Daftar Isi
LancangKuning.com - Rabu 3 Nov 2019 jam 08.30 WIB Terjadi peristiwa ledakan yang diketahui bermula dari ledakan bom bunuh diri di Kantor Polisi restabes Medan. Informasi yang didapat, bom bunuh diri ini menggunakan baju ojek online yang masuk di pintu depan Polrestabes Medan.
Pelaku yang beranisial RMN (24 tahun), masuk ke Mako Polrestabes Medan dengan alasan untuk membuat SKCK dengan maksud unrtuk mendaftar CPNS. Sebelum peristiwa itu terjadi di Polrestabes, peristiwa seperti ini juga pernah terjadi pada :
- Kartasura terjadi Juni 2019 lalu,
- Kantor polresta Solo terjadi pada Juli 2016
- Kantor polres Poso terjadi pada Juni 2013
Lalu kenapa peristiwa ledakan bunuh diri sering terjadi di kantor polisi sebagai target teror? Menurut Harits Abu Ulya sebagai pemantau teroris peristiwa itu terjadi karena adanya dendam .
Baca juga : Totalitas Gfriend dan Kearifan Lokal Ala Buddy Indonesia
“mengenai dengan tindakan aparat polisi sebelumnya yang telah menangkap kawan mereka. Tindakan teroris ini Dianggap sebagai penghalang dari visi dan misi mereka. Mereka menganggap penangkapan pada kawan mereka adalah suatu tindakan tidak manusiawi," ujar Harits saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/11/2019). "
Saya melihat ini spiral kekerasan dan teror, yang triger-nya bisa jadi hubungan timbal balik antar kawanan pelaku dengan target di masa sebelumnya," imbuhnya. Selain itu, Harits juga memaparkan beberapa metode analisa kenapa selama ini aparat keamanan khususnya polisi atau markas polisi menjadi target kekerasan atau teror dari segelintir atau sekelompok orang.
Framework Rasional
Adapun metode analisa tersebut adalah framework rasional. Metodologi tersebut mengkaji korelasi antara teroris dan sasaran dalam aspek kesamaan-kepentingan, konflik kepentingan dan pola interaksi di antara keduanya. Dalam Framework ini, teroris dan sasaran terornya diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis.
Baca juga : Tempat Wisata di Riau
"Rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya dan semua aksi mencerminkan tujuan mereka," ujar dia. Strategis tersebut dalam artian pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya. Framework rasional berasumsi kalkulasi strategis antar aktor menghasilkan teror.
Framework ini mengharuskan mengkaji terhadap langkah, kebijakan, strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak, yakni teroris dan sasaran teror. Selain framework rasional, ada juga framework kultural. Framework ini berasumsi nilai menghasilkan tindakan, tindakan sangat tergantung persepsi dan pemahaman (ideologi) yang dimiliki teroris.
"Dengan framework ini semata akan berdampak parsial memahami terorisme dan menyeret publik kepada profil teroris dan tindakan terornya semata sementara sasaran teror diabaikan. Dampak turunannya adalah solusi yang temporer dan parsial," terang dia.
Baca juga : Tempat Wisata di Pekanbaru
Penggunaan framework rasional penting, karena mampu menjawab dua hal penting, yaitu kondisi yang memunculkan dan kondisi yang meredam terjadinya teror. "Dari sini kita paham, bahwa dendam telah menjelma menjadi "ideologi" yang menstimulasi aksi teror dari kelompok teror.
Dendam menjadi determinasi yang diberi bumbu dan doktrin teologi yang beku untuk menghasilkan legitimasi aksi nekat teror," kata dia lagi. Ketika disinggung upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir aksi teror, ia mengungkapkan soal implementasi (Riko).
Komentar