Daftar Isi
LancangKuning- Presiden Joko Widodo akan memberikan Anugerah Bintang Mahaputera kepada mantan Panglima TNI Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan pada 10 November mendatang.
Bintang Mahaputera sendiri merupakan tanda jasa bagi warga negara Indonesia yang dianggap telah berpartisipasi membangun negeri. Anugerah ini biasanya diberikan negara kepada warga yang telah purna tugas sebagai menteri atau kepala lembaga.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan pemberian Bintang Mahaputera kepada Gatot serba salah.
Gatot adalah panglima TNI pertama yang dilantik Jokowi sejak menjabat sebagai Presiden pada 2014. Dia juga kerap silang pendapat dengan pemerintah sejak tak lagi menjabat panglima TNI.
Menurut Mahfud, pemberian itu akan dianggap sebagai usaha membungkam Gatot yang kerap kritis kepada pemerintah. Namun jika tak diberi akan dianggap diskriminasi karena nyatanya Bintang Mahaputera ini adalah hak Gatot.
"Pemerintah tahu bahwa memberi atau tidak memberi Bintang Mahaputera kepada Pak Gatot Nurmantyo (GN) pasti ada yang menyoal," kata Mahfud dikutip CNNIndonesia.com melalui akun Twitternya, Selasa (3/11).
"Jika diberi dibilang untuk membungkam, jika tak diberi dibilang diskriminatif kepada yang kritis. Tapi Bintang Mahaputra itu hak Pak GN seperti juga haknya Bu Susi Pujiastuti dll," katanya.
Baca Juga : DKP Riau Usulkan Bantuan Kapal Nelayan untuk 4 Kabupaten
Baru-baru ini Gatot tergabung dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), sebuah wadah bagi para aktivis yang kritis terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Namun, rekam jejak Gatot selama menjabat sebagai panglima pada periode 2015-2017 tak kurang menarik. Dia dikenal sebagai sosok panglima yang tegas dan banyak mengundang sensasi.
Sebagai panglima TNI, sosoknya cukup dikagumi sebagian besar umat Islam karena kerap muncul dalam aksi demo berjilid pada 2016 lalu dengan pakaian militer dan peci putih miliknya.
Namun kemudian, pada Aksi 212 Gatot ikut bersama Jokowi menemui massa yang berkumpul di Monas dan menggelar salat Jumat bersama.
Dari semua sepak terjangnya ketika menjabat sebagai Panglima, kemunculannya di aksi 411 dan 212 mungkin yang paling diingat masyarakat. Namun kehadiran Gatot di aksi 411 disebut ada unsur kesengajaan dan diatur sedemikian rupa agar Jokowi selaku presiden tak muncul, dan dia yang mengambil alih panggung.
Rekam jejak Gatot juga melekat ketika berkaitan dengan pembatalan Pengadaan Heli AW 101. Gatot meminta secara langsung kepada Kepala Staf Angkatan Udara yang tengah menjabat saat itu agar pembelian Heli yang perjanjiannya telah diteken itu dibatalkan.
Kala itu Gatot mengikuti keinginan Jokowi yang menganggap kerja sama pembelian Heli dengan PT Diratama Jaya Mandiri terlalu mahal, lantaran dana yang harus digelontorkan mencapai angka Rp738 miliar. Gatot bahkan menerbitkan surat perintah untuk menginvestigasi pengadaan Heli ini, hingga akhirnya proyek tersebut dinyatakan terindikasi korupsi.
Baca Juga : Gubri Harapkan Produk Riau Miliki Nilai Ekonomi Yang Baik
Lain proyek Heli, lain lagi soal perintah. Gatot juga pernah meminta jajaran di internal TNI menggelar nonton bareng film G30S/PKI. Banyak yang tak setuju dengan perintah Gatot ini, lantaran film tersebut dianggap alat propaganda Orde Baru.
Namun, Gatot tak ambil pusing. Dia secara terang-terangan mengaku memberi perintah menonton film itu. Dia juga menjelaskan alasannya kerap berbicara soal PKI lantaran tak ingin organisasi itu hidup kembali.
Terlepas dari isu PKI, Gatot juga pernah membongkar pembelian 5.000 pucuk senjata di luar instansinya yang kemudian menimbulkan polemik. Informasi ini awalnya dia lontarkan dalam acara internal dan bukan untuk publikasi.
Namun, pernyataan itu beredar luas hingga menimbulkan polemik yang cukup panjang. Hingga akhirnya Wiranto yang kala itu menjabat sebagai Menko Polhukam angkat suara, kata dia persoalan pembelian senjata memang ada namun tidak ilegal. Senjata itu dibeli untuk kepentingan intelijen.
(tst/pmg)
Komentar