Daftar Isi
Lancang Kuning - Sejumlah kelompok masyarakat sipil dan LSM yang tergabung dalam Koalisi Save Mahkamah Konstitusi (MK) menolak revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK). DPR diketahui tengah membahas RUU tersebut pada Kamis lalu melalui mekanisme rapat tertutup.
Salah seorang anggota koalisi, Agil Oktaryal berpendapat, pembahasan RUU itu sarat dengan barter kepentingan. Hal itu, kata dia, terlihat dari pasal-pasal yang diduga sebagai titipan.
"Yang terjadi justru adalah ada pasal-pasal krusial yang coba dititipkan," kata dia dalam konferensi pers virtual, Jumat (28/8).
Pasal yang menjadi catatan dari koalisi, pertama, Pasal 15 ayat (2) draf revisi yang menyatakan untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seseorang harus berusia minimal 60 tahun. Sementara di dalam UU MK yang masih berlaku saat ini diatur usia minimal hakim konstitusi 47 tahun.
Selain itu, koalisi juga menyoroti soal ketentuan masa jabatan hakim konstitusi. Dalam draf RUU MK, tidak terdapat Pasal 22 yang sebelumnya ada di dalam UU MK saat ini. Pasal itu menyatakan masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun, dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Ketentuan tersebut di dalam draf RUU MK kemudian diganti dengan Pasal 87 huruf c yang menyatakan, apabila hakim konstitusi pada saat jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada huruf b telah berusia 60 tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 tahun.
"Penambahan masa jabatan hakim konstitusi ini, diberlakukan retroaktif (surut) terhadap hakim yang menjabat sekarang, tentunya ini menjadi kekhawatiran publik, adanya konflik kepentingan yang coba dimainkan DPR dalam revisi ini. Karena regulasi ini, akan menguntungkan hakim yang menjabat," kata dia.
Pasal-pasal yang dinilai menguntungkan hakim yang menjabat itu, kata dia, akhirnya menimbulkan kecurigaan koalisi sipil, bahwa RUU ini hanya objek 'barter'. Sebab, saat ini menjamur undang-undang kontroversial yang diuji di MK, seperti UU Keuangan Negara untuk Covid-19, UU KPK, UU Minerba, UU Pilkada, hingga RUU Cipta Kerja yang berpotensi diujikan.
"Inilah kemudian yang menjadi kekhawatiran akan menjadi barter revisi UU MK dengan perkara yang berjalan di MK," ucap dia.
Selain dugaan barter kepentingan itu, koalisi juga menilai revisi ini tidak menyentuh hal substansial dan tak membicarakan tentang penguatan MK sebagai kelembagaan.
Ia menyebut, isu mengenai perluasan kewenangan MK untuk melakukan pengaduan dan pertanyaan konstitusional, pengujian peraturan perundang-undangan satu atap, serta persoalan standar rekrutmen hakim yang berbeda-beda, lebih krusial untuk dibahas.
"Berkaitan dengan proses, kita lihat proses yang dilakukan secara kilat, cepat dan tertutup, karena pembahasan hanya dilakukan dua hari. Kami menilai proses itu telah melanggar prinsip umum dalam konstitusi dan UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," ucap dia.
Pada kesempatan yang sama, anggota koalisi lainnya, Violla Reininda menyoroti soal tak masuknya rencana revisi UU MK dalam list prolegnas prioritas 2020. Namun belakangan, pada 2 April lalu disetujui untuk masuk sebagai daftar kumulatif terbuka.
"Ketika kita semua sedang sibuk mengurus Pandemi Covid-19, tiba-tiba DPR memasukkan sebagai daftar kumulatif terbuka, ini sudah satu itikad bisa terlihat," ucap dia.
Pada Kamis (27/8) lalu, diketahui Panitia Kerja (Panja) menggelar pembahasan Revisi UU MK melalui rapat tertutup.
Berdasarkan agenda DPR RI, Komisi III DPR menggelar pembahasan terkait daftar inventarisasi masalah (DIM) tentang revisi UU MK dan membentuk tim perumus serta tim sinkronisasi sejak pukul 10.00 WIB.
Komentar