Kampanye Buku

Daftar Isi

    Oleh: Wamdi Jihadi (Sastrawan Muda Riau)

    Keinginanku yang terbesar – selain keinginan untuk diselamatkan – adalah memiliki buku. Buku berisi cerita yang panjang tanpa akhir. Buku yang bisa kubaca berulang-ulang, dengan sudut pandang baru dan pengertian baru setiap kalinya.

    Potongan monolog di atas adalah bahasa hatinya Piscine Molitor Patel yang mengungkapkan keinginannya yang tak mungkin diraih pada sekoci yang terombang ambing di Samudra Pasifik itu. Novel yang berjudul ‘Life of PI’ karya Yann Martel ini mengisahkan tentang seorang anak yang mengikuti keluarganya pindah dari Madras-India ke Canada, namun sayang Tsimtsum kapal barang yang ditumpanginya dengan membawa beberapa ekor binatang itu tenggelam. Dan singkat cerita, Piscine Molitor Patel dan seekor Harimau terombang ambing selama 227 hari di Samudra terdalam di dunia itu. Dan di antara yang didamba-dambakannya adalah memiliki sebuah buku.

    Di antara buku dan film yang saya sukai adalah buku dan film yang di dalamnya memasukkan buku atau budaya membaca bagian dari alur atau adegannya (seperti misalnya pemain dalam film tersebut membaca buku atau hanya sekedar memegang dan meletakkan sebuah foto di dalamnya). Sebab satu sisi ia mengingatkan tentang budaya literasi kita yang masih merangkak, dan sisi lainnya menyuguhkan budaya manusia yang sepertinya telah menjadikan membaca sebagai defenisi manusia itu sendiri.

    Bagi masyarakat yang budaya baca adalah eksistensi dirinya maka akan terlihat buku – sebagai jendela dunia – menyebar di mana-mana. Menyebar boleh dalam makna hakikinya mudah di dapatkan di berbagai tempat dan ruangan, atau menyebar dalam makna mendominasi dalam segala riak kehidupan, seolah buku adalah makanan yang tidak boleh hilang dari peredaran. Mereka membacakan buku di depan anak-anaknya, kelompok atau komunitas pecinta buku menjamur, para donatur banyak yang menyumbangkan buku. Buku bahkan masuk ke iklan-iklan Televisi, hadir sebagai lifestyle dalam perfilman, dan muncul dalam alur di novel-novel. 

    Bandingkan misalnya budaya perbukuan di negeri kita ini. Kompas online pada 25 Juni 2012 merilis bahwa rata-rata jumlah terbitan buku di Indonesia hanya sekitar 18 ribu judul per tahun. Berbeda sekali dengan Jepang yang mencapai 40 ribu judul, India 60 ribu, dan China 140 ribu judul buku yang terbit setiap tahunnya. Ditambahlah lagi dengan toko buku kita yang bukanya rata-rata jam sembilan pagi dan tutup jam sembilan malam. Dan bahkan perpustakaan umum yang diharapkan dapat menghilangkan dahaga intelektual masyarakat kita – karena juga harga buku yang terus membumbung tinggi – punya jam buka lebih sedikit lagi, dan dengan pelayanan yang kurang memuaskan.

    Bila Hernowo menulis buku dengan judul ‘Andai Buku Sepotong Pizza’ dan Taufik Ismail mengarang puisi “Kupu-kupu di Dalam Buku,” maka sepertinya segala instrumen yang terkait dengan buku dan budaya baca masih harus dikampanyekan. Memang berat, tapi harus sudah dimulai. Saya membayangkan suatu hari nanti di negeri kita ini mencari buku sama mudahnya dengan mencari makanan.

    Bagikan Artikel

    data.label
    data.label
    data.label
    data.label
    Beri penilaian untuk artikel Kampanye Buku
    Sangat Suka

    100%

    Suka

    0%

    Terinspirasi

    0%

    Tidak Peduli

    0%

    Marah

    0%

    Komentar