Kasus Vanessa Angel, Akankah DPR Pidanakan Pria Hidung Belang?

Daftar Isi

    Foto: Screenshot Instagram Vanessa Angel

    LancangKuning.Com, Jakarta - Vanessa Angel dan Avriellia Shaqqila dilepaskan dan muncikarinya dijadikan tersangka. Adapun pria hidung belang yang memesannya melenggang. Bisakah pemesan jasa prostitusi dipidana?

    Sebagaimana diikutip dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 132/PUU-XIII/2015 dari websitenya, Senin (7/1/2019), harapan pria hidung belang bisa dipenjara diutarakan oleh Robby Abbas. Di mana Robby merupakan terpidana kasus muncikari artis dengan hukuman 16 bulan penjara. Robby dikenai Pasal 296 KUHP yang berbunyi:

    Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

    Tidak terima masuk penjara sendirian, Robby menggugat Pasal 296 KUHP ke MK. Ia berharap para pria hidung belang pemakai jasanya juga dipenjara.

    "Seharusnya, baik dengan mendasarkan pada norma yang berlaku dalam hukum Islam maupun atas dasar berlakunya asas keadilan, kepastian hukum dan equalitybefore the law, selain orang atau subjek hukum yang 'menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain', subjek hukum yang melakukan pencabulan,
    baik yang memberi kenikmatan tubuhnya maupun yang menikmati tubuhnya," ujar Robby yang menyerahkan kuasa hukum ke Heru Widodo dkk.

    Baca Juga: Kasus Artis VA, Polisi Kejar Informasi soal Jaringan Mucikari

    Ternyata, gugatan Robby salah alamat. Menurut MK, apa yang dikehendaki Robby adalah kewenangan DPR, bukan kewenangan MK.

    "Persoalan hukum yang dipermasalahkan Pemohon adalah kebijakan kriminal, dalam arti menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana, di mana kebijakan demikian adalah politik hukum pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang yang terbuka untuk umum di gedung MK pada 5 April 2017.

    Putusan tersebut diketuk secara bulat oleh sembilan hakim konstitusi dan diucapkan dalam sidang yang dihadiri ileh Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Manahan M.P. Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Suhartoyo, dan Maria Farida Indrati.

    "Apalagi yang dipersoalkan dalam permohonan a quo adalah tentang pidana yang berkait dengan penghukuman terhadap orang/manusia, sehingga bahkan pembentuk undang-undang pun yang meskipun memiliki kewenangan. Untuk itu, dalam merumuskan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit) harus sangat hati-hati," ucap MK.

    Menurut MK, menyatakan suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana harus mendapat kesepakatan dari seluruh rakyat yang di negara Indonesia diwakili oleh para DPR bersama dengan presiden.

    "Dengan demikian, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, persoalannya adalah bukan terletak pada konstitusionalitas norma, melainkan pada persoalan politik hukum, dalam hal ini politik hukum pidana," tegas MK.

    Telah menjadi pengetahuan bagi kalangan ahli hukum bahwa kehati-hatian dalam merumuskan hukum pidana sangat dibutuhkan karena sifat khusus yang dimiliki oleh hukum pidana itu, yakni adanya penderitaan yang bersifat khusus (bijzondere leed) dalam bentuk hukuman kepada pelanggarnya yang mencakup pembatasan atau perampasan kemerdekaan, bahkan nyawa.

    "Oleh karena itulah, hukum pidana diposisikan sebagai 'obat terakhir'(ultimum remedium) untuk memperbaiki prilaku manusia, setelah didahului oleh pemberlakuan norma hukum maupun norma-norma kemasyarakatan lainnya," papar MK.

    Demikianlah sehingga kehati-hatian bukan hanya diperlukan dalam merumuskan perbuatan apa yang dilarang dan dapat dipidana (ius poenale, strafrecht in objectieve zin), tetapi juga karena dari rumusan itu akan ditentukan hak negara untuk menghukum (ius puniendi, strafrecht in subjectieve zin) sehingga negara benar benar terbebas dari 'tuduhan' main hakim sendiri.

    "Dalam hubungan ini, penting kiranya untuk selalu diingat pernyataan ahli hukum pidana Hezewinkel-Suringa 'Noch aan de staat, noch aan der logere publiekrechtelijke organen komt op strafrechtelijk terreein eigenrichting toe'(Dalam bidang hukum pidana, baik negara maupun suatu badan, yang bersifat hukum publik yang lebih rendah lainnya, tidak berwenang main hakim sendiri)," putus MK.

    Sebelum putusan soal 'pria hidung belang', MK juga memutuskan permohonan kriminalisasi LGBT. Dalam putusanya, MK juga memutuskan kriminalisasi LGBT adalah kebijakan pidana yang menjadi kewenangan DPR.

    "Amar putusan mengadili menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Arief Hidayat pada Desember 2017, dilansir dari Detik.Com

    Setahun berlalu, umpan lambung MK masih dibiarkan di DPR. Revisi KUHP yang menjadi kantong pidana pria hidung belang dan LGBT, hingga kini belum ada tanda-tanda akan disahkan.

    Alih-alih konsumen muncikacari berkurang, malah muncul lagi kasus serupa yaitu yang menyeret Vanessa Angel dan Avriellia Shaqqila.

    Lalu, beranikah DPR mempidanakan pria hidung belang? (LKC)

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Kasus Vanessa Angel, Akankah DPR Pidanakan Pria Hidung Belang?
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar