Keadilan Kasus Novel Baswedan Mungkin Butuh 'New Normal' 

Daftar Isi

    Foto: Dosen/ Aktivis PAHAM Indonesia, M Alpi Syahrin, SH, MH 


    Lancang Kuning - Lord Denning, keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan temporal. Keadilan itu bukan hasil Penalaran tapi produk nurani. 

    Pada 11 April 2017 diperkirakan sekitar pukul 05.10 WIB dalam perjalanan pulang dari Masjid setelah melaksanakan Sholat Subuh berjamaah tepat di Masjid Al-Ihlsan Kelapa Gading, Jakarta Utara. 

    Subuh itu, sontak publik dibuat geger atas teror yang menimpa salah satu penyidik KPK Novel Baswedan. Ciutan #Save Novel menjadi trending topik di Media Sosial maupun Media Televisi Indonesia. 

    Atas peristiwa itu, Novel terpaksa  menjalani perawatan Intensif di rumah sakit dan melakukan beberapa kali operasi, meskipun kondisi mata Novel baswedan tidak dapat normal seperti sediakala. Diperistiwa itu pula pekerjaan utama sebagai penyidik KPK  terhenti sementara, banyak asumsi dugaan bahwa Novel sedang menangani kasus korupsi berskala 'Jumbo'

    Dalam kasus ini, aparat penegak hukum diminta untuk mengungkap dan mengusut kasus penyiraman air keras kepada Novel untuk segera dituntaskan secara transparan. Akan tetapi ternyata prosesnya memakan waktu yang cukup lama, sampai Komnas Ham ikut membentuk tim pencari fakta untuk menyelesaikan kasus ini. 

    Disisi lain, Kapolda Metro Jaya yang mengusut perkara tersebut juga mengalami kesulitan, diantaranya kesulitan untuk menganalisis rekaman Kamera CCTV, yang pada akhirnya Polda Metro Jaya meminta Bantuan kepolisian Federal Australia (AFP) untuk menganalisa. 

    Setelah 15 bulan pasca kejadian, tepatnya 27 juli 2018, Novel Baswedan kembali Aktif sebagai Satgas Penyidikan pada Direktorat Penyidikan Kedeputian bidang Penindakan, namun tersangka belum ada titik terang. 

    Meskipun Novel Baswedan telah dapat bekerja aktif sebagai Satgas Penyidikan pada Direktorat Penyidikan Kedeputian bidang Penindakan KPk, namun upaya untuk mengungkap kasus ini tidak pernah pudar, berdasarkan surat tugas Nomor Sgas/3/I/HUK.6.6/2019 yang ditandatangani Oleh Polri Tito Karnavian pad atahun 2019, yang pada pokoknya membentuk Tim Gabungan Pencari fakta, dan menemukan beberapa fakta, yaitu  penyerangan Novel diduga terjadi karena pekerjaannya sebagai penyidik KPK. 

    Kedua, Novel diduga menggunakan kekuasaannya secara berlebihan, yang menyebabkan sejumlah pihak sakit hati. Ketiga, ada enam kasus 'high profile' yang ditangani Novel selama menjadi penyidik, yaitu kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar; kasus Mantan Sekjen MA, Nurhadi; kasus korupsi mantan Bupati Buol, Amran Batalipu; dan kasus Wisma Atlet. 

    Tetapi tidak dijelaskan secara spesifik, apakah Novel baswedan disiram air Keras karena poin-poin tersebut atau tidak.

    Dalam prosesnya di Kepolisian, penyidik memeriksa 68 orang saksi, 38 CCTV di sekitar rumah Novel Baswedan serta 91 Toko Kimia. Pada akhirnya, 26 Desember 2019 Polri menangkap dua pelaku Penyerangan dengan air keras terhadap Novel Baswedan. 

    Dengan nama pelaku Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette adalah dua oarang anggota kepolisian Republik Indonesia aktif, telah mengabdi pada institusi tersebut selama 7 tahun. Pada prosesnya dipersidangan, kedua Terdakwa didampingi 9 Penasehat Hukum dari Mabes Polri, meskipun diketahui bahwa kedua terdakwa tidak sedang melaksanakan tugas kepolisian pada saat menyerang Novel Baswedan.

    Dalam persidangan, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette didakwa telah melakukan penganiayaan berat  terencana terhadap Novel Baswedan, dijerat dengan sejumlah Pasal, yaitu pasal 351 atau Pasal 353 atau Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP. 

    Dalam fakta-fata Persidangan Jaksa Penunntut Umum telah melaksanakan Tugasnya, meskipun Novel Baswedan sebagai korban merasa bahwa banyak kejanggalan, karena setidaknya Jaksa penuntut Umum tidak menghadirkan saksi-saksi penting dalam kasus ini, padahal tiga saksi yang dimaksud juga telah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas Ham dan Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian. 

    Puncaknya adalalah ketika Jaksa Penuntut Umum menuntut dua Terdakwa, Rahmat kadir dan Ronny Bugis Mahulette dengan Hukuman 1 tahun penjara, keduanya dinilai melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 353 ayat 1 dan 2 KUHP yang digunakan oleh JPU berbunyi: (1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 

    Sedangkan Pasal 355 ayat 1 KUHP berbunyi: Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

    Penulis menilai bahwa proses penanganan kasus Penyiaman air Keras terhadap Novel Baswedan adalah salah satu proses penanganan kasus yang unik yang menjadi perhatian Publik, sejak 11 April 2017 sampai dengan 15 Juni 2020, lebih tiga tahun berlalu, dengan banyak proses Operasi yang dijalani Novel Baswedan, banyak pihak yang terlibat dalam penanganan kasus ini, sudah ratusan atau mungkin ribuan berita, artikel, Komentar, baik mendukung ataupun pesimis dengan proses Penegakan Hukumnya. 

    Saat ini kita dihadapkan pada situasi yang tidak dapat kita hindari bahwa memang pada dasarnya akan selalu ada komentar Positif ataupun negatif, misalnya kalau terdakwa dihukum 12 tahun penjara, bisa saja muncul argumentasi kenapa hanya pelaku saja yang dihukum, cari otak Pelakunya, tentu saja meyakinkan kita bahwa Hukum hanya tajam kebawah dan tumpul ketas. 

    Disisi lain pula, kita sulit untuk memahami alasan-alasan Jaksa penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa Tidak Sengaja melakukan Perbuatannya padahal dilakukan setelah sholat subuh, dengan air Keras dan ratusan alasan lainnya.

    Tuntutan jaksa Penuntu Umum terhadap  Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, mereka adalah Aparat kepolisian, begitu pula dengan Novel Baswedan yang juga berasal dari Institusi yang sama, meskipun saat ini sebagai Salah satu penyidik KPK, pada pokoknya mereka adalah sesama  Aparat Negara yang akan menjaga dan mengayomi Masyarakat menuju negara yang  Adil, Makmur, Sejahtera sesuai dengan Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 

    Namun saat ini kata adil pun menjadi perdebatan, apakah satu tahun tuntutan kepada terdakwa adil menurut Novel Baswedan sebagai korban yang merasakan sakit tak terhingga pada matanya seumur Hidup. Kalau saja Kata Adil atau keadilan saja masih dalam perdebatan dan Sulit didapatkan, bagaimana mungkin rasanya kita dapat membahas Makmur dan Sejahtera. Mungkin Saja Butuh New Normal Untuk Mewujudkannya. (LK) 

    Penulis: Dosen/ Aktivis PAHAM Indonesia, M Alpi Syahrin, SH, MH 

    Catatan: Isi dan judul opini merupakan tanggung  jawab penulis. 

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Keadilan Kasus Novel Baswedan Mungkin Butuh 'New Normal' 
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar