Daftar Isi
Lancang Kuning - Pemerintah transisi Sudan menyetujui kesepakatan dengan kelompok pemberontak untuk mengakhiri 30 tahun sistem pemerintahan di bawah hukum Islam. Keputusan ini sekaligus mengakhiri Islam sebagai agama resmi di negara tersebut.
Perdana Menteri Sudan, Abdalla Hamdok, dan Pemimpin Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan - Utara (SPLM-N), Abdelaziz Al-Hilu, menandatangani perjanjian tersebut pada Kamis (3/9) di ibu kota Ethiopia, Addis Ababa.
"Negara tidak akan menetapkan agama resmi. Tidak ada warga negara yang dapat didiskriminasi berdasarkan agama mereka," bunyi pernyataan itu.
"Agar Sudan menjadi negara demokratis di mana hak-hak semua warga negara diabadikan, konstitusi harus didasarkan pada prinsip 'pemisahan agama dan negara', di mana tidak ada hak untuk menentukan nasib sendiri yang harus dihormati," lanjut pernyataan tersebut.
Mengutip Middle East Monitor, kesepakatan itu muncul kurang dari sepekan setelah pemerintah menyetujui kesepakatan damai dengan koalisi kelompok pemberontak di Front Revolusi Sudan di Juba, Sudan Selatan.
Penandatangan final dari kesepakatan itu akan dijadwalkan pada bulan depan. Diharapkan, konflik di wilayah Darfur dan bagian lain di negara itu juga dapat berakhir.
Langkah-langkah yang diambil oleh otoritas Sudan merupakan upaya terbaru untuk menghapus hukum syariah yang telah berlaku selama tiga dasawarsa yang diterapkan di bawah pemerintahan Omar Al-Bashir.
Pada April lalu,Omar digulingkan oleh militer setelah aksi protes anti-pemerintah yang berlangsung berbulan-bulan di ibu kota Khartoum.
Kemudian pada Agustus lalu, telah ditandatangani sebuah konstitusi sementara yang mengecualikan referensi apapun ke hukum syariah sebagai sumber utama hukum di Sudan.
Al-Bashir berkuasa dalam kudeta militer 1989 yang diatur oleh Pemimpin Gerakan Islamis Utama, Hassan Al-Turabi, yang membantu mengawasi penerapan ketat hukum Islam.
Di bawah kepemimpinan baru, Sudan telah muncul dari isolasi internasional. Amerika Serikat menunjuk Sudan sebagai sponsor teror sejak 1993 dengan menjatuhkan sanksi hingga 2017.
Dilaporkan pula bahwa di antara reformasi lainnya, AS telah mengkondisikan penghapusan Sudan dari daftar normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Meskipun menentang normalisasi, bulan lalu terungkap bahwa Pemimpin Mossad telah bertemu dengan seorang pejabat tinggi Sudan di Uni Emirat Arab (UEA).
Sementara itu, ketika reformasi tersebut disambut baik oleh para juru kampanye hak asasi manusia, Epoch Times melaporkan bahwa mereka dikritik secara terbuka oleh partai-partai Islam di negara itu, termasuk oleh Partai Kongres Populer (PCP).
"Jelas bahwa pemerintah ini, yang mematuhi Barat, akan melakukan sekularisasi penuh terhadap negara, yang bertentangan dengan nilai-nilai dan agama kami," tegas PCP.
Komentar