Turki, Kudeta, dan Sekularisme

Daftar Isi

    Oleh : Imam Ardhy

    Republik Turki adalah salah satu Negara besar di kawasan Eurasia. Wilayahnya terbentang dari semenanjung Anatolia di Asia Barat Daya dan daerah Balkan di Eropa Tenggara. Turki adalah merupakan Republik Konstitusional yang memiliki Ibu Kota di Ankara, namun kota terbesar di negara ini adalah Istanbul. Disebabkan oleh lokasinya yang strategis di persilangan dua benua, budaya Turki merupakan campuran budaya timur dan barat yang unik dan sering dikenal sebagai jembatan antara dua peradaban. (Wikipedia).

    Turki merupakan salah satu tempat dimana tumbuh dan berkembangnya peradaban islam melalui Kekhalifahan Utsmaniyah yang merupakan kekhalifahan terakhir umat islam yang runtuh akibat masuknya pengaruh sekularisasme yang dibawa oleh salah seorang tokoh besar Turki yakni Mustafa Kemal Attaturk. Dan sampai hari ini sekularisme  masih dijadikan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Turki yang dijaga dan dikawal keberlangsungannya oleh militer Turki yang sangat kental dengan pengaruh Atatturkism.

    Dalam Kamus Dunia Baru oleh Winster makna Sekularisme adalah semangat keduniaan atau orientasi “Duniawi” dan sejenisnya. Secara khusus adalah undang-undang dari sekumpulan prinsip dan praktek yang menolak setiap bentuk keimanan dan ibadah. Sekularisme adalah pendapat yang mengatakan bahwa agama tidak layak menjadi fondasi akhlak dan pendidikan. Menurut Yusuf Qaradhawi pemisahan pemikiran agama dan politik adalah cara yang dilakukan para sekularis untuk memisahkan politik dari agama dan agama dari negara (Warjio, 2015:175)

    Turki dan Kudeta

    Jumat, 16 Juli 2015 masyarakat dunia dikejutkan dengan banjirnya pemberitaan di media tentang kudeta yang dilakukan oleh sekelompok pemberontak yang mengatasnamakan Militer Turki. Kelompok ini mengerahkan pasukan dan senjata seperti helikopter, tank dan alat berat lain untuk merebut dan menguasai gedung-gedung penting, baik itu gedung pemerintahan maupun media. Kudeta militer ditandai dengan didudukinya jembatan di selat Boshphorus yang menghubungkan Istanbul dengan daratan Turki di sisi Asia, dan diambil alihnya stasiun televisi milik pemerintah TRT oleh kelompok militer Turki.

    Ketika kudeta terjadi, Presiden Turki Racep Tayyip Erdogan dikonfirmasi sedang berlibur di luar negeri tepatnya di Kota Marmaris. Ketika dihubungi CNN Turki via Facetime, Erdogan menghimbau kepada seluruh rakyat Turki untuk terjun ke jalan dan alun-alun kota untuk menghadang upaya kudeta yang dilakukan oleh kelompok militer Turki. Kemudian himbauan ini secara cepat tersebar melalui berbagi media dan memunculkan dukungan dari berbagai pihak baik dari dalam maupun luar negeri seperti Presiden Amerika Serikat Obama, Kanselir Jerman Angela Merkel sampai Partai Oposisi di Turki sendiri, yaitu Partai Rakyat Republik.

    Dengan munculnya himbauan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri mengilhami munculnya gerakan masyarakat sipil Turki melawan kelompok militer dalam upayanya melakukan kudeta. Gerakan masyarakat sipil semata-mata terjadi sebagai upaya untuk menjaga nilai-nilai demokrasi Turki yang terancam oleh kekuatan-kekuatan militer untuk  mengkudeta pemerintah yang sah dan terpilih secara demokratis oleh masyarakat. sebagai negara yang sudah makan asam garam dengan kudeta, tentunya Turki tahu benar bagaimana menderitanya masyarakat akibat adanya disintegrasi sosial sebagai impact dari adanya kudeta tersebut.    

    Sejarah Kudeta di Turki

    Dilansir CNN Indonesia (16/72016), dalam lima dekade terakhir telah terjadi beberapa peristiwa kudeta di Turki.

    Pertama, pada 2 Mei 1960, kudeta dilakukan oleh perwira dan kadet dari Istanbul dan Ankara. Menewaskan 601 orang dan 464 divonis bersalah. Dalam kudeta itu PM Adnan Manderes dan Presiden Celal Bayar divonis penjara seumur hidup.

    Kedua pada tahun 1971, kudeta terjadi akibat konflik berkepanjangan antara kaum kiri dan nasionalis, akibatnya PM Suleyman Damirel mundur dan koalisi konservatif dan teknokrat dibentuk di bawah pengawasan militer.

    Ketiga pada tahun 1980, Jenderal Kenan Evren melancarkan kudeta,  akibatnya parlemen dibubarkan, banyak politikus ditahan, Dewan Keamanan Nasional mengambil alih pemerintahan, militer hampir berkuasa penuh.

    Keempat, PM Neomettin Erbakan mundur atas desakan militer, kelompok bisnis dan aparat hukum lain karena dianggap berbahaya bagi sistem sekuler yang dianut Turki.

    Kelima pada tahun 2007, kelompok Ergenekon dituding mencoba melancarkan kudeta atas Erdogan yang pada saat itu masih menjabat sebagai Perdana Menteri, namun gagal. Ratusan orang termasuk jurnalis, pengacara diputus bersalah. Keputusan ini kemudian dibatalkan setelah Ergenekon tak terbukti benar-benar ada.

    Dari rentetan sejarah itu kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya hanya pada masa pemerintahan Erdogan-lah baik itu ketika dia masih menjabat sebagai Perdana Menteri maupun sekarang,  menjabat sebagai Presiden upaya percobaan kudeta yang dilakukan sekelompok pemberontak yang mengatasnamakan militer “gagal” terlaksana. Dan dalam kacamata dari beberapa pengamat bahwasanya untuk pertama kali dalam sejarah kudeta di berbagai belahan dunia, terjadi “faksi” dalam tubuh militer dalam menyikapi kudeta di Turki jum’at silam, antara kelompok Pro Kudeta dengan Kontra kudeta. Tentunya hal ini menjadi fenomena baru yang tercatat dalam sejarah percobaan kudeta yang pernah terjadi di dunia.

    Turki Rasa Islam

    Sejak Erdogan menjabat sebagai Presiden dan mengendalikan jalannya roda pemerintahan di Turki, banyak nilai-nilai moral dan etika yang bernafaskan islam muncul. Hal itu yang diindikasikan menjadi salah satu penyebab terjadinya pemberontakan sekelompok militer untuk melakukan percobaan kudeta terhadap pemerintahan Erdogan. Seperti yang kita ketahui bersama Turki adalah Negara yang sekuler yang “mengharamkan” simbol-simbol agama muncul di ruang publik terutama di ranah pemerintahan. Nilai-nilai sekuler  ini yang perlahan mulai didobrak Erdogan ketika dia menjabat sebagai Presiden. Sebagai contoh kantor pemerintahan, seperti Istana Kepresidenan merupakan tempat yang harus steril dari simbol-simbol kegamaan seperti jilbab, dan lainnya. Namun, ketika Erdogan berkuasa, dogma-dogma semacam itu mulai luntur, tatkala istri Erdogan dengan bangganya mengenakan “Jilbab” yang merupakan identitas dan simbol seorang muslimah dalam acara kenegaraan di Istana.

    Tentunya hal itu menimbulkan polemik di kalangan militer Turki yang terkenal sangat sekuler, sampai-sampai beberapa panglima militer Turki enggan masuk ke dalam istana dalam acara kenegaraan,  karena dengan munculnya penggunaan jilbab di istana yang merupakan simbol agama islam dapat melunturkan nilai-nilai sekuler di Turki yang selama ini mereka jaga. Padahal apa yang dilakukan Erdogan tersebut merupakan efek dari kehidupan berdemokrasi di negara Turki, yaitu hak menyatakan pendapat (berekpresi) serta hak untuk bebas memeluk agama sesuai kepercayaan masing-masing . Dan hal itu merupakan bagian dari  Personal Rights (Hak Asasi Pribadi)  yang termaktub dalam  Universal Declaration  Of Human Rights (Piagam HAM PBB).

     

    Penulis : Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU stambuk 2013         

                  Ketua Umum KAMMI Merah Putih USU 2016-2017

    Editor : Helmi Yani

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Turki, Kudeta, dan Sekularisme
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar