Daftar Isi
Foto: Faisal Basri. (Indonews)
Lancang Kuning, JAKARTA -- Ekonom Senior Faisal Basri menilai penggunaan utang pemerintah selama era Presiden Joko Widodo (Jokowi) boros dan tidak efektif. Pasalnya, utang tak mampu mengerek pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Baca Juga: Tempat Wisata di Riau
Ia menyatakan pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Jokowi mandek di kisaran 5 persen meski utang terus menumpuk. Pertumbuhan ekonomi belum pernah tembus ke 6 persen seperti di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Baca Juga: Makanan Khas Pekanbaru
"Utang naik, pertumbuhan ekonomi turun. Berarti ada masalah penggunaan utang. Penggunaan utang tidak efektif," ungkap Faisal dalam dialog Secret at News Room (Setroom) CNNIndonesia.com, Kamis (13/8).
Baca Juga: Lupakan Ranjang, 7 Posisi Seks di Kursi
Mengutip data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita, posisi utang pemerintah pada akhir Juni 2020 sebesar Rp5.264 triliun. Jumlahnya naik 15,2 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp4.570 triliun.
Baca Juga: Israel Disebut Pasti Hentikan Aneksasi di Tanah Palestina
Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi paling tinggi di era Jokowi terjadi pada 2018, yakni 5,17 persen. Pada tahun pertama menjabat atau 2014, laju ekonomi nasional adalah 5,02 persen.
Kemudian, ekonomi domestik pada 2015 turun menjadi 4,79 persen, lalu 2016 kembali naik menjadi 5,02, dan 2017 kembali tumbuh menjadi 5,07 persen. Selanjutnya, ekonomi pada 2019 kembali ke level 5,02 persen pada 2020.
Pertumbuhan ekonomi pun semakin anjlok akibat pandemi virus corona. Pada kuartal I 2020 ekonomi turun drastis menjadi 2,97 persen dan kuartal II 2020 minus 5,32 persen.
Faisal mengatakan pemerintah terpaksa terus menambah utang karena membutuhkan banyak dana untuk membangun infrastruktur di dalam negeri. Namun, efeknya minim terhadap pada ekonomi nasional.
"Pemerintah boros, makanya butuh utang banyak. Kalau tidak boros, tidak butuh utang banyak," jelas Faisal.
Ia mencontohkan pemerintah kini membutuhkan dana lebih besar dari era presiden sebelumnya untuk membangun jalan per 1 kilometer (km). Hal itu terlihat dari incremental capital output ratio (ICOR) atau rasio investasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi.
ICOR bisa digunakan untuk mengukur seberapa besar investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit output atau produk domestik bruto (PDB). Jika ICOR 5, artinya setiap penambahan PDB Rp1 dibutuhkan investasi tambahan sebesar Rp5.
Namun, kalau ICOR 4, tambahan investasi yang dibutuhkan untuk PDB Rp1 hanya Rp4. Ini berarti, negara dengan ICOR 4 akan lebih efisien dibandingkan ICOR 5.
"Yang nyata di era Jokowi untuk pembangunan semakin boros. Dalam bentuk ICOR misalnya, ICOR 6,5. Jadi untuk menambah 1 km jalan butuh Rp6,5 unit nmodal. Saat orde baru rata-rata ICOR 4,3. Jadi era Jokowi dibutuhkan 50 persen modal tambahan. Modal tambahan itu dari utang. Makanya utang kurang optimal," papar Faisal.
Di sisi lain, Faisal juga mengkritisi investasi yang masuk ke Indonesia. Menurutnya, realisasi investasi sudah cukup bagus, tapi lagi-lagi hasilnya tak berdampak banyak untuk pertumbuhan ekonomi.
"Investasi tertinggi sepanjang sejarah, tapi kenapa hasil sedikit," imbuh Faisal.
Ia menyoroti investasi dari industri smelter nikel yang mencapai ratusan triliun. Namun, dampaknya ke penerimaan pajak tak begitu terasa.
"Kementerian Keuangan sudah mulai sadar ini ada yang salah dengan pengelolaan nikel, investasi banyak tapi hasil ke luar semua," kata Faisal.
Diketahui, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi yang masuk ke Indonesia sebesar Rp402,6 triliun pada semester I 2020. Realisasi yang terjadi di tengah penyebaran virus corona itu mencapai 49,3 persen dari target investasi tahun ini yang sebesar Rp817,2 triliun.
Jumlah investasi pada semester I 2020 naik tipis 1,8 persen dibandingkan dengan posisi semester I 2019 yang sebesar Rp395,6 triliun.
Realisasi investasi itu terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp207 triliun atau 51.4 persen dari target dan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp195,6 triliun atau 48,6 persen dari target. Realisasi PMDN naik 13,2 persen, sedangkan PMA turun 8,1 persen.
Utang Pilihan Pahit
Dalam kesempatan yang sama, Staf Khusus Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo mengungkapkan utang merupakan pilihan pahit pemerintah. Itu merupakan satu-satunya jalan bagi pemerintah untuk tetap menggerakkan roda perekonomian di tengah pandemi virus corona.
"Di masa pandemi tidak banyak pilihan. Kalau pun utang, itu pilihan pahit," ujar Yustinus.
Ia menyatakan pandemi virus corona menyerang optimisme yang sedang dibangun pemerintah pada awal tahun. Wabah corona membuat ekonomi lumpuh, sehingga pemerintah harus mencari akal untuk mengobatinya.
"Ekonomi turun, pajak turun. Sekarang saat pandemi kebutuhan belanja meningkat untuk sosial. Pajak tidak bisa diandalkan, jadi utang," jelas Yustinus.
Kendati begitu, ia sadar pengelolaan utang harus tetap hati-hati. Sebab, penggunaannya tetap harus dipertanggugjawabkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (LK)
Komentar