Daftar Isi
LancangKuning -"Punya rumah tuh ingin banget. Tapi kalau ngeliat DP (down payment) langsung drop. Wah, belum cukup."
Petikan di atas adalah curhatan Ifa, 28 tahun, seorang karyawan swasta di Jakarta dengan gaji di bawah Rp10 juta. Dia menilai memiliki rumah dengan gaji yang diterima menjadi sesuatu yang berat bahkan mustahil. Saat ini, dia sendiri masih tinggal bersama orang tuanya.
Ifa menuturkan gajinya yang berkisar Rp6 juta cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Namun, jika mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR), masih jauh dari kata mampu. Dia menilai KPR tak semudah seperti yang terpampang di iklan di pamflet perumahan.
"KPR sebenarnya menjanjikan. Tapi ternyata enggak semudah itu juga. Masih ada biaya lainnya di dalam KPR itu," katanya.
Ifa menilai selain DP dan cicilan KPR, masih ada uang untuk mengisi rumah, perawatan dan biaya lainnya. 'Printilan' tersebut yang membuat dia merasa 'kalah sebelum berperang'.
Hitung-hitungan kasar Ifa menyimpulkan masih banyak uang yang harus dikeluarkan dan itu tak tercukupi dari gaji yang diterimanya.
Ini yang akhirnya membuat Ifa kini tak pernah lagi mencari tahu informasi tentang rumah sama sekali. "Iya mahal. Kecuali gaji naik, bisa patungan, atau nyicil dari orang tua," tambahnya.
Setali tiga uang, Mira, 28 tahun pun merasa kesulitan untuk mengambil KPR karena tingginya uang muka alias DP rumah. Walaupun DP rumah bisa dicicil, namun dirinya merasa hal itu masih memberatkan.
Sebagai gambaran, penghasilan Mira dan suami jika digabungkan berkisar Rp20 juta.
"Kalau skema DP 20 persen dari harga rumah. Ambil yang Rp600 juta saja, DP 120 juta. Bisa dicicil 12 bulan tapi kalau dihitung cicilan sekitar Rp10 juta per bulan. Nah, ada juga yang sekitar Rp5 juta tapi bulan berikutnya naik. Masih belum sanggup," kata dia.
Baca Juga : Anak Muda Pengguna Vape 5 Kali Lebih Beresiko Tertular Virus Corona
Wajah Indonesia
Apalagi, menurutnya, pandemi corona saat ini membuat penghasilannya dipotong sehingga menabung kian sulit. Ini juga ditambah dengan kehamilan anak keduanya.
"Dan gaya hidup standarnya masih tinggi," katanya.
Baik Ifa maupun Mira adalah sejumlah contoh barisan milenial yang merasa memiliki rumah adalah sesuatu yang mustahil.
Riset IDN Research Institute yang bekerja sama dengan Alvara Research Center dengan tajuk Indonesia Millennial Report 2019 mengungkap ada 63,4 juta generasi milenial atau sekitar 24 persen dari total penduduk usia produktif.
"Jumlah yang signifikan. Generasi milenial akan menjadi tumpuan dan menentukan wajah Indonesia di masa depan," demikian riset tersebut.
Riset itu juga mengungkap 56,7 persen milenial junior dan 51,5 persen milenial senior ingin memiliki rumah.
Riset ini membagi generasi milenial menjadi dua kelompok yakni milenial junior yang lahir pada 1991-1998 dan milenial senior yang lahir pada 1983-1990.
Namun, sayangnya tingkat konsumsi milenial masih termasuk tinggi. Riset ini mengungkap 51,1 persen pendapatan masih dihabiskan untuk kebutuhan rutin. Hanya 10,7 persen yang disisihkan untuk tabungan, bahkan hanya 2 persen untuk investasi.
"Milenial mulai sadar bahwa kemampuan mereka untuk memiliki rumah terbatas. Sehingga 50,2 persen dari mereka ingin membeli rumah secara kredit," papar riset tersebut.
Director Research Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus menilai saat ini perbankan memang sudah melihat milenial menjadi pangsa terbesar calon konsumen saat ini.
Tak sedikit fokus program KPR untuk milenial. Namun, dia tak memungkiri kendala utama generasi itu adalah belum mapannya ekonomi sehingga daya beli yang masih minim.
"Selain faktor tadi, harga properti juga tidak terjangkau. Walau faktor ini bukan cuma masalah milenial saja. Generasi X dan Y pun merasa harga properti saat ini mahal," ujarnya.
Namun, Anton pun melihat faktor lain, yakni gaya hidup. Tak sedikit milenial tak mengutamakan pendapatannya untuk membeli properti, namun dihabiskan untuk gadget, mobil hingga liburan. Ditambah, harga properti dan tanah yang terus melonjak membuat milenial 'kabur'.
Anton melihat kondisi pandemi saat ini justru menjadi momentum memiliki rumah kembali dijadikan prioritas.
"Pandemi lebih mendorong orang lebih punya rumah. Kebutuhan orang akan tempat tinggal yang aman dan nyaman, sepanjang sejarang manusia, sekarang paling tinggi kebutuhannya sepanjang sejarah manusia," paparnya.
"Walau ekonomi lagi susah. Sehingga, butuh peran pemerintah bagaimana ambil alih program perumahan secara signifikan. Tidak bisa andalkan swasta karena mereka cari untung," ujarnya.
Baca Juga : Hubungan Dengan Aurel Disebut Setingan, Ini Kata Atta Halilintar
Sejuta Rumah Jokowi
Di sisi lain, pemerintah sebenarnya memiliki beberapa program terkait perumahan seperti program Sejuta Rumah, yang dicanangkan Presiden Jokowi sejak 2015 lalu.
Selain itu, ada Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk pembiayaan warga miskin untuk memiliki rumah di bawah kontrol Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Namun, program tersebut memang diperuntukkan bagi MBR atau masyarakat berpenghasilan rendah secara mayoritas. Pada periode pertama Jokowi, program Sejuta Rumah Jokowi mencapai 4,8 juta unit. Di sisi lain, backlog perumahan saja diperkirakan mencapai 7 juta unit lebih pada awal 2020.
Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengungkap untuk program Sejuta Rumah per 10 Agustus 2020 mencapai 258.252 unit dengan persentase 81 persen MBR dan 19 persen non-MBR.
Baca Juga : Kasus Virus Corona Melonjak, IDI Sarankan Strategi Ekstriem
Menurut Khalawi, target dari program Sejuta Rumah ini memang untuk pembangunan rumah MBR. "Target non-MBR maksimal 35 persen," ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan situs resmi Kementerian PUPR, syarat penerima program KPR FLPP merupakan warga yang memiliki gaji atau penghasilan pokok tidak melebihi Rp4 juta untuk rumah tapak dan tidak melebihi Rp7 juta untuk rumah susun.
Berdasarkan riset Savills, sebanyak 46 persen generasi milenial di Jakarta memiliki penghasilan di bawah Rp4 juta, sedangkan 34 persen di kisaran Rp4-7 juta. Lainnya, 14 persen memiliki pendapatan Rp7-Rp12 juta dan hanya 6 persen yang memiliki penghasilan di atas Rp12 juta.
Artinya, sebagian milenial pun bakal 'bertarung' dengan warga lainnya untuk merebut jatah 35 persen di program Satu Juta Rumah Jokowi.
Pengamat properti Aleviery Akbar menilai pemerintah memang harus memberikan subsidi kepada milenial seperti DP nol persen yang pernah dicanangkan Pemda DKI.
"Dengan pembelian tanpa DP artinya kaum milenial bisa mencicil KPR dengan jangka waktu yang lebih panjang sehingga tidak membebani biaya hidupnya," ujarnya.
Namun, Aleviery melihat saat ini pemerintah memang dalam masalah kekurangan pasokan rumah bersubsidi untuk rakyat. "Dengan permasalahan di atas maka kaum milenial pun juga akan berebut untuk mendapatkan rumah dari pemerintah," tegasnya.
Mungkin minimnya bantuan ini pula yang bikin milenial macam Mira seakan tak memiliki harapan untuk punya rumah di masa mendatang. "Saya sekarang sudah enggak terlalu berharap."
Komentar