Gerindra Minta Jatah 3 Menteri, Memilih Berkoalisi dengan Pemerintah? 

Daftar Isi

     

    JAKARTA- Dalam politik tidak ada teman atau musuh yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi. Mereka yang ingin bertahan lama dalam politik dituntut untuk lentur mengikuti jalan kepentingan abadi yang dinamis. Kira-kira begitulah yang ingin disampaikan Henry John Temple Palmerston, mantan Menteri Luar Negeri Inggris, 1846-1851.

    Hal ini jugalah sepertinya berlaku dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Meski berseberangan pada Pemilihan Presiden 2019 lalu. Saat itu Gerindra bersama PKS dan PAN mengusung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Sedangkan kontestasi lainnya, Jokowi-Ma'ruf Amin didukung sejumlah partai diantaranya PDIP, Nasdem, PPP, PKB dan Hanura. 

    Pada Pilpres 2019 ini terpilih Jokowi-Ma'ruf Amin. Menariknya, menjelang pelantikan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024, Partai Gerindra disebut-sebut minta jatah menteri. Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Puyuono mengakui partainya meminta jatah 3 pos kementerian. Soal diberi atau tidak, diserahkan sepenuhnya kepada Jokowi selaku pemegang hak prerogatif.

    Padahal, selama hampir 10 tahun, dua periode pemerintahan partai yang didirikan Prabowo Subianto ini lebih memilih menjadi oposisi alias berseberangan dengan pemerintah.

    Latar belakang berdirinya Partai Besutan Prabowo Subianto ini, didirikan 6 Februari 2008 oleh Prabowo Subianto. Prof. Suhardi ditunjuk menjadi Ketua Umum yang pertama dengan Prabowo sebagai Ketua Dewan Pembina. Setelah Prof Suhardi wafat pada 2014, Prabowo Subianto menjadi Ketum Gerindra.

    Selain Prabowo, penggagas didirikannya Partai Gerindra adalah pengusaha Hashim Djojohadikusumo, Fadli Zon, Ahmad Muzani, M. Asrian Mirza, Amran Nasution, Halida Hatta, Tanya Alwi, Hari Bobihoe, Sufmi Dasco Ahmad, Muchdi Pr, Widjono Hardjanto, dan Prof Suhardi.

    Mereka berkumpul pada Desember 2007, untuk merancang Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai yang akan dibentuk. Hingga kemudian Hashim mengusulkan nama Partai Gerindra. Kepala burung garuda sebagai lambang partai, merupakan gagasan Prabowo Subianto.

    Di jajaran pengurus Partai Gerindra 2015 - 2020, Prabowo Subianto menjabat sebagai Ketua Umum merangkap Ketua Dewan Pembina. Sedangkan, empat nama anggota dewan pembina, yakni Jenderal Djoko Santoso, Letjen Yunus Yusfiah, Sandiaga S. Uno, dan Fuad Bawazier. Sandiaga Uno diketahui mundur dari Gerindra saat maju Pilpres 2019.

    Ahmad Muzani yang saat ini menjadi Wakil Ketua MPR saat ini menjabat Sekretaris Jenderal Partai Gerindra. Sementara Bendahara Umum Partai ditempati Thomas A. Muliatna Djiwandono, MA.

    Pada Pemilu 2009, Gerindra berkoalisi dengan PDI-P untuk maju dalam Pilpres kala itu, dengan mengusung Megawati Soekarnoputri menjadi Capres, dan Prabowo Subianto menjadi Cawapres. Namun, pasangan tersebut harus mengakui kekalahan atas pasangan SBY-Boediono, yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014.

    Megawati-Prabowo menerima kekalahannya dengan hanya meraup 32.548.105 suara, atau 26,79 persen. Sedangkan SBY-Boediono meraih 73.874.562 suara, atau 60,80 persen. Setelah itu, Gerindra memilih menjadi oposisi bersama PDIP dan Partai Hanura.

    Pada Pileg 2014, partai Gerindra memiliki modal suara yang cukup banyak, dengan memperoleh 14.760.371 suara atau 11,81 persen. Sehingga Gerindra kembali mengusung Prabowo Subianto, yang kali ini sebagai Capres berpasangan dengan Hatta Rajasa.

    Namun, Prabowo kembali gagal dengan mendapat 62.576.444 suara atau 46,85 persen, dan harus mengakui keunggulan lawannya, yakni pasangan Jokowi- Jusuf Kalla, dengan perolehan suara 70.997.833, atau 53,15 persen.

    Gerindra kemudian kembali memilih berada di luar kabinet pemerintahan. Sebagai oposisi, Gerindra menjadi partai yang cukup kritis terhadap pemerintahan Jokowi-JK.

    Kemudian pada Pemilu 2019 yang diadakan secara serentak, Gerindra menduduki posisi kedua perolehan suara terbanyak, dan menempati 78 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat setelah meraih 17.594.839 suara (13,57%).

    Meskipun begitu, Gerindra gagal mengantarkan Prabowo Subianto sebagai presiden. Yang secara bersamaan dengan Pileg, di pertarungan Pilpres 2019 Gerindra yang berkoalisi dengan PKS, PAN, dan partai Berkarya, mengusung Prabowo-Sandiaga sebagai Capres dan Cawapres.

    Namun untuk kedua kalinya, langkah Prabowo menjadi presiden gagal, dengan meraih 68.650.239 suara atau 44,50 persen. sedangkan Jokowi-Ma'ruf memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50 persen. Jokowi-Ma'ruf pun ditetapkan oleh KPU sebagai presiden dan wakil presiden terpili untuk periode 2019-2024.

    Meski sempat terjadi sengketa, namun MK memutuskan menolak tuntutan pihak Prabowo-Sandiaga. Seiring dengan putusan MK Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah dapat menetapkan presiden terpilih.

    Hasil putusan MK itu yang kemudian menjadi titik tolak meleburnya dua poros yang berseteru. Kedua kubu akhirnya melakukan rekonsiliasi politik, dan kini hubungan Gerindra dengan PDIP terlihat mesra, menimbulkan spekulasi merapatnya Gerindra ke barisan pemerintahan.

    Partai berideologi nasionalis, yang mendapat suara tertinggi kedua pada pemilu April 2019 lalu itu, diisukan masuk barisan partai pendukung Jokowi. Isu itu kian santer setelah Gerindra mengajukan konsep-konsep pemerintahan ke Jokowi.

    Waketum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, jika konsep-konsep yang diajukan Prabowo Subianto diterima oleh Jokowi, partainya siap memperkuat pemerintahan. Namun, jika tidak, Gerindra akan tetap berada di luar.(rie/dtc)

     

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Gerindra Minta Jatah 3 Menteri, Memilih Berkoalisi dengan Pemerintah? 
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar

    Berita Terkait