Daftar Isi
Foto: Ilustrasi
LancangKuning.com, KALIMANTAN - Keberadaan Suku Dayak di Pulau Kalimantan terdesak oleh pembukaan lahan perkebunan sawit hingga pembangunan di Pulau Kalimantan.
Wakil Bendahara Umum Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Dagut H. Djunas mengatakan pembukaan lahan perkebunan sawit banyak dibangun di atas tanah adat. Dengan iming-iming kesejahteraan, Suku Dayak pun rela menyerahkan tanah turun temurun warisan leluhur itu kepada perusahaan.
Baca Juga: Dulu dapat Sepeda dari Presiden Jokowi, Kini Berakhir Bunuh Diri
Sayangnya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Banyak masyarakat Suku Dayak yang belum mendapatkan pembayaran penuh atas lahan mereka.
"Kenyataannya kehadiran perkebunan kelapa sawit sangat menyengsarakan masyarakat. Lahan mereka habis dikuasai oleh perkebunan kelapa sawit," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (17/10).
Baca Juga: Lawan China, Indonesia Menang dengan Skor 3-1
Berkaca dari pengalaman pahit terhadap janji korporasi itu, Dagut meminta pemerintah memberikan tanah seluas 5 Hektare (Ha) per keluarga dalam rangka pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Ia juga meminta pemerintah mempersiapkan hutan adat minimal 10 ha. Tujuannya, masyarakat Suku Dayak tetap bisa menjadi tuan rumah di tanah sendiri.
Berikut petikan wawancaraCNNIndonesia.com bersama Wakil Bendahara Umum Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Dagut H. Djunas.
Apa peran dan tujuan dibentuknya Majelis Adat Dayak Nasional?
Forum ini memperjuangkan hak Suku Dayak. Perjuangan melalui forum ini adalah melihat selama ini masyarakat Suku Dayak dalam memperoleh hak atas tanah sangat sedikit sekali. Jadi kami berharap agar masyarakat Suku Dayak memperoleh 5 ha tiap kepala keluarga. Kemudian yang 5 ha ini diberikan sertifikat gratis.
Bagaimana Suku Dayak memandang rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur?
Kami menyambut dengan gembira, secara umum Suku Dayak menyambut dengan baik dan gembira pemindahan ibu kota di Kalimantan Timur. Oleh sebab itu, kami harap pemindahan ibu kota ini jangan malah menjadikan kami sulit hidup atau malah menjadi bencana bagi kami seperti sawit yang sekarang.
Baca Juga: Dirut Pelindo III: Bersama Irvandi Gustari, Pelindo akan Semakin Kuat
Dulu, kehadiran perkebunan sawit warga Suku Dayak diimingi bisa sejahtera, warga Suku Dayak bisa makmur. Tetapi kenyataannya, kehadiran perkebunan kelapa sawit sangat menyengsarakan masyarakat. Lahan mereka habis dikuasai oleh perkebunan sawit.
Dengan pemindahan ibu kota yang dinakhodai Presiden Joko Widodo ini, kami harap dan kami yakin tidak menjadikan masyarakat Suku Dayak terpinggir dan menjadi penonton, tetapi memberdayakan Suku Dayak yang ada di Kalimantan.
Bagaimana kondisi Suku Dayak dengan kehadiran perkebunan sawit?
Kondisi Suku Dayak di sekitar perkebunan sawit malah menjadi penonton setia dan menderita. Mereka sama sekali tidak mendapatkan yang telah dijanjikan, seperti kebun plasma dan kemitraan.
Baca Juga: Tempat Wisata di Riau
Masyarakat Suku Dayak menyerahkan lahan adat di sekitar wilayah masing-masing, tetapi sejak tahun 2002 sampai sekarang masih punya utang dan tidak menyejahterakan masyarakat. Tetapi perusahaan perkebunan sawit bisa berkembang.
Apa arti tanah adat bagi masyarakat Suku Dayak?
Tanah adat sangat berharga bagi Suku Dayak karena itu merupakan tempat mereka menggantungkan hidupnya. Apalagi hutan adat, hutan adat sama seperti orang tua bagi Suku Dayak, sama seperti susu dari ibunya. Pasalnya, dulu masyarakat Suku Dayak mendapatkan sumber kehidupan dari hutan, seperti sayuran dan daging.
Kami meyakini, seperti deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam hutan adat ada empat hak masyarakat adat, berburu, memungut hasil hutan, meramu, dan tempat religius magis.
Baca Juga: Makanan Khas Pekanbaru
Tanah adat itu digarap secara turun temurun. Tanah adat untuk satu keluarga tidak lebih dari 55 ha. Tanah adat ini digunakan untuk berladang, dan hasil berladang itu bisa digunakan sampai masa depan, misalnya hasil tahun ini bisa jamin kebutuhan hidupnya sampai tahun depan.
Berapa luass tanah dan hutan adat yang tersisa?
Dari data kami, ada 285 desa sudah dikelilingi oleh sawit. Kemudian ada data sementara 350 desa yang masuk dalam kawasan hutan. Artinya, masyarakat tidak bisa membuat sertifikat dan legalitas hak atas tanah apapun karena dianggap masuk kawasan hutan.
Pembangunan ada kekhawatiran akan mengurangi hutan adat?
Pemindahan ibu kota dalam hati kecil kami memang ada kekhawatiran, tapi kami percaya pemerintah menempatkan posisi yang benar. (LKC)
Komentar