MBOK E

Daftar Isi

    Ia membawa beban dari separuh tubuhnya yang tak berfungsi. Merasai hidup yang semakin habis. Merasai bahwa hidup sudah tak guna lagi jika hanya menyulitkan dan merepotkan orang lain.

    Ia perempuan. Yang seperempat abad hidupnya dihabiskan untuk berbakti kepada orangtua. Yang setengahnya lagi ia habiskan untuk membahagiakan hidupmu, mengasuh dan memberi cinta kasih yang tak tertangguhkan pada buah-buah hatimu. Dan selebihnya ia langkaui dengan membantumu mengolah tanah, merawat tanaman-tanamanmu, bahkan memberi makan ternakmu.

    Ia temanimu sepanjang hari, tak henti sampai tangan lembutnya berubah jadi kasar dan berkapal. Setianya ia hingga habis gigi dan putih rambutnya pun masih menanyai keberadaanmu, memastikan engkau masih baik-baik saja. "Pak Pon? Pak Pon?" panggilnya.

    Mbok E, begitu kupanggil dirimu. Mengenang beberapa hari yang kuhabiskan denganmu. Ah! Aku mungkin hanya seorang anak yang nakal dan manja bagimu. Maaf ya mbok...

    Aku tahu, di dalam hidup ini sangat berlaku etika balas budi. Terlebih saat orang lain memberikan seluruh hidupnya untuk orang lain. Begitupun dengan segala hal yang engkau berikan padaku. Mbok... hati seperti apakah yang engkau miliki? Mengapa aku tak punya hati sepertimu, seluas samudera dan setenang danau segara anak di gunung Rinjani.

    Dulu, ketika aku menjadi pesakitan, aku merasa hanya Mboklah satu-satunya orang yang menyayangiku. Di saat orang lain menyalahkan kondisiku, engkau menghiburku dengan berurai airmata, "sing sabar yo nduk... ndang waras... diombeh obate, lek dikongkon mangan nuruto..." (yang sabar ya nduk, cepat sembuh, diminum obatnya, kalau disuruh makan harus nurut)katamu.

    Dan saat obat pahit harus kutelan karena sudah waktunya, aku dengan jenuh menolak hingga membuat bapak marah. Lucunya, mbok e malah balik memarahi bapak, katanya tak usah diberi obat karena kasihan melihatku. "Kate dijarke loro a?" (Mau dibiarkan sakit apa?) sambut bapak dengan meredam kesabarannya.

    Kadang, malamnya Mbok e menginap di rumah dan menemaniku tidur. Memeluk tubuhku yang tinggal belulang, dan berkali kali kulepas pelukannya karena tubuhku terlalu kurus dan ringkih. Kadang juga, dengan tangan keras dan kasarnya ia memijat badanku, mengelus rambutku. Atau ketika ia terjaga dan melihatku tak juga tidur ia memerintahku agar segera lelap. Padahal, aku sudah kenyang tidur karena kondisiku yang hanya bisa berbaring sepanjang hari.

    Mbok e, aku tahu sakit itu tidak enak, seperti yang engkau rasakan saat ini. Perasaan sedih berkecamuk dimana-mana. Pun kita tak menginginkan adanya. Qadarullah, semoga bisa menjadi penggugur dosa...

    Mbok e, kepulanganku kini tak lagi seperti kemarin-kemarin. Dan aku harus memposisikan hatiku akan perubahan-perubahan cuaca seperti ini. Ada kalanya musim sedih, ada kalanya musim bahagia. Bukankah yang abadi di dunia ini adalah perubahan, ya kan?

    Mbok... andai engkau bisa membaca. Cucumu ini sedang membicarakanmu. Mengetik-ngetik keypad handphone di sampingmu. Ah, masa cuma aku saja yang pandai membaca? Coba saja kalau Mbok e bisa, pasti aku tak perlu repot-repot membacakan tulisan untukmu, memastikan tanggal expired di kemasan-kemasan yang telah engkau beli, atau bahkan engkau bisa menjewerku karena tulisan ini, hehe.

    Mbok, aku jadi teringat ceritamu tentang sekolah. Katamu, seumur hidup engkau tak pernah mengenyam bangku sekolah, terlebih engkau hidup di zaman kolonial. Bahkan untuk membiayai sekolah Mae engkau harus menjual ini-itu. Dan sampai kelas empat SD engkau tak sanggup lagi membiayai sekolah Mae. Namun, akhirnya engkau bisa juga menyekolahkan anakmu yang bungsu sampai SMA, pamanku. Engkau memberikan segalanya pada mereka, asih dan asuhmu yang sepenuh jiwa.

    Mbok e, waktu begitu cepat berlalu. Dan kenangan itu bak hujan, merindukan. Mbok, tiap kali aku pulang, engkau selalu bilang bahwa aku patut bersyukur atas kesembuhanku. Engkau memegangi badanku yang tak sekurus dahulu. Aku hanya tertawa dan mewajarkan keadaan. "Ya iyalah mbok, kan dikasih makan terus makanya gendut." ujarku.

    Aku rindu mbok, rindu bersamamu... Kadang aku merasa bersalah meninggalkanmu, membiarkanmu sendirian yang hanya bisa memandangi dinding kamar bercat putih. Melihatmu bagaimana harus berjalan membuatku ingin menangis. Aku tahu, aku belum terbiasa dengan cuaca seperti ini, aku tahu...

    Jika aku menginap di rumahmu, sebelum tidur aku melihat dan memperhatikanmu. Membaca gurat di wajahmu, uban putih di rambutmu, dan juga tubuh kurusmu. Semua itu mengingatkanku di posisi yang sama saat dulu.
    Mbok... aku tak ingin mengulang rasa sakit yang sama lagi. Melihatmu seperti ini membuatku selalu ingin kembali dan tetap di sini, menyeduh teh hambar untukmu, menggoreng tahu dan melumuri kecap kesukaanmu, menanak nasi yang hampir jadi bubur, bercerita tentang dunia lewat mataku, atau mengusilimu agar selalu senam setiap waktu.

    Mbok... maaf karena tak bisa memberi sebanyak yang engkau beri. Mbok... aku bahkan tak punya apa-apa selain diriku untukmu hanya saat kepulanganku.

    Mbok e. Engkau tahu, umurku kini hampir seperempat abad. Masih ada setengah lebih dari umurku yang mungkin tertagih untuk orang lain. Mbok... akankah hatiku sama kuatnya seperti hatimu?

    "Perempuan dunia akan masuk ke dalam surga karena amalnya, shalatnya, salihahnya, kesetiaannya kepada suami, dan pengorbanannya untuk anak-anaknya. Sementara, bidadari mendapat tempat tersebut dengan tidak mengetahui betapa tinggi nilai tempat yang didiami tersebut, karena tidak didapat dengan jerih payah dan perjuangan." -Buya Hamka, 2014-

    Keterangan:
    *Mbok e : nenek
    *Mae : ibu
    *Nduk : panggilan untuk anak perempuan

    Oleh: Kusmaya Autumn

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel MBOK E
    Sangat Suka

    0%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar