Masihkah BPJS Jadi Harapan Masyarakat Miskin?

Daftar Isi

    Lancangkuning.com - Opini oleh Alfikri Lubis (Koordinator Kebijakan Publik KAMMI Daerah Pekanbaru) 

    Pemerintah secara resmi telah menerbitkan aturan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan yang diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

    Peraturan Presiden yang telah dikeluarkan merupakan penyesuaian atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Ketentuan tarif iuran BPJS Kesehatan diatur dalam pasal 29 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

    Adapun rincian dalam Pasal 29 tersebut antara lain : Iuran bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah yaitu sebesar Rp42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan, sedangkan iuran bagi peserta PPU yang terdiri atas Pejabat Negara, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, PNS, Prajurit, Anggota Polri, kepala desa dan perangkat desa, dan pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h yaitu sebesar 5% (lima persen) dari gaji atau upah per bulan.

    PPU (Pekerja Penerima Upah) ini mencakup pegawai pemerintah pusat, pegawai pemerintah daerah, dan swasta.Besaran iuran tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2019.

    Di dalam Pasal 34 ayat (1) dijelaskan bahwa iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP sebesar  Rp 42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.

    Iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP sebesar Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II dan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP sebesar Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I. Besaran iuran tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.

    Jika kita lihat konsideran pendirian BPJS, yaitu sebagai sistem jaminan sosial nasional yang merupakan program negara dalam rangka memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.

    Maka untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

    Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara antara lain PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero), dan PT ASABRI (Persero) untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Namun, seiring berjalannya waktu kehadiran BPJS jutru mulai membebani rakyat.

    Bahkan sempat ada pernyataan orang miskin dilarang sakit dan orang tidak bayar iuran BPJS akan mendapatkan kesulitan mengurus administrasi publik.

    Sepertinya, era pemerintahan Jokowi tidak memiliki alternatif solusi untuk memberikan kesejahteraan dalam bidang kesehatan kepada rakyat selain dengan cara membebankan rakyat.

    Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan mengungkapkan alasan kenaikan iuran BPJS demi menutupi defisit keuangan yang ada.

    Ditambah lagi utang BPJS Kesehatan per akhir Oktober 2019 yang jatuh tempo mencapai Rp 21,1 Triliun.

    Macetnya pembayaran utang BPJS Kesehatan akan menimbulkan permasalahan serius.

    Permasalahan tersebut antara lain terkait dengan kinerja tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, bidan, dan pekerja rumah sakit lainnya; beserta keluarganya.

    Dampak lainnya yaitu terkait dengan pelayanan rumah sakit dan ketersediaan obat-obatan. Padahal tujuan negara ini didirikan termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 salah satunya yaitu untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

    Akankah kenaikan tarif iuran BPJS ini memicu gelombang penolakan dari rakyat? Adakah solusi lain dari Pemerintah agar tidak membebankan kenaikan tarif iuran BPJS ini kepada rakyat?

    Atau perlu rakyat melakukan penggalangan dana atau gerakan koin untuk membantu membayar tunggakan yang dialami oleh BPJS? Saya rasa itu perlu dipertimbangkan.

    Jika ingin menaikkan iuran BPJS, perlu dipertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat terutama masyarakat menengah kebawah. Mengingat kondisi saat ini adalah masih rendahnya tingkat pendapatan masyarakat.

    Harga karet, sawit dan sektor lain pendapatan masyarakat masih rendah sementara kebutuhan biaya hidup sangat mahal.

    Seharusnya kehadiran negara yang diwakili oleh BPJS Kesehatan bisa memastikan seluruh warga negara terutama kelas sosial menengah kebawah terlindungi oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.

    Kehadiran BPJS yang awalnya sebagai kesejahteraan justru saat ini menyengsarakan rakyat.

    Apalagi fakta pelayanan BPJS di lapangan belum maksimal bahkan cenderung terbengkalai. Rasanya sangat sulit ke depannya apabila BPJS atau Pemerintah itu sendiri yang memalak bahkan memaksa rakyat karena ketidaksanggupan pemerintah dalam menyelesaikan masalah kesejahteraan.

    Bukan tidak mungkin, rakyat akan semakin tercekik oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum matang tersebut. (*) 

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Masihkah BPJS Jadi Harapan Masyarakat Miskin?
    Sangat Suka

    100%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar