Keluwesan Semangat Literasi bagi Orang Tua dan Anak

Daftar Isi

    Kehadiran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud), Bapak Anies Baswedan, Ibu Najwa Sihab sebagi Duta Aksara, Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Ibu Sri Sularsih, serta Bapak Taufik Ikram Jamil sebagai sastrawan Riau dalam mengisi dialog di Perpustakaan Soeman HS pada 18 Maret 2016 lalu memang menjadi momentum tersendiri dalam membangkitkan dunia keberaksaraan, terkhusus bagi Riau. Walau penulis sendiri tiada menghadiri gelaran tersebut, tapi atmosfirnya jelas terasa dan menjadi perbincangan oleh beberapa kalangan. Siapa sangka dalam kesempatan itu Riau menjadi salah satu yang didaulat sebagai daerah keberbangkitan semangat literasi dan disandingkan dengan beberapa daerah lain. Mengingat besarnya animo di kalangan siswa dan mahasiswa (baca: anak-anak dan pemuda) beberapa waktu terakhir terhadap dunia literasi, maka diukur-ukur wajarlah Riau mendapatkan amanat demikian.
    Hanya saja kabar tentang posisi Indonesia yang menempati urutan ke 63 dari 65 negara dalam hal literasi memang pula disayangkan. Perbandingan dan tolok ukurnya yakni dengan negeri jiran seperti Singapura dan Malaysia. Satu orang anak di sana dapat saja “menyantap” lima buku dalam rentang waktu satu tahun. Dibawa lagi ke Eropa, masyarakat yang terkenal menggemari dan haus akan ilmu dan bacaan itu bahkan per orangnya dapat menamatkan puluhan buku dalam rentang satu-kali-revolusi-bumi itu. Soal bagaimana di Indonesia, tentu perlu diselidik lebih lanjut berapa buah buku per anak dalam setahunnya.
    Kita teringat dengan apa yang dilaksanakan di Jerman pada Oktober tahun lalu yakni gelaran Frankfurt Book Fair 2015. Di sana, sebanyak 200 judul karya penulis Indonesia beraliran sastra dan anak-anak telah dibeli hak ciptanya oleh sejumlah penerbit asing dan diterjemahkan ke sejumlah bahasa, antara lain bahasa Jerman, Inggris, Melayu dan Korea. Uniknya pula, usaha yang dilakukan oleh para penulis dan penerbit dalam gelaran tersebut mendapat banyak tanggapan dan lirikan untuk karya cipta dan hak penerbitannya dibeli dan diterjemahkan oleh penerbit asing di sana. Itu masihlah lagi buku-buku tersebut beraksarakan bahasa Indonesia. Apalagi bila telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan bahasa asing lain, tentulah bisa meningkatkan minat penerbit-penerbit di sana.
    Maka hal ini menjadi dekat dengan keironian, manakala mengetahui bahwa karya-karya aksara Indonesia yang kaya akan sentuhan budaya, nilai luhur, serta aspek-aspek lain yang terkandung di dalamnya diminati oleh pembaca mancanegara, sementara di negeri sendiri minat baca dinyatakan kurang dan tak terlalu baik. Bukan tak mungkin, rendahnya minat baca dan semangat beraksara bisa berdampak pada ketertinggalan dari masyarakat lainnya yang punya semangat baca yang lebih tinggi.
    Pernyataan ini bukanlah “salah kamar”, sebab dalam berkehidupan selalu ada ilmu yang menyertai. Ilmu, mau atau tidak terlampir dalam literatur-literatur bacaan. Rendahnya minat baca, dapat berbuah tak baik pada apa yang berlaku di masyarakat tersebut.
    Untuk hal ini, bolehlah kita melirik “perasaan cemburu” yang pernah melanda Tan Malaka dalam masa-masa pelariannya dulu. Tan Malaka pernah cemburu pada Ir. Soekarno manakala mereka berdua terpisah jarak, tapi tengah menghadapi situasi yang sama. Sama-sama berusaha lepas dari belenggu penahanan masa itu. Tan Malaka juga pernah cemburu pada Mohammad Hatta manakala dalam pengasingannya, Hatta dibekali berpeti-petian buku yang menemaninya. Sementara tidak demikian dengan Tan Malaka.
    Ir. Soekarno yang kala itu, seperti apa yang disebutkan Tan Malaka dalam pembukaan buku Madilog-nya menuliskan betapa gelisahnya ia melihat tokoh yang kelak menjadi Bapak Proklamator tersebut lebih berkesempatan besar dalam menyampaikan narasi-narasi politiknya untuk perjuangan kemerdekaan. Sementara Tan Malaka, keterbatasan akan sumber daya yang dimiliki, ditambah dengan status politiknya di mata Nippon membuatnya harus berjuang dari negeri ke negeri untuk berhidup.
    Namun kecemburuan pada Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta yang dimaksudkan bukanlah kecemburuan buta. Apalagi dengan watak Tan Malaka yang memang terkenal pantang “berpangku-pangku tangan dan bergoyang-goyang kaki”. Perjalanannya dari negeri ke negeri justru membuatnya memburu ilmu-ilmu lainnya. Lewat pengamatan, pun lewat buku bacaan yang diperoleh baik dari hasil pembelian sendiri maupun pinjam-meminjam pada orang-orang yang dijumpainya.
    Lewat sana lahirlah tulisan-tulisan. Pemikiran-pemikirannya dituliskan dan menghasilkan beberapa buku. Tulisan tak hanya di atas kertas, tapi juga terterapkan dalam kehidupan perjuangannya dari negeri ke negeri itu. Sampai pun ia kembali, aktualisasi pemikirannya tak berhenti. Keputusan Presiden RI No. 53 pada tanggal 28 Maret 1963 pun, pada akhirnya Tan Malaka ditetapkan sebagai seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
    Begitulah sekilas satu kisah di antara banyak lainnya tokoh yang punya gairah dalam memburu literasi, serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan.
    Budaya Literasi
    Bolehlah kiranya memaknai literasi menggunakan apa yang disampaikan oleh Richard Kern dalam Literacy and Language Teaching. Kern katakan, “Literacy is the use of socially, and historically, and culturally situated practices of creating and interpreting meaning through texts (Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks). Maka pahamlah kita bahwa kekayaan literasi bergantung pada keterkayaanya sosial, historis dan kultur yang ada di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan.
    Untuk hal tersebut, literatur-literatur yang ada bukan lagi diragukan kekayaannya di tengah-tengah masyarakat kita. Di Perpustakaan Soeman HS sendiri, hingga Februari 2016 ini tercatat jumlah buku yang ada sekitar 500.000 eksemplar dengan lebih kurang 80.000 judul buku. Untuk ukuran ketersediaan bahan bacaan, tentulah itu menjadi angka yang sangat besar. Belum lagi dalam hal budaya, perpustakaan daerah kita tergolong serius. Bilik Melayu yang ada menjadi penyedia literatur-literatur yang diperlukan. Maka wajarlah perpustakaan ini mendapat akreditasi A dari Perpustakaan Nasional.
    Pertanyaannya sekarang dengan begitu banyak bahan bacaan yang menjadi indikator kebangkitan semangat keberaksaraan, dari mana hendak dimulai bacaan-bacaan itu?
    Pertanyaan tersebut wajar mencuat, sebabnya dengan umur kita sebagai manusia yang singkat tak akanlah mungkin untuk menyantap semuanya sekaligus. Kita tak pula bisa berharap akan seberumur seperti Nabi Nuh yang panjang untuk berkesempatan menyerap segala kandungan kekayaan aksara dalam buku-buku yang tersedia.
    Meminjam istilah seorang Dr. Adian Husaini, cendikiawan muslim yang menaruh banyak perhatian pada dunia pendidikan, perlu adanya pengetahuan terlebih dahulu tentang mana yang “fardhu ‘ain” dan mana yang “fardhu kifayah”. Perlu diketahui mana ilmu pada aksara-aksara yang termaktub dalam literatur-literatur yang tersedia yang mendapat prioritas untuk dibaca, mana pula yang dikemudiankan. Prioritas, maksudnya adalah bacaan-bacaan yang pada akhirnya membentuk cara pandang (interpretasi) yang benar dari seorang insan untuk peka terhadap situasi sosial dan historis, serta kultural, kemudian bertindak secara benar keatasnya. Dikemudiankan, maksudnya usai memiliki wawasan yang mendasar dari bacaan-bacaan “fardhu ‘ain”, maka yakinlah kita bahwa orang tersebut akan mudah pula memilah isi kandungan yang memiliki kebermanfaatan dalam literatur-literatur yang tergolong “fardhu kifayah”.
    Pertanyaan lain yang coba penulis munculkan adalah apakah “amanat” untuk menjadi provinsi literasi bagi Riau dari Mendikbud ini terkhusus untuk dipenuhi oleh anak-anak-anak dan pemuda saja?
    Dr. Adian, penulis buku Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab ini dalam sebuah seminar memberi kiasan yang cukup “menjentik telinga” banyak orang tua. Beliau menggambarkan bagaimana orang tua kerap luput akan kewajibannya perihal dunia keberaksaraan ini. Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, keberkayaan literasi akan berkaitan dengan keberkayaan ilmu. Keberkayaan ilmu akan menunjang aktualisasi diri dalam berkehidupan.
    Orang tua memandang bahwa yang berkewajiban untuk mengaktualisasi diri melalui literasi cukuplah anak-anaknya saja. Sementara orang tua cukup pula sekadar mencari nafkah dan kebutuhan bagi anaknya dalam menempuh pendidikan dan “perburuan” akan literasi tersebut. Dalam bahasa banyak orang tua, “Biarlah saya yang tak banyak ilmu dan berkuras badan mencari nafkah, tapi anak-anak saya menjadi orang yang kaya ilmu pengetahuan.”
    Cara pandang seperti ini tak salah, tapi tak sepenuhnya benar. Benar Ir. Soekarno berujar, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia.” Benar seorang Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie cerdas sebab sudah belajar sejak kecil. Benar bahwa pendidikan dan keberminatan akan litetasi dimulai sejak dini. Namun akan keliru manakala dipandang ketika sudah terlanjur tak akrab dengan literasi di masa kecil dan terlanjur dewasa menjadi orang tua, cukup anak-anaknya saja yang mengenyam pendidikan yang baik.
    Minat dan kepekaan terhadap literasi tak terbatas usia.
    Kita boleh melihat hikmah tentang para sahabat Nabi Muhammad untuk meyakinkan pendapat ini. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, serta banyak sahabat lainnya masuk ke dalam Islam pada usia yang sudah dewasa. Mereka mendapat hikmah itu bahkan pada saat usia yang tergolong tak lagi muda. Sementara Islam yang tak hanya dalam konteks agama dan keyakinan, tapi juga peradaban terkenal akan dekatnya dengan tradisi ilmu.
    Dalam usia yang sudah dewasa, bahkan beberapa tergolong tak lagi muda dibekali dengan keilmuan-keilmuan yang menyertai Islam. Dalam usia itu pula, para sahabat tersebut justru membentuk masyarakat yang semula dikenal dengan jahiliyah bertransformasi menjadi masyartakat yang kaya akan keilmuan dan keliterasian. Banyak sahabat yang menuliskan kitab-kitab, sementara itu pula luwes dalam aktualisasi ilmu-ilmunya.
    Ir. Soekarno punya latar belakang keluarga yang akrab dengan literasi. BJ Habibie kecil punya seorang ayah pakar pertanian yang pula menanamkan worldview (pandangan hidup) yang membuatnya akrab dengan literasi dan ilmu. Para sahabat Nabi Muhammad menjadi orang-orang yang cakap dengan ilmu dan mengajarkannya pula pada keluarga mereka. Mungkin saja orang tua-orang tua tersebut memang paham, “Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik.”
    Azam Mendikbud pada Riau sebagai provinsi literasi tentulah sungguh mulia. Dalam mewujudkan itu perlu kesinergian masyarakat yang memang menaruh kecintaan terhadap literasi yang tidak hanya anak-anak dan kaum muda, tapi juga para orang tua. Orang tua yang memiliki wawasan luas mengadirkan koridor yang benar bagi anak-anaknya menjadi insan yang benar pula. Dengan begitu, diharapkan betul dapat terbentuk masyarakat dengan semangat literasi yang menyeluruh.

    Novaldi Herman

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Keluwesan Semangat Literasi bagi Orang Tua dan Anak
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar