentra produksi sedotan bambu banyak membantu santri untuk mandiri saat terjun ke masyarakat. 

    "Selain belajar mengaji, santri juga dibekali memproduksi sedotan bambu. Dengan demikian, saat mereka terjun ke masyarakat ada kemandirian ekonomi," kata dia. 

    Sedotan bambu yang dibuat para santri makin diminati di mancanegara. Hal itu terbukti semakin banyak pesanan sedotan bambu khas Kabupaten Madiun itu dari luar negeri. 

    "Di pasar lokal memang belum besar karena sedotan bambu baru ngetren di luar negeri. Saat ini produk kami sudah sampai Korea, Jepang, Australia dan Perancis," ujar Ivan.

    Sumber :  KOMPAS.com

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Kisah Milenial Pengusaha Sedotan Bambu, Ekspor ke Eropa, Asia dan Australia
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar