Kisah Pelaut India Diculik Bajak Laut di Perairan Nigeria

Daftar Isi

    Foto: BBC Indonesia

    Lancang Kuning - Sudeep Choudhury berharap dapat bertualang dan memperoleh penghasilan yang lebih baik dengan bekerja di kapal dagang.

    Namun pelayarannya di atas sebuah tanker minyak di perairan Afrika Barat yang berbahaya dan jauh dari rumah justru memperburuk kehidupannya.

    Baca Juga: Kapolsek dan 7 Personil Kepolisian Disandera Warga, Begini Ceritanya

    Nasibnya akan tergantung pada sekelompok bajak laut yang kecanduan narkoba dan tingkah laku sosok misterius yang dijuluki The King, atau Sang Raja.

    Kapal MT Apecus berlabuh di Pulau Bonny di Nigeria sesaat setelah matahari terbit. Sudeep Choudhury akan mengakhiri jam kerjanya yang melelahkan di atas dek kapal. Ketika memandang ke arah pelabuhan, ia dapat melihat puluhan kapal lainnya. Di garis pantai setelahnya, jajaran tangki penyimpanan minyak berwarna putih menjulang seperti raksasa.

    Baca Juga: Menolak Dirawat di RS, Ibu Positif Corona di Bogor Malah Berobat ke Dukun

    Sudeep lalu sarapan dan melakukan dua kali panggilan telepon. Satu ke orang tuanya-- ia tahu bahwa mereka khawatir terhadap anak tunggalnya--dan satu lagi ke tunangannya, Bhagyashree. Ia mengatakan kepada dirinya bahwa semua berjalan sesuai rencana dan ia akan menelponnya lagi nanti. Ia pun tidur.

    Saat itu tanggal 19 April 2019. Kapal tanker minyak kecil yang sudah uzur itu, beserta 15 krunya, telah berlayar selama dua hari sepanjang sisi selatan dari pelabuhan Lagos ke Delta Nigeria, di mana minyak ditemukan oleh pebisnis asal Belanda dan Inggris pada tahun 1950an yang saat itu mencari sumber uang yang cepat. Meskipun ia tahu bahwa bajak laut yang keji berkeliaran di rawa-rawa dan hutan bakau di delta yang berbentuk seperti labirin tersebut, Sudeep merasa aman pagi itu berlabuh di hawa tropis laut Atlantik Selatan. Kapal angkatan laut Nigeria terus berpatroli dan kapal Apecus berlabuh di luar Bonny, yang terletak tujuh nautikal mil dari daratan, sembari menunggu izin memasuki pelabuhan.

    Baca Juga: Makanan Khas Pekanbaru

    Seperti dilansir Viva/BBC Indonesia, Perairan Teluk Guinea, yang terbentang sepanjang garis pesisir tujuh negara-negara Afrika Barat, adalah salah satu yang paling berbahaya di dunia. Laut paling berbahaya di dunia dulu berada di Somalia, namun sekarang area ini adalah episenter pembajakan laut modern. Dari semua kapal yang dibajak di seluruh dunia tahun lalu, sekitar 90 persennya berasal dari sini. Sebanyak 64 orang diculik dari enam kapal dalam periode Oktober-Desember 2019, menurut Biro Maritim Internasional (IMB), yang melacak pembajakan laut. Lebih banyak pembajakan di laut tidak dilaporkan ke petugas berwenang.

    Melimpahnya minyak di laut ini bisa membuat warga sekitar delta kaya, tapi ini justru kutukan bagi banyak orang di sini. Tumpahan minyak telah merusak laut dan daratan, dan perebutan minyak telah memicu kejahatan dan konflik selama puluhan tahun. Harapan hidup hanya sekitar 45 tahun di desa-desa di sekitar jalur pipa yang telah menghasilkan milyaran dolar bagi pemerintah Nigeria dan perusahaan minyak internasional.

    Baca Juga: Tempat Wisata di Riau

    Kelompok militan dengan nama-nama ala komik seperti Avengers Delta Niger telah meledakkan pipa-pipa minyak dan melumpuhkan produksi lantaran mereka menuntut redistribusi kekayaan dan sumber daya alam. Pencuri minyak menyedot minyak mentah hitam yang tebal dan memprosesnya di kilang minyak buatan yang disembunyikan di hutan. Level kekerasan di delta itu pasang surut--tapi ancaman itu selalu ada.

    Sudeep bangun tidur beberapa jam kemudian ketika ia mendengar teriakan dan hentakan. Pengawas di ruang komando kapal, yang berada di tempat teratas di dek kapal, telah melihat sebuah kapal cepat mendekati kapal sambil mengangkut sembilan pria bersenjata berat. Teriakan peringatannya terdengar di kapal sepanjang 80 meter tersebut, diiringi dengan kru yang berlarian ke segala arah. Mereka tidak bisa menghentikan kedatangan bajak laut tersebut, tapi setidaknya mereka bisa mencoba bersembunyi.

    Sudeep baru berusia 28 tahun tapi ia adalah kru tertinggi ketiga (third officer) di kapal itu. Ia bertugas atas keselamatan lima kru asal India lainnya di Apecus. Kapal itu tidak menyimpan minyak, sehingga ia tahu bahwa para bajak laut ingin menculik kru kapal untuk tebusan. Kru asal Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sangat diincar karena perusahaan tempat mereka bekerja sanggup membayar tebusan yang mahal. Namun kenyataannya, sebagian besar pelaut datang dari negara berkembang. Di Apecus, orang India adalah satu-satunya kru dari negara di luar benua Afrika.

    Dengan waktu kurang dari lima menit, Sudeep mengumpulkan krunya di ruang mesin di lambung kapal sebelum lari ke lantai atas untuk mengaktifkan alarm darurat guna memberitahu semua orang di atas kapal. Saat berlari ke bawah, ia sadar ia hanya memakai pakaian dalam yang dipakainya saat tidur. Lalu ia melihat sekilas para pembajak laut, yang memakai kaos dan tutup muka berwarna hitam sembari membawa senapan serbu. Mereka berada di sisi kapal, dan dengan berani menggantungkan tangga di sisi kapal.

    Kru kapal asal India lalu memutuskan untuk bersembunyi di ruang penyimpanan berukuran kecil, di mana mereka menunduk di antara lampu, kabel, dan peralatan elektrik lainnya, sembari mencoba mengatur nafas mereka karena panik. Bajak-bajak laut itu dengan segera berkeliaran di kapal, suara mereka menggema, menimpali desingan rendah mesin-mesin kapal. Para pelaut gemetar tapi tetap mencoba sunyi. Banyak kapal yang berlayar di Teluk Guinea menyisihkan investasinya untuk membangun ruang aman dengan dinding anti peluru di mana kru kapal dapat berlindung jika situasi ini terjadi. Apecus tidak memiliki ruangan seperti itu. Para pelaut mendengar langkah-langkah mendekati mereka dan pintu bergeser terbuka.

    Berdiri.

    Para bajak laut menembakkan senapannya ke arah lantai dan sebuah fragmen peluru mengenai kaki kiri Sudeep, hanya satu inci dari tulang. Pembajak lalu menggiring pelaut keluar dan naik ke atas dek. Mereka tahu mereka harus bergerak dengan cepat. Kapten telah mengumumkan panggilan darurat dan suara tembakan mungkin terdengar oleh kapal lain.

    Para penyerang lalu memerintahkan kru dari India untuk turun tangga dan naik ke kapal cepat, dengan dua mesin untuk meningkatkan kecepatannya, yang menanti di luar kapal. Chirag, kru berusia 22 tahun yang gampang gugup karena ini adalah pekerjaan pertamanya di lautan, adalah kru pertama yang menaati perintah mereka. Kru yang lain mengikutinya, termasuk kapten, karena ditodong senjata para bajak laut.

    Enam sandera, yang terdiri dari lima warga negara India dan satu warga Nigeria, jongkok dengan tidak nyaman di kapal yang penuh penumpang itu, yang lalu pergi menjauhi Apecus. Kru yang tersisa, termasuk satu orang asal India yang sukses bersembunyi, muncul ke dek. Mereka melihat bajak laut pergi ke arah delta bersama sandera yang matanya ditutup kain. Mereka meninggalkan Apecus, yang mengapung di tengah laut.

    Pesan dari agen kapal diterima tengah malam.

    Tuan yang terhormat, kapal Sudeep telah dibajak. Pemilik kapal dari Yunani telah berkoordinasi soal ini. Jangan panik. Sudeep akan baik-baik saja. Tolong sabar.

    Pradeep Choudhury dan istrinya Suniti membaca pesan itu sembari duduk di tempat tidur mereka. Mereka terguncang membaca pesan yang seperti asal-asalan itu. Mereka baru bicara dengan putranya beberapa jam yang lalu. Pradeep lalu mengirim pesan itu ke anggota keluarga yang lain dan teman-teman dekat Sudeep. Benarkah pesan ini? Ada yang mendengar kabar dari putranya?

    Mereka yang mengenal Sudeep akan mengatakan bahwa ia dulu nakal ketika kecil. Ia selalu bertingkah, selalu ingin ke luar rumah untuk bertualang. Orang tuanya, terutama ibunya, akan terus khawatir soal Sudeep. Sebagian besar hidup Sudeep dihabiskan di Bhubaneswar, kota kecil di negara bagian Odisha di pesisir timur India. Kota ini jauh dari pusat kekuasaan dan pengaruh di India-- yang terletak di Delhi, Mumbai dan Bangalore--tapi keluarga Choudhury dapat hidup dengan nyaman dengan penghasilan yang didapatnya dari toko fotokopi kecil di depan rumah mereka.

    Di trotoar yang ramai dekat rumah mereka di tengah Bhubaneswar, wajah dewa-dewi Hindu dapat dilihat di kuil-kuil berukuran sedang. Sebelum ia berlayar ke Afrika, Sudeep tidak terlalu percaya dengan segala bentuk Tuhan. Hidup akan berjalan sesuai dengan keinginannya dan Bhagyashree. Mereka bertemu saat keduanya remaja. Bhagyashree sekarang bekerja sebagai insinyur perangkat lunak. Jika dilihat, ia sepertinya populer di sekolah.

    Pasangan ini mewakili anak muda India yang aspirasinya tidak hanya sekedar membangun keluarga tradisional yang stabil, yang didambakan generasi orang tua mereka dulu. Ada puluhan juta orang seperti mereka di India, yang telah memperoleh gelar dan sertifikat pendidikan namun siap kerja di tengah kelambanan ekonomi dan bersaing dengan banyak lulusan lainnya, yang jumlahnya melebihi lapangan pekerjaan bergaji layak yang tersedia.

    Bagi Sudeep, bekerja bagi sebuah kapal menjanjikan pelarian dari semua masalah tersebut. Ia tertarik setelah mendengar kisah gaji besar, banyaknya lapangan kerja, dan kesempatan untuk melihat dunia. Ia tidak sendiri. Pelaut asal India merupakan kru kapal terbesar ketiga di dunia setelah pelaut dari Filipina dan Indonesia. Mereka bekerja sebagai pekerja dek, tukang masak, pekerja mesin, dan petugas kapal. Sekitar 234,000 warga India bekerja dengan kapal berbendera asing tahun lalu.

    Namun proses untuk mendapatkan kualifikasi yang dibutuhkan rumit. Sudeep telah belajar selama lima tahun, dan keluarganya telah merogoh ribuan dolar untuk itu. Pada usia 27 tahun, ia akhirnya lulus dan mendapat kualifikasi untuk menjadi salah satu pengawas di kapal. Ia lalu menato tangan kanannya untuk merayakan kelulusannya dengan gambar kapal layar kecil yang melewati sejumlah segitiga yang menggambarkan laut, dengan jangkar besar menembus tengah laut layaknya belati.

    Pagi pertama setelah pelaut diculik, puluhan pria muncul dari hutan dan menembakkan senjatanya ke langit selama hampir setengah jam untuk merayakan keberhasilan pembajakannya. Lima kru dari India, yang ditinggalkan di atas dek kayu seukuran mobil yang mengapung di atas rawa bakau, memandang air coklat di bawah mereka. Mereka kehilangan harapan.

    Mereka telah dibawa ke penjara mereka di tengah hutan setelah naik kapal selama berjam-jam melalui delta perairan tersebut. Di hari-hari pertama mereka menjadi sandera, pesan dari bajak laut, yang kadang memukuli mereka, disampaikan dengan jelas: jika tidak ada yang membayar tebusan, kami akan membunuh kalian.

    Sudeep masih memakai pakaian dalamnya dan merasa gatal-gatal karena digigit nyamuk. Kulitnya pun penuh gigitan nyamuk. Luka tembakan di kakinya belum diobati, sehingga ia harus menyumpal lumpur ke lubang tembakan tersebut. Kondisi sandera selalu basah mengingat kondisi hutan yang lembab. Mereka tidur bersama di satu alas kotor, dan menyempatkan diri untuk tidur selama beberapa menit sebelum terbangun dan ingat di mana mereka.

    Sebelumnya, para bajak laut menyeret sebuah kerangka manusia dari rawa untuk menunjukkan ke para pelaut mantan sandera yang bosnya menolak membayar tebusan. Itu bukanlah satu-satunya ancaman yang mengerikan. Di hari lainnya, mereka ditunjukkan tumpukan batu bata. Kalian macam-macam, dan kami akan mengikat batu ke kaki kalian dan menjatuhkan kalian ke dasar lautan, kata bajak laut.

    Sekelompok orang bergantian menjaga sandera dari pinggir sungai, sekitar 10 meter dari mereka. Mereka menghabiskan waktu dengan memancing, merokok marijuana, dan minum alkohol buatan terbuat dari nira aren yang disebut kai-kai--tapi mereka juga menjaga sandera dengan dekat, dan sekali-kali menodongkan senjata ke arah mereka dan meneriakkan peringatan, seolah-olah para sandera bisa tiba-tiba terjun ke air dan kabur.

    Sepanjang waktu, Sudeep mencoba untuk berkenalan dengan para penculiknya. Ia mencoba bertanya kabar mereka, atau apakah mereka punya anak. Tapi respon mereka selalu sunyi, atau peringatan. Jangan bicara kepada kami. Sepertinya mereka terikat oleh aturan yang ketat tapi mereka tidak pernah bicara soa nama pemimpin mereka, yang sepertinya berada di wilayah hutan lain. Ia hanya disebut sebagai "The King" atau "Sang Raja."

    Sudeep dan sandera lainnya -- Chirag, 22 tahun, Ankit, 21, Avinash, 22, dan Moogu, 34-- tidak punya pilihan lain selain mencoba menyimpan energi mereka dan menunggu sesuatu untuk terjadi. Hidup mereka kini hanya rutinitas yang tidak seru. Satu kali dalam satu hari, biasanya sebelum siang, mereka diberi makan satu mangkok mie instan yang dibagi untuk berlima. Mereka harus membagi makanan tersebut dengan hati-hati, dengan bergiliran memakai satu sendok kotor yang diisi penuh dengan mie satu per satu. Mereka mengulangi ritual itu di malam hari dan menyerahkan mangkok kosong kembali ke pembajak laut.

    Untuk minum, mereka diberi air keruh, yang terkadang dicampur minyak. Terkadang mereka sangat haus sampai mereka minum air garam dari sungai. Kapten asal Nigeria dikurung di sebuah gubuk terpisah. Ia diperlakukan lebih baik sehingga kru asal India membencinya.

    Di waktu luang, kelima sandera bicara soal hidup mereka di kampung halaman dan rencana masa depan mereka. Mereka memandang lingkungan di sekitarnya--ular meliuk di pepohonan, burung-burung beterbangan di antara pohon bakau. Mereka berdoa. Jika bajak laut melihat monyet, mereka tidak lagi diam. Para sandera dari India akan melihat penculik mengejar monyet tersebut, menembaki mereka. Monyet itu akan dimasak di atas api unggun tapi dagingnya tidak pernah dibagi bersama sandera.

    Para pelaut mencoba untuk menghitung setiap matahari terbenam dengan mengukir anak panah kecil di potongan kayu tempat mereka tidur. Mereka kadang mengigau--beberapa sandera, termasuk Sudeep, terkena malaria. Sembari berbisik, mereka membahas skenario di mana bajak laut berencana membunuh mereka dan mereka melawan. Jika mereka mati, mungkin mereka bisa membunuh setidaknya tiga penculik dalam perlawanannya?

    Mereka tertawa dalam momen-momen seperti ini, namun tetap sulit bagi mereka untuk tidak sedih dan menderita. Dalam jam-jam sunyi di mana mereka hanya berbaring di bawah terik matahari, Sudeep selalu memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk membebaskan rekan-rekannya, dan apa yang akan ia katakan ke Indian High Commission atau konsulat India di luar negeri, atau ke keluarganya jika ia bisa menelepon mereka. Di kepalanya, ia masih mencoba merencanakan pernikahannya.

    Tebusan yang diminta penculik awalnya sebesar beberapa juta dolar. Itu jumlah yang sangat banyak dan penculik pasti tahu bahwa tebusan itu tidak mungkin sanggup dibayar. Namun penculikan untuk tebusan semacam ini biasanya melibatkan negosiasi yang rumit dan berlarut-larut. Namun di labirin bernama Delta Nigeria, waktu berpihak pada para penculik.

    Sekitar 15 hari setelah serangan, para bajak laut membawa Sudeep ke bagian lainnya di hutan dengan kapal dan menyerahkan sebuah telepon satelit sehingga ia bisa berbicara langsung ke pemilik kapal, seorang pengusaha asal Yunani yang berbasis di pelabuhan Piraeus di perairan Mediterania bernama Kapten Christos Traios. Perusahaannya, Petrogress Inc, mengoperasikan beberapa tanker minyak di Afrika Barat dengan nama-nama bombastis seperti Optimus dan Invictus.

    Sudeep tidak tahu banyak soal Kapt. Christos tapi dia dengar dia adalah orang yang agresif dan mudah marah. "Pak, ini buruk. Kondisi kami di sini sangat buruk. Saya ingin Anda bertindak sangat cepat karena kami mungkin mati di sini," kata Sudeep. Bosnya, marah karena situasi pembajakan ini, ternyata tidak tergerak. Para pembajak marah. "Kami hanya ingin uang," kata mereka berulang kali. "Tapi jika orang kalian tidak memberi kami uang, kami akan membunuh kalian."

    Model bisnis pembajak tergantung pada ketaatan para pemilik kapal, yang biasanya terlindungi oleh asuransi, untuk membayar uang tebusan untuk membebaskan krunya setelah negosiasi berminggu-minggu. Namun kali ini mereka menghadapi pemilik kapal yang keras kepala. Untuk keluar dari situasi ini, para penculik tahu bahwa mereka harus menghubungi keluarga sandera.

    Di India, orang tua Sudeep tidak bisa tidur. Mereka tidak tahu banyak tentang apa yang telah terjadi sehingga pikiran mereka mengarah ke skenario terburuk saat mereka terjaga di larut malam, ketika jalanan di Bhubaneswar sunyi. Mereka khawatir putra mereka tidak akan bisa keluar dari sarang pembajak laut.

    Keluarga itu tidak mungkin membayar tebusan yang diminta pembajak dan hal itu tidak pernah dipertimbangkan dengan serius. Pemerintah India tidak membayar tebusan tapi mereka berharap bisa membantu dengan cara lain--dengan membantu angkatan laut Nigeria untuk menemukan markas pembajak laut, atau memaksa pemilik kapal membayar tebusan. Bhagyashree dan Swapna, sepupu Sudeep berusia 30-an tahun yang pemberani, memimpin upaya pembebasannya. Mereka mengumpulkan anggota keluarga para sandera dalam sebuah grup WhatsApp untuk mengoordinasi upaya-upaya pembebasan mereka.

    Bhagyashree akhirnya paham bahwa para bajak laut itu akan pulang dengan tangan hampa jika mereka membunuh para sandera. Tapi ia gugup karena tidak tahu sampai kapan mereka akan bersabar. Menekan pemilik kapal untuk membayar tebusan, dengan berbagai cara, nampaknya satu-satunya cara untuk membebaskan tunangannya. Oleh karenanya, ia aktif berkampanye di media sosial, Twitter, dan mengirim surat elektronik ke siapapun yang bisa membebaskan mereka, di mobil, di kamar mandi di tempat kerjanya, atau saat ia berbaring di rumah.

    Setelah tiga minggu dengan hampir tanpa kabar, pada hari ke-17, keluarga para sandera mendapat pencerahan. Seorang adik perempuan dari salah satu sandera, Avinash, menerima telepon dari kakaknya yang berada di hutan Nigeria. Ia mengatakan bahwa semua sandera masih hidup tapi mereka sangat membutuhkan pertolongan. Keluarga yang lainnya juga menerima telepon yang sama dalam beberapa hari ke depan, kecuali Bhagyashree dan keluarga Choudhury.

    Hubungan yang aneh pun mulai terjalin. Seorang kerabat salah satu pelaut yang bekerja di industri perkapalan, bernama Kapten Nasib, mulai menelepon para pembajak laut dengan reguler lewat telepon satelit untuk mengecek kondisi para sandera. Tapi rekaman audio percakapan yang diunggahnya ke grup WhatsApp tidak bisa menenangkan para keluarga sandera. Pemilik kapal "tidak peduli" akan nasib krunya dan "main-main," kata seorang bajak laut kepada Kapten Nasib dengan nada marah dalam sebuah panggilan.

    Pada 17 Mei 2019, hari ke-28, para bajak laut memberi Sudeep kesempatan untuk berbicara kepada Kapt. Nasib, yang meyakinkannya bahwa situasi ini hanya akan berlangsung selama beberapa hari ke depan. Namun Sudeep, sebagai pelaut dengan jabatan tertinggi, harus tetap menjaga moral teman-temannya sampai mereka bebas. "Saya berusaha," kata Sudeep dalam bahasa Hindi. "Katakan pada keluarga saya bahwa kamu telah menelepon saya."

    Setiap beberapa minggu sekali para sandera dari India itu dipindahkan dari satu bagian hutan ke bagian lain. Saat negosiasi dengan Kapt Christos tampaknya kandas, Sang Raja sendiri yang mulai datang melihat sandera. Ia tidak berkata banyak, tapi bajak laut lainnya seperti takut berhadapan dengannya. Statusnya sebagai ketua sepertinya didapatnya dari ukuran tubuhnya yang besar. Bajak laut lainnya memang berotot dan seram, tapi Sang Raja lebih tinggi dan besar--tingginya setidaknya dua meter. Senapannya lebih besar ketimbang anak buahnya, dan ia selalu membawa ikat pinggang kulit berisi peluru.

    Ia selalu muncul setiap empat atau lima hari dan dengan tenang merokok marijuana di depan sandera. Ia mengatakan Kapt Christos masih tidak menuruti permintaannya dan ini akan membuahkan konsekuensi. Sang Raja bicara dengan hati-hati, dengan Bahasa Inggris yang lebih baik ketimbang anak buahnya. Setelah berminggu-minggu disandera, para pelaut menjadi kurus; mata mereka kuning pucat dan urin mereka kadang berdarah. Setiap Sang Raja datang, sepertinya nasib mereka akan sama seperti tengkorak yang diangkat para bajak laut dari lumpur.

    Apa yang terjadi kemudian lebih aneh. Sampai detik ini, pembajakan Apecus sepertinya hanyalah penculikan biasa untuk uang tebusan. Namun pada akhir Mei, beberapa peristiwa yang terjadi menunjukkan bahwa ini bukanlah penculikan biasa. Tapi para sandera yang terluka dan bernanah di rawa delta tidak tahu akan hal ini.

    Angkatan laut Nigeria telah terang-terangan menuding perusahaan tanker minyak itu terlibat dalam pengangkutan minyak mentah curian dari Delta Nigeria ke Ghana. Serangan ke Apecus dan penculikan krunya, menurut angkatan laut, sebenarnya karena adanya perdebatan antara dua kelompok kriminal. Ada beberapa yang telah ditahan. Manager perusahaan kapal di Nigeria rupanya mengaku bahwa ia terlibat dalam perdagangan minyak ilegal.

    Kapt. Christos, pemilik kapal, rupanya menyanggah ini. Dalam surat elektronik yang dilihat oleh BBC, ia menyalahkan pemerintah India lantaran angkatan laut Nigeria menyita kapal-kapal dan krunya untuk memaksanya "bernegosiasi dengan teroris" dan membayar uang tebusan dalam "jumlah besar." Pemerintah India menyangkal versi ini. Angkatan Laut Nigeria menolak berkomentar.

    Situasi ini genting bagi para sandera. Namun tudingan tersebut --yang berisiko terhadap operasi tanker milik Kapt. Christos di Nigeria--sepertinya sukses memaksanya bernegosiasi dengan para bajak laut. Keluarga Sudeep akhirnya mendapat kabar dari seorang pejabat pemerintahan pada 13 Juni bahwa negosiasi pembebasan telah usai dan uang tebusan akan dibayarkan. Di saat yang bersamaan, para sandera diberitahu bahwa mereka akan segera bebas.

    Pada 29 Juni 2019, para sandera bangun seperti biasa dan melakukan ritual normal mereka selama 70 hari terakhir. Sebelum siang, setelah menyerahkan mangkok mie yang sudah kosong, salah satu penjaga memanggil Sudeep dan berbisik bahwa jika segalanya berjalan sesuai rencana, ini adalah hari terakhirnya di hutan tersebut. Dua jam kemudian, seorang pembajak datang membawa kabar: orang yang membawa uang tebusan tengah menuju ke sana.

    Seorang pria asal Ghana yang terlihat lemah dan berusia sekitar 60-an tahun mendekati hutan sore itu dengan sebuah kapal. Ia terlihat gugup membawa tas plastik tebal berisi dolar Amerika Serikat yang dapat dilihat dari luar. Ia tidak terlihat seperti negosiator handal. Beberapa menit setelah ia tiba, terlihat ada sesuatu yang janggal. Sekelompok bajak laut lalu memukuli pria tua tersebut. Sang Raja, berteriak soal uang tebusan yang kurang, menusuk kaki pria tersebut dengan pisau kecil yang disimpan di ikat pinggangnya. Pria itu merintih kesakitan di tanah berlumpur di hutan. Ia lalu mendekati para sandera dan bilang bahwa mereka bebas, sementara pria asal Ghana itu akan tinggal di sana. Anak buahnya tidak akan menghentikan mereka, tapi jika kelompok bajak laut lain menculik mereka, ia tidak akan berbuat apa-apa. Ia lalu melihat Sudeep sambil mengatakan: "selamat tinggal."

    Para sandera langsung lari. Mereka lari ke pinggiran delta, di mana perahu nelayan yang mereka naiki dulu bersandar. Sudeep bilang ke supir perahu untuk membawa mereka ke tempat asal. Setelah lebih dari dua bulan disandera, ia masih memakai pakaian dalamnya, meski bajak laut telah memberinya sebuah kaos sobek. Perahu itu bergoyang-goyang ketika meninggalkan hutan.

    Setelah lebih dari empat jam, supir mengatakan ia kehabisan bahan bakar dan berhenti di sebuah dermaga. Dari kejauhan, di pinggiran sebuah desa kecil, sekelompok pria bermain sepak bola tanpa alas kaki. Pelaut yang kecapekan itu pun mendekati mereka. Setelah menjelaskan bahwa mereka telah diculik, mereka dibawa ke sebuah rumah dan diberi botol air minum yang mereka habiskan saat itu juga. Tiga penduduk desa yang bertubuh paling besar menjaga para pelaut di luar rumah warga tempat mereka berlindung malam itu. Kru kapal dari India tersebut akhirnya merasa aman, walaupun masih lemah. "Sepertinya Tuhan sendiri yang menunjuk mereka menjadi penyelamat kami," kata Sudeep kemudian.

    Para kru dengan segera berada di Lagos yang sibuk, menunggu pesawat ke Mumbai. Untuk pertama kalinya sendiri di kamar hotelnya, Sudeep menengguk bir dingin, mengisi bak mandi, dan memeriksa luka-lukanya. Seorang bajak laut membacok bahunya dengan pisau ikan beberapa hari sebelumnya, yang masih terasa sakit saat ia berbaring ke dalam bak mandi berisi air panas. Seorang diplomat India memberinya satu bungkus rokok dan ia menghabiskan 12 batang dalam satu jam ke depan, sambil menatap langit-langit kamar seiring dengan mendinginnya air bak mandi.

    Delapan bulan telah berlalu setelah mereka bebas. Suniti, memakai sari berwarna kuning, duduk di lantai dapur, menggiling chapati atau roti di atas papan kayu bundar. Suaminya duduk beberapa meter darinya, menonton tim kriket India melawan Selandia Baru di TV.

    "Sudeeeeeeeep!" pekik Suniti, memanggil putranya untuk turun ke bawah dan makan, meskipun itu terdengar seperti teriakan khawatir, seakan-akan ia memastikan bahwa putranya masih ada di rumah. Ia kehilangan 20 kilogram selama disandera di hutan selama 70 hari dan pipinya tirus. Ibunya menimbangkan setiap beberapa hari sekali di bulan pertama ia kembali ke India, dan ia merasa senang jika berat Sudeep bertambah.

    Bhagyashree memberi ibu mertuanya piring logam, membuat gelang merah dan emas di tangannya melorot. "Saya yakin ia akan pulang," katanya. "Ini baru permulaan bagi kami, jadi bagaimana saya bisa hidup tanpa dirinya? Saya percaya Tuhan yang Maha Kuasa--bahwa ia akan pulang, bahwa ia harus pulang. Ini tidak bisa berakhir seperti ini."

    Mereka akhirnya menikah pada bulan Januari. Pasangan itu punya ruangan sendiri di lantai atas, tapi setiap malam keempatnya makan layaknya keluarga di ruang tamu kecil di lantai dasar. Malam ini, sepupu Sudeep, Swapna --yang terus berjuang untuk pembebasan Sudeep--datang berkunjung, dan ia menyanyikan lagu cinta Bollywood tahun 1960an setelah makan malam.

    Pulang ke keluarga dan komunitasnya yang dekat satu sama lain, Sudeep sepertinya mulai stabil. Ia sekarang bekerja di kampus pelayaran setempat, mengajar pelaut muda soal keamanan di laut, meskipun ia tidak lagi berlayar. Ia menunjukkan kebahagiaan bersama keluarga dan teman-temannya, tapi sulit mengatakan apa dampak disandera bajak laut selama berbulan-bulan terhadapnya. Mereka jarang bicara soal itu.

    "Traumanya masih ada," katanya kepada saya, saat kita mengemudi di jalanan Bhubaneswar yang gelap, diiringi musik pop dari pengeras suara di mobil. "Tapi semuanya OK. Saya menikah dan semua teman-teman dan keluarga saya di sini… Jika saya melaut maka trauma itu akan kembali lagi ke pikiran saya."

    Penyanderaan itu telah usai namun Sudeep dan pelaut lainnya masih terikat birokrasi untuk mencari tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas penculikan mereka. Sejak mereka pulang, mereka tidak mendapat gaji atau kompensasi apapun. Sudeep memperkirakan ia seharusnya dibayar US$10.000 selama ia berlayar dan disandera selama lebih dari tujuh bulan. Kapt. Christos tidak merespon pertanyaan mendetail soal penculikan itu, apakah ia keberatan jika disebut ia berhutang gaji kepada Sudeep, dan soal nasib pria Ghana yang masih tinggal di sarang pembajak.

    Dalam surat elektronik ia mengatakan: "Semua kru yang diculik telah dibebaskan dengan aman dan telah pulang ke rumah masing-masing, HANYA karena upaya pemilik kapal!" Perusahaan terus menyanggah bahwa Apecus terlibat perdagangan minyak ilegal, dan mengatakan kapal berlabuh di Pulau Bonny untuk memperbaiki kapal dan membeli suplai. Saat ini kasusnya masih bergulir di pengadilan di Nigeria.

    Pengalaman Sudeep menunjukkan rentannya situasi mereka yang terkena masalah atau dieksploitasi di lautan--sebuah wilayah yang, dalam teori, dilindungi oleh regulasi dan hukum tenaga kerja tapi kenyataannya sulit diterapkan. Pelaut merupakan garis terdepan perdagangan global--minyak dari Nigeria dapat ditemukan di stasiun bahan bakar di Eropa Barat, termasuk di Inggris, dan India dan beberapa negara Asia lainnya. Banyak cerita seperti yang dialami Sudeep yang merefleksikan harga nyawa karena kegagalan pengamanan di Teluk Guinea. Tak seperti Somalia, Nigeria--negara dengan ekonomi terbesar di Afrika--tidak mengizinkan patroli penjaga laut internasional di perairannya.

    Setelah apa yang dilaluinya, tidak terbayang bahwa Sudeep masih harus berjuang lagi. Tapi ia mengatakan ia masih akan berjuang sampai akhir. "Saya sudah melalui [penculikan] dan ini berarti saya bisa menghadapi apapun dalam hidup saya," katanya saat kami mengemudi lagi di tengah malam. "Tidak ada yang bisa menghancurkan mental saya. Karena bagi saya ini adalah kelahiran kedua saya, hidup saya kali ini berbeda."

    Saya bertanya kepadanya apakah memang demikian. "Saya tidak merasa demikian--ini adalah hidup kedua saya," jawabnya. Kami lalu parkir di luar rumahnya--jam menunjukkan pukul 11 malam tapi lampu masih menyala di dalam rumah. Bhagyashree dan orangtua Sudeep telah menanti. (LK)

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Kisah Pelaut India Diculik Bajak Laut di Perairan Nigeria
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar