Daftar Isi
LANCANGKUNING.COM-Meski menjelang usia 80 tahun, penyair legendaris Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) ternyata masih enerjik. Di panggung Munas Sastrawan Indonesia (Munsi III) Jakarta, Presiden Penyair Indonesia itu secara solo tampil selama lebih kurang satu jam non stop pada hari kedua Munsi, Selasa (3/11) di Hall Novotel Mangga Dua Square, Jakarta. Acara Munsi III ditaja oleh Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan dan Kebudayaan.
Penampilan SCB yang memakai topi dan berjaket kecoklatan itu benar-benar mendapat tepukan seratus lebih hadirin. Belasan puisi yang mayotitas terbaru dibacakan SCB dengan vokal berat dan terjaga. Kadangkala SCB meningkahinya dengan tiupan harmonika yang khas. Kadang juga menyelinginya dengan menyanyikan lagu-lagu Barat berirama blues.
''Beginilah saya baca puisi saat berusia 80 tahun,'' kata SCB saat baru menyelasaikan pembacaan puisinya. Hal di luar dugaan, SCB juga membacakan puisi 'Game' yang dihadiahkan untuk penyair Fakhrunnas MA Jabbar dan puisi 'Siak' yang diperuntukkan bagi penyair Kunni Masrohanti. Selain itu, SCB membacakan puisi-puisi yang sudah dikenal luas oleh masyarakat mulai puisi kepemudaan, nasehat hingga puisi cinta.
Salah satu puisi fenomenal yang dibacanya berjudul 'Wahai Pemuda Mana Telurmu'.
Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?
Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?
Burung jika tak bertelur
Tak menetas
Sia-sia saja terbang bebas
Kepompong menetaskan
kupu-kupu,
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga
Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi,
Menetas jadi,
Hakekat lautan
Setelah kupikir-pikir
Manusia ternyata burung berpikir
Setelah kurenung-renung
Manusia adalah
burung merenung
Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur
Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah
Wahai para pemuda
Wahai garuda
Menetaslah
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!
Menetaslah
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas
Menetas kau
Dalam sumpah mereka
Menurut Tardji, puisi ini dibuat untuk pemuda Indonesia yang melahirkan bangsa ini dengan puisi melalui teks Sumpah Pemuda sebagai puisi besar. Lalu dia pun bertanya, ''Puisi telah melahirkan bangsa ini, yakni berupa Sumpah Pemuda sebagai puisi besar. Lalu apa yang sudah diberikan bangsa ini kepada puisi, khususnya sebagai pemegang kebijakan. Tapi penyair juga jangan minta-minta, terus berkarya untuk kearifan dan memberi ma'rifah bagi bangsa ini.''
Pada malam harinya di tempat yang sama secara bergiliran tampil pula belasan penyair berbagai kota di Indonesia di antaranya Asrizal Nur, Salman Yoga, Ardi Susanti, Rini Intama, Saut Poltak Tambunan dan sebagainya.(rie/rls)
Komentar